"Antropologi Perkotaan" tidak
 sama dengan sosiologi "perkotaan", karena bersifat induktif, analisisnya 
berdasarkan keadaan di lapangan dan merencanakan keadaan ke depan, bukan
 seperti pada sosiologi "perkotaan" yang bersifat deduktif, dan 
analisisnya berdasarkan teori sosiologi".
Pada awal perkembangannya, "Antropologi" memusatkan perhatiannya
 kepada masyarakat primitif. Perhatian ini timbul karena ada sesuatu 
yang dianggap sebagai keganjilan pada tingkah laku masyarakat tertentu, 
yaitu pada masyarakat pedalaman-pedalaman. Akan tetapi lama-kelamaan, 
mereka tidak lagi melihat tingkah laku itu sebagai sesuatu yang ganjil, 
melainkan sebagai sesuatu yang masih dekat dengan alam, dan masih berada
 dalam tahap perkembangan. Dan pada saat itu "Antropologi" memusatkan 
perhatiannya pada masyarakat tersebut.
Karena ternyata masyarakat 
primitif itu telah semakin maju dan teradaptasi ke dalam masyarakat 
modern, maka perhatian "Antropologi" selanjutnya beralih pada masyarakat 
pedesaan. Hampir seluruh aspek kehidupan desa telah diteliti dan 
diungkapkan. Karena itu, perhatian para "Antropolog" pada tahap 
berikutnya, mulai beralih ke "kota". Ada beberapa alasan yang digunakan 
untuk mengalihkan dan memperluas perhatian mereka ke "kota"-"kota".
1. Masyarakat "kota" mempunyai 
pola-pola budaya dan tingkah laku, lembaga, pranata, serta struktur 
sosial yang berbeda dari masyarakat primitif maupun masyarakat desa.
2. Terjadinya urbanisasi yang 
semakin meningkat. Pada umumnya mereka mereka pergi ke "kota" tanpa 
membawa bekal ketrampilan kecuali tenaga. Setibanya di 
"kota", mereka dapati dirinya berada pada situasi dan kondisi yang berbeda
 dari pada sewaktu berada di desa. Bagaimana reaksi dan respon mereka 
itulah yang menarik perhatian para "antropolog".
3. Semakin luasnya pengaruh 
kehidupan kota atas kehidupan daerah pedesaan yang berada di sekitarnya,
 baik positif maupun negatif.
4. Semakin merosotnya 
nilai-nilai manusiawi oleh berkembangnya teknologi di "kota".
Pada awal abab 20 dimana "Antropologi Perkotaan" mulai dikembangkan. Seorang "antropolog" yang mencoba 
menerapkannya adalah Cliford Gertz, dalam penelitiannya di sebuah daerah
 yang berada di Jawa Timur yang dalam hasil penelitiannya disamarkan 
dengan nama Mojokuto. Dalam penelitiannya itu Gertz mencoba menganalisis
 sistem stratifikasi sosial masyarakat Jawa yang didasarklan pada 
kepercayaannya. Masyarakat Jawa dalam kaca mata Gertz terbagi dalam tiga
 golongan yaitu Priayi, Santri, dan Abangan. Dengan diterbitkannya hasil
 penelitiannya yang dilakukan kurun waktu 1940’an, "Antropologi Perkotaan"
 di Asia umumnya dan di Indonesia mulai berkembangan.
PERKEMBANGAN "ANTROPOLOGI PERKOTAAN"
Pada umumnya para "antropolog" 
memandang Ribert Redfield sebagai sebagai perintis "antropologi" urban. 
Hasil penelitiannya atas kota Yucatan (Mexico) dalam tahun 1930 tertuang
 dalam suatu konsep yang dikenal dengan Hipotesis Folk Urban 
(menurut Ralph L. Beals) atau model bipolar maralistik (menurut
 John Guillick).
Penelitian sosiologi di kawasan 
Amerika Latin dikatakan lebih bersifat "Antropologis" karena :
- Para peneliti itu telah berusaha untuk membahas keseluruhan struktur sosial dan kebudayaan komunitas di daerah penelitian mereka (jadi,hollistik).
- Mereka telah secara ekstensif menggunakan metode-metode etnografis yakni residensi dan observasi jangka panjang, serta teknik-teknik yang intensif.
Terdapat tiga sosiolog yang telah
 melakukan penelitian "kota"-"kota" di Amerika Serikat dan 
hasil-hasil penelitian mereka dikenal “aliran chicago”atau aliran human
 ecology. Mereka adalah R.E Park, E.W.Burgess dan R.E. Mc Kenzie. 
Mereka menunjukkan bahwa persebaran kelompok heterogen dalam kota tidak 
berlangsung secara liar, seperti dugaan sebelumnya. Nyatanya ada 
pengelompokan berdasarkan ras atau keagamaan ataupun pekerjaan. Dua yang
 pertama dapat saja berdempetan sehingga merupakan natural area
 yang merangkap pula cultural area.
Adapun yang dimaksud dengan natural
 area ada 2 macam. 
Pertama berdasarkan tujuan penggunaan tanah. 
Kedua, berdasarkan tipe penduduk atau penghunian. 
Acap kali, tipe kedua 
ini memiliki adat istiadat, gagasan dan pandangan hidup yang khas karena
 latar belakangnya yang kultural, sehingga daerah demikian disebut cultural
 area.
Luasnya bidang yang dicakupi oleh
 penelitian dan kajian "antropologi" ini telah menimbulkan pertanyaan 
mengenai apakah "antropologi" mempunyai sumbangan yang terpisah dari ilmu 
politik, ekonomi dan khususnya sosiologi?.
Pembenaran atas pandangan ini 
harus di cari di dalam kenyataan bahwa "antropologi" telah membawa suatu 
sudut pandangan yang lain terhadap masalah urban/"perkotaan". Salah satu 
ciri utama studi "antropologis" ialah pendekatannya whollistik 
yang melihat "kota" sebagai suatu entitas atau suatu bentuk sosio-kultural
 yang khas. Karena
 perkembangan studi "Antropologi Perkotaan" ini banyak memfokuskan 
perhatiannya terhadap permasalahan yang terdapat atau timbul dalam 
kehidupan komunitas "perkotaan", maka "Antropologi Perkotaan" dapat 
dikategorikan sebagai studi terapan.
SEJARAH PERTUMBUHAN "KOTA"-"KOTA". 
Pusat-pusat organisasi dan 
pengawasan atas daerah pertanian yang subur dan luas itu kemudian telah 
telah menarik berbagai spesialisasi dan perdagangan dan juga dan juga 
dari masyarakat daerah lain yang kurang subur atau gersang. Akibat 
lanjutnya ialah terciptanya pekerjaan yang berkaitan dengan keamanan dan
 pertahanan, pembuatan alat-alat pertanian, perencanaan irigasi dsb.
Pusat-pusat urban yang muncul 
melalui proses tersebut di atas disebut pusat urban “primer”, karena 
mengikuti suatu proses ekologis yang berlangsung secara alamiah 
(natural). Sebaliknya, inilah pusat-pusat urban “sekunder”, yakni 
pusat-pusat urban yang yang segera muncul di wilayah lain. Disamping itu
 terdapat juga pusat-pusat urban yang muncul kemudian yang tampaknya 
berkaitan dengan pertumbuhan yang cepat dalam perdagangan dan 
perniagaan. Namun demikian, satu hal yang diperjelas oleh studi urban 
adalah bahwa suatu kondisi pra-urbanisme berupa penghalusan dan pemutuan
 teknik-teknik produksi bahan makanan selalu diperlukan, agar selalu 
memungkinkan terdukungnya penduduk yang padat dan klas (atau klas-klas) 
penduduk non petani di dalam suatu masyarakat.
Pernyataan lain dalam kaitan 
dengan pertumbuhan dan perkembangan "kota"-"kota", ialah yang dikemukakan 
oleh Mac Iver dan Page (society, 1949) yang menyatakan bahwa "kota"-"kota" akan bertumbuh jika suatu masyarakat atau suatu kelompok orang
 dalam masyarakat memperoleh kontrol yang lebih besar atas sumber-sumber
 daya daripada yang diperlukan untuk hidup saja.
Gideon Sjoberg (The Pre 
Industrial City,1960) mengemukakan adanya adanya tiga tingkatan 
organisasi manusia menuju kepada terbentuknya pusat-pusat urban, yaitu:
- Pre-urban feudal society, yakni masyarakat feodal sebelum adanya kota-kota.
- Pre-industrial feudal society, yakni masyarakat feodal sebelum adanya industri.
- Modern industrial feudal, yakni masyarakat feodal dengan industri maju.
Drs. J.H. De Goode (dalam J.W. 
Schoorl:Modernisasi,1981). Mengemukakan bahwa perkembangan "kota"-"kota" 
dapat dipandang sebagai fungsi dari faktor-faktor:
1. Jumlah 
penduduk keseluruhan.
2. Penguasaan 
atas alam lingkungan .
3. Kemajuan 
teknologi, dan
4. Kemajuan dalam
 organisasi sosial
Suatu hipotesis tentang 
perkembangan "kota" juga dikemukakan oleh Kenneth Ee. Boulding. Menurut 
perkembangannya, ia membagi "kota"-"kota" itu ke dalam “kota" politik” dan 
“kota" ekonomi”.
"KOTA" DAN PERKEMBANGANNYA.
N.Daljoeni, yang mengutip 
Grunfield, merumuskan kota sebagai suatu pemukinan dengan kepadatan 
penduduk yang lebih besar daripada kepadatan wilayah nasional, dengan 
struktur mata pencaharian non agraris dan tata guna lahan yang beraneka 
ragam , serta dengan pergedungan yang berdirinya berdekatan.
Dari segi fisik, kota adalah 
suatu pemukiman dengan perumahan yang relatif rapat dan sarana prasarana
 serta fasilitas-fasilitas yang relatif memadai guna memenuhi kebutuhan 
penduduknya.
Belum ada kesepakatan mengenai 
rumusan yang lengkap dan tepat mengenai "kota". Drs. J.H. De Goode 
mengajukan sejumlah ciri yang dipandang sangat menentukan watak khas 
kehidupan "kota", misalnya:
a. Peranan besar 
yang dipegang oleh sektor sekunder (industri) dan tersier (jasa) dalam 
kehidupan ekonomi.
b. Jumlah 
penduduk yang relatif besar.
c. Heterogenitas 
susunan penduduknya.
d. Kepadatan 
penduduk yang relatif besar.
Dalam literatur Anglo-Amerika, 
terdapat dua istilah untuk memaksudkan "kota", yakni “city”dan ‘town”. "Schoorl, dalam hubungan ini, 
mengemukakan suatu jenis "kota" yang disebutnya “kota" primat”, yakni "kota" 
yang sangat besar yang cenderung memperlihatkan parasitismenya terhadap 
masyarakat nasional , dan berusaha menarik bagian–bagian modal yang 
relatif besar sehingga dapat menjadi hambatan bagi daerah-daerah 
pedesaan maupun "kota"-"kota" yang lebih kecil.
Lewis Mumford, mengemukakan 6 
Jenis "kota" yang dilihatnya dari tahap-tahap perkembangannya. Jenis 
"kota"-"kota" itu adalah :
1. Eopolis: Merupakan suatu pusat dari 
daerah-daerah pertanian dan mempunyai adat istiadat yang bercorak 
kedesaan dan sederhana.
2. Polis: merupakan tempat berpusatnya 
kehidupan keagamaan dan pemerintahan.
3. Metropolis: Dicirikan oleh wilayahnya 
yang kurang luas dan penduduknya yang banyak terdiri atas orang-orang 
dari berbagai bangsa. Percampuran perkawinan antar bangsa dan ras. 
Perkembangan menjadi metropolis menunjukkan kemegahan, tetapi dari segi 
sosial memperlihatkan adanya kekontrasan antara golongan kaya dan 
golongan miskin.
4. MeMegalopolis: Pada tahap ini gejala 
sosio-patologis sangat menonjol, di satu pihak terdapat kekayaan dan 
kekuasaan yang didukung oleh birokrasi yang ketat, tapi di pihak lain 
terdapat kemiskinan mendorong terjadinya pemberontakan proletar.
5. Tiranopolis: Ditandai oleh adanya 
degenerasi, merosotnya moral penduduk, timbulnya kekuatan politik baru 
dari kaum proletar.
6. Nekropolis: Kota yang sedang mengalami 
kehancuran. Peradabannya menjadi runtuh dan kota menjadi puing-puing 
reruntuhan. 
MASYARAKAT DAN KEHIDUPAN "KOTA".
Louis Wirth, dengan bertolak dari
 hasil penelitiannya dan definisinya tentang "kota" yang kualitatif, 
melihat kehidupan kota, dan mengemukakan bahwa : 
a. Banyak relasi 
"kota" menyebabkan tidak memungkinkan terjadinya kontak-kontak yang 
lengkap diantara pribadi-pribadi.
b. Orang "kota" 
harus melindungi dirinya sendiri agar tidak terlalu banyak hubungan yang
 bersifat pribadi, ia juga harus menjaga diri terhadap potensi-potensi 
yang merugikan atau membahayakan dirinya pribadi dan keluarga, maupun 
kebudayaannya.
d. Orang "kota" 
memiliki semacam emansipasi atau kebebasan untuk menghindar dari 
pengawasan oleh kelompok kecil atas keinginan dan emosinya.
Sehubungan dengan ciri-ciri yang 
dikemukakan oleh Wirth di atas, maka Claude Fischer mengatakan bahwa 
"kota"-"kota" itu merupakan tempat-tempat yang subur dimana terdapat sub 
kultur yang berbeda-beda dan sehat dapat berkembang baik. Karena itu 
akan timbul dua proses yang yang akibatnya berlawanan yakni 
intensifikasi sub kultur dan difusi kebudayaan.
N. Daldjoeni (Seluk Beluk 
Masyarakat, 1978) mengatakan bahwa "kota" dapat didekati dari dua aspek, 
yakni aspek fisik (peng"kota"an fisik) dan aspek mental (pengkotaan 
mental). Yang disebut pertama bersangkut paut dengan luas wilayah, 
kepadatan penduduk, tata guna tanah yang non agraris. Aspek kedua 
bertalian dengan orientasi nilai serta kebiasaan hidup orang "kota".
John Gullick merumuskan bahwa 
keenam "kota" kecil itu mempunyai beberapa ciri khas atau esensi urban 
yang sama :
a. Adanya 
perantara (brokers).
b. Kehadiran 
orang asing atau orang luar.
c. Adanya 
hubungan diantara klas-klas atas di "kota"–"kota" dengan pribadi-pribadi 
atau asosiasi-asosiasi di "kota"-"kota" lain yang lebih besar.
d. Adanya 
hubungan-hubungan pribadi yang impersonal, rasionalistik berorientasi 
tujuan, atau interpersonal tunggal.
e. Mudah 
terpengaruh oleh perubahan-perubahan.
f. Adanya 
heterogenitas kultural.
Jadi, setiap "kota" yang berukuran 
bagaimanapun masyarakatnya adalah produk behavioural (perilaku) dari 
suatu sistem sosial budaya yang lebih besar. Suatu masalah dalam kehidupan 
dengan kehidupan "perkotaan" ialah sekularisasi dan sekularisme. 
Sekularisasi dirimuskannya sebagai seperangkat aspek yang saling 
berkaitan : 
(1) tipe aspek sosial, 
(2) diferensiasi dan spesialisasi 
pranata-pranata, dan 
(3) institusionalisasi perubahan.
PERADABAN "KOTA".
Pada umumnya, orang 
mengidentikkan "kota" dengan peradaban (civilization), karena memang sulit
 untuk mengatakan bahwa suatu kota memiliki kebudayaan, sebab tentunya 
masih dapat dipertanyakan apakah kehidupan komunitas urban memenuhi 
kriteria definisi maupun unsur-unsur kebudayaan (culture).
Ada dua definisi yang dapat 
digunakan untuk menentukan apakah "kota" dapat dikategorikan sebagai 
mempunyai kebudayaan yang khas. Definisi yang pertama, dalam arti luas, 
misalnya yang dikemukakan E.B. Taylor:
Kebudayaan 
adalah keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung ilmu 
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan 
kemampuan lain serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota
 masyarakat.
Secara lebih khusus, ”peradaban” 
dapat juga dirimuskan sebagai “tingkat kemampuan seseorang atau 
masyarakat untuk menciptakan atau merumuskan ketentuan-ketentuan bagi 
pengaturan tata kehidupannya dalam hubungannya dengan lingkungan sosial 
maupun lingkungan alam, serta tingkat kemampuan seseorang atau 
masyarakat itu untuk mematuhi dan menaati ketentuan-ketentuan itu.
Bertolak dari rumusan di atas, 
maka komunitas "kota" dapat dikatakan memiliki peradaban yang lebih 
tinggi, bukan kebudayaan. Seperti dikemukakan oleh Robert 
Redfield, komunitas "kota" lebih berorientasi kepada hal-hal yang bersifat
 material dan rasional sehingga hubungan menjadi impersonal dan 
sekunder, bukan lagi “relation oriented”. Individu menjadi 
teratomisasi dan teranomisasi sehingga masing-masing harus mencari 
jalannya sendiri-sendiri untuk tetap hidup.
Karena banyaknya dan 
bervariasinya tuntutan dalam bertingkah laku dan bertindak sebagai 
anggota masyarakat yang berorientasi pada (goal) dan pencapaian 
(achievement) maka gaya hidup masyarakat "kota" lebih diarahkan pada 
penampilan fisik dan kualitas fisik sehingga tampak civilized. Gejala lain dalam komunitas "kota" 
adalah adanya kecenderungan masyarakat menjadi masyarakat massa (mass
 society) dimana individu kehilangan identitas pribadinya.
Tapi, di balik apa yang 
dikemukakan di atas, terdapat pandangan yang melihat "kota" sebagai 
mempunyai peranan yang penting di dalam kehidupan masyarakat umum dan 
bangsa. Karena "kota" merupakan pusat kekuasaan, ekonomi, pengetahuan, 
inovasi, dan peradaban maka kehidupan "kota" dapat membawa dan mengarahkan
 kehidupan masyarakat umum kepada peningkatan kualitas hidup manusia. 
Keadaan ini sebanding dengan arti “sivilitas” yang berarti kualitas 
tertinggi pada masyarakat manusia. Sekularisasi mencapai puncaknya 
dalam masyarakat modern, yang mempengaruhi hampir semua bidang perilaku,
 dan meluas ke kalangan penduduk. Pendekatan kehidupan "kota" sebagai
 jaringan sistem yang utuh memang diperlukan untuk memperoleh pengertian
 yang jelas dan mendalam mengenai kondisi dan proses kemajuan dan atau 
kemunduran kehidupan dan peradaban "kota".
"KOTA" DAN KELOMPOK KERABAT. 
Pada masyarakat pra modern, 
kelompok kekerabatan dan kekeluargaan memang mempunyai peranan yang 
penting sebagai organisasi yang mempunyai berbagai fungsi, termasuk 
fungsi kontrol atas perilaku individu. Karena itu posisi individu, 
sebagian besar ditentukan oleh kelompok kerabat dan keluarga dimana ia 
dilahirkan dan dibesarkan.
Goode menemukan adanya beberapa 
kekuatan dalam masyarakat industri yang menggerogoti organisasi keluarga
 nasional yakni :
a. Adanya 
keharusan mobilitas horizontal atau geografik sehingga kontak antar 
keluarga menjadi kurang teratur dan menjadi agak jarang.
b. Besarnya 
kesempatan mobilitas sosial (vertikal). Keadaan ini membuat sulitnya 
kontak-kontak sosial.
c. Tumbuhnya 
organisasi "kota" dan organisasi industri yang mengambil alih berbagai 
fungsi kelompok kerabat.
d. Diutamakannya 
prestasi (achievement) bila dibandingkan keturunan (ascription)
e. Dilakukannya 
spesialisasi sehingga ikatan kekerabatan tidak lagi memegang peranan 
yang menentukan dalam kedudukan sosial.
Karena itu, dalam banyak 
masyarakat, kelompok keluarga besar menjadi kurang artinya, organisasi 
klen menjadi cair dan keluarga besar menjadi kabur. Namun demikian, 
perlu diingatkan bahwa keadaan tersebut di atas tidak secara otomatis 
berlaku dalam organisasi sistem kekerabatan yang modern, atau secara 
otomatis memperlemah ikatan-ikatan kekerabatan itu. Hal di atas baru 
akan terjadi bila mobilitas sosial dan geografik mendapat arti yang 
baru, misalnya pergeseran ke dalam suatu (sub) kebudayaan yang lain dan 
yang memberi identitas baru. Dalam hal demikian, hubungan antar 
anggota-anggota keluarga dapat menjadi renggang.
Sedang dalam berbagai situasi 
sosial, kekerabatan masih dimanfaatkan, misalnya untuk mengelola 
perusahaan, kekuasaan, ataupun permodalan. Juga dalam situasi tertentu, 
misalnya dalam hal ancaman terhadap kedudukan dalam usaha untuk 
memperoleh pekerjaan atau perumahan dan fasilitas-fasilitas lainnya, 
ataupun jaminan hukum, maka kekerabatan dapat berfungsi sebagai 
penolong.
Sejalan dengan berkembangnya 
"kota", terutama dalam hal jumlah penduduknya, maupun tuntutan sejumlah 
kebutuhan (ekonomi, politik, dan sosial budaya lainnya ) maka 
organisasi-organisasi keluarga juga cenderung berkembang meluas menjadi 
organisasi regional, yang tentunya mempunyai fungsi-fungsi yang harus 
dipenuhi, kalau tidak mau tenggelam dalam situasi anomik, 
individualisme, dan lain-lainnya yang bersifat disintegratif. 
Dengan 
kata lain alasan-alasan fundamental pembentukan asosiasi regional ialah 
karena asosiasi ini dapat berfungsi secara efektif sebagai suatu 
mekanisme adaptif dalam "kota"-"kota" yang besar. Asosiasi-asosiasi regional
 lebih bertujuan untuk memodernisasi dan menempatkan kesejahteraan umum 
para anggotanya. Di dalamnya terdapat suatu perasaan persaudaraan tanpa 
memandang pada kekayaan, pendidikan, ataupun jabatan. Sehingga keadaan itu akan 
meratakan jalan bagi terbentuknya status “urban” yang dibedakan dari 
status “rural”, dan menimbulkan kesadaran klas, bukannya kesadaran 
kesukuan.
"KOTA" DAN KEMISKINAN. 
Salah satu masalah yang mendapat 
sorotan dari para "antropolog" adalah masalah kemiskinan yang dialami oleh
 golongan tertentu dalam "kota"-"kota" besar.
Oscar Lewis mengemukakan bahwa 
kebudayaan kemiskinan itu (culture of poverty) mempunyai ciri-ciri :
a. Tingkat 
mortalitas yang tinggi dan harapan hidup yang rendah.
b. Tingkat 
pendidikan yang rendah. 
c. Partisipasi 
yang rendah dalam organisasi-organisasi sosial.
d. Tidak atau 
jarang ambil bagian dalam perawatan medis dan program-program 
kesejahteraan lainnya.
e. Sedikit saja 
memanfaatkan fasilitas-fasilitas kota seperti toko-toko, museum, atau 
bank.
f. Upah yang 
rendah dan keamanan kerja yang rendah.
g. Tingkat 
ketrampilan kerja yang rendah.
h. Tidak memiliki
 tabungan atau kredit.
i. Tidak memiliki
 persediaan makanan dalam rumah untuk hari besok.
j. Kehidupan 
mereka tanpa kerahasiaan pribadi (privasi).
k. Sering terjadi
 tindak kekerasan termasuk pemukulan anak.
l. Perkawinan 
sering terjadi karena konsensus, sehingga sering terjadi perceraian dan 
pembuangan anak.
m. Keluarga 
bertumpu pada ibu.
n. Kehidupan 
keluarga adalah otoriter.
o. Penyerahan 
diri pada nasib atau fatalisme.
p. Besarnya hypermasculinity
 complex di kalangan pria dan martyr complex di kalangan 
kaum wanita.
Dikemukakannya, misalnya bahwa 
kegagalan kebijaksanaan pemerintah terhadap kemiskinan adalah disebabkan
 karena kebijaksanaan itu didasarkan atas asumsi adanya suatu kebudayaan
 yang self-perpetuating itu. Struktur kekuasaan lokal maupun nasional 
tidak berubah, demikian pula dalam distribusi sumber-sumber material dan
 psikik.
Depriviasi utama kaum miskin dari
 posisi kultural mereka di dalam sistem sosial, menurut Valentino, 
bersumber dari tindakan-tindakan dan sikap golongan bukan miskin. Karena
 itu untuk mengatasi hal itu perlu ada suatu sikap berpihak kepada kaum 
miskin di dalam pekerjaan dan pendidikan, yang disebutnya radical 
egalitarism. Jadi kondisi kemiskinan yang demikian itu, berdasarkan 
uraian Gladwin dan Valentine tersebut di atas disebut sebagai kemiskinan
 struktural, yakni kemiskinan yang tercipta dan kekal yang 
disebabkan oleh mereka yang berada dalam struktur sosial yang lebih 
tinggi dalam masyarakat, yang dengan berbagai usaha tidak memberi 
kesempatan kepada segmen di bawah beranjak ke atas guna memperbaiki 
taraf hidup mereka.
Sejalan dengan masalah kemiskinan
 itu adalah segmen pemukiman "kota" yang disebut squatter’s "town", 
ghetto, dan daerah etnis lainnya, sebagai fenomena struktural yang 
sering dijumpai di "kota"-"kota" besar. Squatter’s "town" adalah pemukiman 
(settlement) yang berupa pemukiman di bawah standar, sering tanpa status
 yang jelas mengenai tanahnya, dan berlokasi di dalam atau di 
batas-batas pinggiran "kota". Ghetto adalah pemukiman yang dihuni oleh 
suatu etnis tertentu yang dipandang sebagai etnis yang kurang disenangi 
oleh mayoritas kelompok masyarakat lainnya karena dipandang jorok dan 
mempunyai cara hidup yang aneh.
Ada beberapa "antropolog" yang 
telah meneliti fenomena pemukiman /penghunian liar di berbagai "kota" 
besar. Fokus penelitian mereka terutama diarahkan kepada asal-usul 
masing-masing daerah penghunian liar, organisasi dan asosiasi di 
dalamnya, aturan-aturan setempat, serta fungsi semua itu bagi 
penghuninya, maupun bagi para migran baru.
URBANISASI. 
Penelitian urbanisasi itu dapat 
dirinci ke dalam pengertian-pengertian berikut :
a. Arus 
perpindahan penduduk dari desa ke "kota".
b. Bertambah 
besarnya jumlah tenaga kerja non agraris di sektor industri dan sektor 
tersier.
c. Tumbuhnya 
pemukiman menjadi "kota".
d. Meluasnya 
pengaruh kota di daerah-daerah pedesaan dalam segi ekonomi, sosial, 
budaya dan psikologi.
Tetapi pada umumnya orang 
mengartikan urbanisasi itu hanya sebagai mengalirnya perpindahan 
penduduk dari pedesaan ke "kota"-"kota", dan dipandang sebagai penyebab 
utama terjadinya berbagai masalah sosial. Hasil dari penelitian dan 
pengidentifikasian itu telah dikategorikan ke dalam dua kelompok 
penyebab, yakni “faktor pendorong” dan “faktor penarik”.
Perkembangan dan kemajuan alat 
komunikasi dan transportasi juga turut berpengaruh atas perpindahan 
"kota", sehingga memperbesar kesempatan dan kemungkinan orang pedesaan 
tinggal di "kota" karena dengan mudah dan cepat dapat pulang pergi dari 
dan ke desa asal.
G. Germani (migration and 
acculturation,1965) berpendapat bahwa segala perpindahan itu harus 
dianalisis atas dasar yang lebih luas. Untuk itu digunakannya 3 tingkat 
analisis :
a. Tingkat 
Obyektif, dimana faktor pendorong dan penarik, bersama-sama dengan 
cara penyelenggaraan hubungan "kota" dan pedesaan ikut dipertimbangkan.
b. Tingkat 
Normatif dan Sosio-psikologik, dimana diperhatikan kondisi obyektif
 yang berfungsi dalam masyarakat : norma, nilai, kepercayaan, juga sikap
 dan tata kelakuan yang berpengaruh atas perpindahan itu.
c. Analisis 
tingkat psiko-sosial, yang mencakup sikap dan harapan 
individu-individu konkrit, yang memutuskan untuk pindah ke "kota" atau 
tidak.
Dari studi itu disimpulkannya 
suatu konsep yang disebut step by step, yakni perpindahan yang 
besar cenderung untuk menciptakan gerakan perpindahan tandingan, bahwa 
di kalangan para migran yang berpindah dalam suatu jarak yang jauh dari 
komunitas mereka sendiri terdapat kecenderungan untuk berpindah ke 
pusat-pusat industri dan niaga yang besar, bahwa penduduk "kota" yang 
lebih kecil kurang berminat berimigrasi bila dibandingkan dengan mereka 
di pedesaan, dan bahwa kaum wanita lebih berkeinginan untuk berimigrasi 
bila dibandingkan kaum pria.
Ada banyak bukti bahwa "kota" lebih
 banyak menarik kaum wanita muda bila dibandingkan dengan kaum pria 
muda, karena pedesaan kurang memberikan kesempatan ekonomi. Ada banyak orang pergi ke 
pusat-pusat urban semata-mata karena desakan ekonomi, karena tingkat 
kelahiran di pedesaan lebih tinggi dan lapangan pekerjaan berkurang. Di 
pihak lain, sebagian orang menemukan bahwa kemampuan mereka tertekan, 
dan ambisi mereka terhalang di lingkungan pedesaan dan karena itu, 
mereka berpaling kepada kemungkinan-kemungkinan yang ada di "kota"-"kota". 
Di antara mereka ini sebagian besar adalah penduduk desa yang lebih 
berbakat.
Tentu saja, terdapat pula banyak 
dari mereka yang berimigrasi ke "kota" karena tertarik oleh alasan lain, 
misalnya melarikan diri dari tekanan politik dan sosial, mencari 
hiburan, petualangan, dan mereka yang suka pada kehidupan kerumunan, 
serta alasan kriminal dan sebagainya. 
Kesimpulan lain yang dapat 
ditarik mengenai urbanisasi adalah eratnya hubungan urbanisasi itu 
dengan mobilitas sosial. Semakin tinggi mobilitas sosial yang terdapat 
dalam suatu masyarakat semakin tinggi pula dorongan atau motivasi untuk 
bermigrasi dan berurbanisasi. Mobilitas sosial dapat dibagi ke dalam 2 
bentuk yakni : “mobilitas fisik” dan “mobilitas mental”. Mobilitas fisik
 adalah gerak perpindahan penduduk (individual maupun kelompok). Dari 
ruang sosial yang satu ke ruang sosial yang lain. Sementara mobilitas 
mental adalah gerak perubahan atau peralihan (transformasi) aspek-aspek 
sosio-psikologis pada manusia, dari pola satu ke pola yang lain.
STRUKTUR SOSIAL "KOTA". 
Ketika "kota"-"kota" semakin 
terurbanisasi dan meliputi berbagai suku dan masyarakat, maka 
asosiasi-asosiasi model rural tradisional telah pula berkembang menjadi 
organisasi-organisasi yang meliputi gotong-royong (mutulaid), 
olah raga, politik, kebudayaan, pemuda, regional, keagamaan, veteran, 
kasta, dan sebagainya.
Proliforasi asosiasi suka rela di
 kebanyakan "kota" modern pada umumnya didorong oleh kenyataan bahwa 
ikatan kekerabatan dan etnik cenderung untuk menjadi kabur ataupun tidak
 lagi efektif karena para migran ke "kota"-"kota" sering menemui kesulitan 
untuk bertempat tinggal di dekat kelompok kerabat atau etnis mereka 
sendiri. Karena asosiasi itu berbeda dalam berbagai hal misalnya dalam 
persyaratan ekonomi dan sosial maka asosiasi itu menjadi berjenjang, 
dimana yang paling tinggi jenjangnya kadang-kadang mempunyai pengaruh 
politik dan ekonomi yang besar dan luas.
Seperti halnya dengan status, 
struktur sosial dan posisi yang inheren dengannya dalam berbagai 
masyarakat, ditentukan oleh berbagai faktor pula. Yang jelas ialah bahwa
 di "kota" faktor-faktor dan kriterianya sebagian besar didasarkan pada achievement
 dan interest.
Kontrol sosial dalam "kota", 
khususnya bila komunitas kota telah mencapai dimensi-dimensi metropolis 
modern akan mencerminkan beraneka ragam kontak sosial, aneka ragam tata 
krama sosial dan predominansi hubungan sekunder, yang menandai 
masyarakat yang kompleks. Pengendalian sosial sebagian besar dijalankan 
oleh asosiasi yang terspesialisasi dengan norma-norma yang bersifat 
asosiasional, termasuk badan-badan hukum interpersonal.
Beberapa ciri struktur sosial 
"kota" sebagai berikut :
· Diferensiasi ekonomik yang 
menjadi landasan terjadinya pengelompokan sosial, baik secara vertikal 
maupun horizontal.
· Spesialisasi kerja ke dalam semi
 skilled dan skilled, yang menjurus kepada perkembangan “profesionalisme”.
· Hubungan-hubungan sosial yang 
bersifat kompetitif yang mendorong individu atau anggota masyarakat 
mencapai prestasi tinggi.
· Individu mendapat tempat yang 
utama dalam kegiatan-kegiatan untuk memperoleh status, sesuai dengan 
prestasi yang dicapainya.
· Mobilitas yang tinggi baik 
vertikal maupun horizontal karena status lebih didasarkan pada prestasi 
dan perhatian.
· Kecenderungan terjadinya 
pengelompokan penduduk ke dalam lokasi pemukiman yang disesuaikan pada 
kekhasan sosial budaya.
· Memudarnya perbedaan status 
kelamin dalam kedudukan dan posisi serta status dalam semua aspek 
kehidupan.
· Hubungan sosial menjadi lebih 
bersifat sekunder.
Suatu akibat dari oleh adanya 
struktur sosial dengan ciri-ciri tersebut di atas adalah bahwa penduduk 
"kota" semakin terkelompok oleh asosiasi sekunder dan berdasarkan pada 
kepentingan tertentu. Jarak sosial antar individu semakin besar sehingga
 membentuk individualisme. Namun demikian tidak berarti bahwa individu 
akan terlepas dari masyarakat dan dari hubungan kerja sama dengan 
individu lain melainkan sebaiknya bergeser “associative individualism 
”yakni bahwa individu dengan spesialisasi dan kebebasannya yang semakin 
besar itu malah semakin bergantung pada spesialisasi pihak atau individu
 lainnya.
Semakin besar suatu "kota", semakin
 besar dan tajam spesialisasi itu sehingga menyebabkan terbentuknya 
“struktur ekologis” yakni terbagi-baginya ruang menjadi zone-zone 
kegiatan-kegiatan niaga dan bisnis, zone pemikiman berpenghasilan 
rendah, yang padat sesak, zone pemukiman kelas menengah, zone 
konsentrasi industri.
PERBANDINGAN "KOTA" DAN DESA. 
Dalam peradaban modern, dominasi 
"kota" telah diidentifikasikan dengan dua fenomena. 
Pertama, kontak desa 
dan "kota" telah menjadi lebih erat dan lebih banyak bila dibandingkan 
dengan sebelumnya. 
Kedua, penduduk "kota" semakin besar bila dibandingkan 
dengan desa.
Karena persoalan yang lebih 
kompleks dan sulit, membuat orang "kota" lebih unggul daripada orang desa 
secara kualitas maupun kuantitas. Yang dimaksud kualitas adalah 
kemampuan untuk mengantisipasi kebutuhan dan kepentingan masyarakat guna
 meningkatkan taraf dan mutu hidup anggotanya. Sementara yang dimaksud 
dengan kuantitas adalah jumlah dan aneka ragam lembaga pranata, dan 
sarana lain yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan 
anggotanya.
Sumber:
1. narasibumi.blog.uns.ac.id/2009/04/14/antropologi-perkotaan/ 
2. laely.widjajati.photos.facebook.com/Pantai-Dream-Land-Bali/
3. laely.widjajati.photos.facebook.com/NYANTAI-BANGEEET............../
4.laely.widjajati.photos.facebook.com/Alhamdulillah/-Ada-pohon,-bs-berteduh-dr-sengatan -matahari......./
5. laely.widjajati.photos.facebook.com/NGIYUP-dibawah-Pohon-Cemara......./
6. hepi.sayi.photos.facebook.com/3-angel...-Menyelesaikan-misi../