"Ilmu Kesejahteraan Sosial" merupakan pengetahuan sistematis 
yang membahas isu "kesejahteraan" dan upaya-upaya mencapai 
"kesejahteraan". 
Kemunculan disiplin ini merupakan hasil dari perluasan pokok bahasan 
bidang pekerjaan "sosial".
 DEFINISI "ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL". 
"Ilmu Kesejahteraan Sosial" adalah "ilmu" terapan yang mengkaji 
dan mengembangkan kerangka pemikiran, serta metodologi yang dapat 
dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. 
FOKUS DAN RUANG LINGKUP "ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL".
Bila "ilmu" kedokteran menekankan pada diagnosis dan penyembuhan, 
disiplin ini menekankan pada penilaian (‘’assessment’’) dan intervensi "sosial".
 Intervensi "sosial" merupakan metode perubahan "sosial" terencana yang 
bertujuan memfungsikan kembali fungsi "sosial" seseorang, kelompok, maupun
 masyarakat.
 "Ilmu Kesejahteraan Sosial" dalam kaitannya dengan intervensi "sosial" 
memiliki 3 ruang lingkup , yaitu mikro, mezzo, dan makro.
 Level mikro membahas intervensi "sosial" di tingkat individu, keluarga, 
dan kelompok kecil; level mezzo membahas intervensi "sosial" di tingkat 
komunitas; dan level makro membahas intervensi "sosial" di tingkat 
masyarakat yang lebih luas.
SEJARAH "ILMU ESEJAHTERAAN SOSIAL".
Sebelum abad 16.
Pada mulanya, usaha-usaha "kesejahteraan sosial" dilakukan oleh kelompok keagamaan.
 Usaha-usaha "kesejahteraan" yang dilakukan pada umumnya merupakan 
pelayanan "sosial" yang bersifat amal. Keberagaman
 Agama dalam Praktek Pekerjaan "Sosial" (Spiritual Diversity in 
"Social" Work Practice: The Heart of Helping), bahwa setiap agama (Budha, Hindu, Islam, Konghucu. Kristen dan Yahudi)  
memiliki kepercayaan dan nilai dasar yang berimplikasi pada penerapan 
atau praktik kerja "sosial". 
Sebagaimana yang dituliskan Canda dan Furman dalam bukunya.
Abad 13-18.
Pada periode ini pemerintah Inggris mengeluarkan beberapa peraturan 
perundangan untuk menangani masalah kemiskinan. Undang-undang Kemiskinan yang dikeluarkan oleh Ratu Elizabeth (Elizabethan
 Poor Law) merupakan salah satu undang-undang yang paling terkenal 
saat itu. Undang-undang tersebut dianggap sebagai cikal bakal intervensi
 pemerintah terhadap "kesejahteraan" warga negaranya karena usaha 
"kesejahteraan sosial" sebelumnya lebih banyak dilakukan oleh kelompok 
keagamaan, seperti pihak  gereja. Usaha-usaha "kesejahteraan sosial" pada dasarnya berasal dari 
nilai-nilai humanitarianisme
 yang percaya bahwa kondisi kemiskinan yang terjadi di tengah masyarakat
 adalah sesuatu yang tidak seharusnya terjadi. Kemudian muncul kelompok-kelompok (relawan) yang 
mengupayakan pengembangan usaha "kesejahteraan sosial" untuk memperbaiki 
kondisi tersebut.
 Usaha "kesejahteraan sosial" yang dilakukan oleh relawan yang didasari 
semangat filantropis selanjutnya berkembang menjadi lebih terarah dan 
terorganisir.
 Organisasi para relawan inilah yang kemudian mendorong terciptanya 
beragam usaha "kesejahteraan sosial".
 Karena itu, baik di Inggris maupun Amerika, sejarah pekerjaan "sosial" 
sangat terkait dengan para relawan dan organisasi para relawan. 
Tahun 1869.
Organisasi relawan bernama COS (Charity Organization Society) didirikan di London, Inggris.
 Perkembangan organisasi relawan di Inggris berpengaruh pula terhadap 
perkembangan organisasi relawan di Amerika. Organisasi relawan tersebut dikembangkan untuk menggalang dan 
mengkoordinasikan bantuan dana dan material dari berbagai gereja serta 
kurang lebih 100 lembaga amal.
Tahun 1877.
COS kemudian di kembangkan di Buffalo, New York.
 Dalam jangka waktu 10 tahun kemudian, terbentuk 25 organisasi "sosial" di Amerika Serikat. Berkembangnya berbagai COS di Amerika membuat para relawan aktif yang
 terlibat di dalamnya merasa perlu suatu pemahaman yang lebih mendalam 
tentang materi yang berhubungan dengan perilaku individu, serta 
permasalahan "sosial" dan ekonomi.  Oleh karena itu,  Mary Richmond, seorang praktisi pekerjaan "sosial", berencana untuk 
mengembangkan Sekolah Platihan Filantropi Terapan. Lembaga ini menjadi cikal bakal kelas pekerjaan "sosial" di New York pada
 tahun 1898. Perluasan pokok bahasan dalam sejarah perkembangan bidang pekerjaan "sosial" telah memunculkan suatu kajian "kesejahteraan sosial" yang lebih 
luas. 
 Munculnya kajian "kesejahteraan sosial" ini kemudian mendorong 
terbentuknya disiplin baru bernama "ilmu kesejahteraan sosial".
PENDEKATAN "ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL".
Menurut Midgley, terdapat empat pendekatan dalam mengupayakan 
"kesejahteraan sosial" :
Filantropi "sosial".
Filantropi "sosial" bertujuan mempromosikan "kesejahteraan sosial" dengan
 mendorong penyediaan barang pribadi dan pelayanan kepada orang yang 
membutuhkan.
 Ada beberapa karakteristik pendekatan filantropi "sosial", di antaranya:
- Amal, dimana pendekatan ini tidak memiliki kesinambungan. Artinya, tidak ada lagi interaksi dengan penerima bantuan ketika bantuan selesai diberikan.
- Penerima pasif, menggunakan pandangan bahwa masyarakat tidak mampu memenuhi kebutuhan mereka, sehingga dalam penyelenggaraannya tidak melibatkan partisipasi penerima.
- Acak, tidak memiliki metode atau tahapan khusus dalam pelaksanaannya.
- Kemauan, ketergantungan upaya pada kemauan baik dari para donor dan kemauan pemerintah untuk menggunakan uang pembayar pajak demi mendukung kegiatan-kegiatan amal.
Seiring dengan perkembangan filantropi, filantropi tidak lagi hanya 
berkaitan dengan penyediaan bantuan kepada yang membutuhkan.  Selama abad ke-19, ketika kegiatan amal berkembang dengan cepat di 
Eropa dan Amerika utara, beberapa pemimpin filantropis berusaha membawa 
isu reformasi "sosial" dan peningkatan kondisi "sosial".  Para pemimpin, yang sering berhubungan baik dengan anggota kelas 
menengah atas, berusaha untuk menggunakan pengaruh mereka untuk 
menjaring dukungan dari para pemimpin politik dan bisnis.  Mereka menggunakan koneksi yang mereka miliki untuk membujuk pemerintah
 agar memperkenalkan layanan "sosial" yang baru, membuat undang-undang 
yang mencegah eksploitasi dan diskriminasi, atau untuk tindakan 
perlindungan terhadap kelompok rentan.
PEKERJAAN "SOSIAL".
Berbeda dengan pendekatan filantropi, pekerjaan "sosial" merupakan 
pendekatan yang terorganisir untuk mempromosikan "kesejahteraan sosial" 
dengan menggunakan tenaga profesional
 yang memenuhi syarat untuk menangani masalah "sosial".
 Namun, perkembangan pekerjaan "sosial" tidak lepas dari perkembangan 
filantropi.
 Sejak abad ke-19, pekerjaan "sosial" telah mengalami pengembangan 
profesional dan akademik yang cukup pesat dan 
telah menyebar di seluruh dunia 
ADMINISTRASI "SOSIAL".
Pendekatan administrasi "sosial" berusaha mempromosikan "kesejahteraan sosial" dengan 
menciptakan program "sosial" pemerintah yang meningkatkan "kesejahteraan" warga negaranya 
melalui penyediaan berbagai pelayaan "sosial". 
 Pendekatan ini diselenggarakan langsung oleh pemerintah. Salah satu 
contoh yang paling terkenal adalah Undang-Undang tentang Kemiskinan yang dikeluarkan oleh Ratu Eizabet I.
PEMBANGUNAN "SOSIAL".
Pembangunan "sosial" merupakan suatu proses
 perubahan "sosial" terencana yang dirancang untuk meningkatkan taraf 
hidup masyarakat secara utuh, di mana pembangunan ini dilakukan untuk 
saling melengkapi dengan dinamika proses pembangunan ekonomi.
FILSAFAT "ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL". 
Filsafat "ilmu" merupakan suatu studi yang menyangkut masalah eksplanasi, artinya 
bagaimana menjelaskan tentang "ilmu" menurut proses berpikir yang logis 
dan rasional. Pertanyaan berikut ini dapat menjelaskan filsafat "ilmu", 
meliputi; apakah "ilmu" itu; apakah "ilmu" itu sama dengan pengetahuan; apa 
sajakah yang dipelajari oleh pengetahuan dan "ilmu" pengetahuan; apakan 
fungsi dan sarana berfikir yang digunakan "ilmu", yang karena itu "ilmu" 
harus dikuasai; bagaimanakah dampak "ilmu" itu pada kehidupan manusia.
"Ilmu 
Kesejahteraa Sosial" merupakan "Ilmu" pengetahuan, penelaahan "ilmu" 
pengetahuan secara filsafat dimulai dari pengetahuan yang berasal dari 
fakta dan pengalaman-pengalaman hidup. Pengetahuan bergeser menjadi 
sebuah "ilmu" ketika fakta dielaborasi dengan cara-cara tertentu sehingga 
menjelaskan tentang data empiris tadi yang berasal dari fakta dan 
pengalaman, tahapan tersebut merupakan struktur dan prosedur "ilmu" menuju
 arah filsafat "ilmu" yang alur dimulai dari tahap pengetahuan ke "ilmu" dan
 menuju kepada filsafat "ilmu".
Fungsi 
dan peran "ilmu" pengetahuan akan tampak dari bagaimana 
operasionalisasinya, atau mengapa orang harus melakukan hal berkaitan 
dengan apa yang dioperasionalisasikan itu, keadaan itu dapat dijelaskan 
adalah oleh karena "ilmu" itu bukan hanya sekedar sarana berpikir belaka, 
tetapi juga "ilmu" harus menjelaskan fakta. Pengetahuan yang berasal dari 
fakta dan pengalaman melalui cara tertentu bertransformasi menjadi "ilmu" 
pengetahuan. Fakta dan pengalaman yang terkandung dalam pengetahuan 
merupakan sebuah objek tertentu yang menjadi telaahan dari "ilmu".
 
Pengetahuan akan "kesejahteraan sosial" adalah fakta-fakta mengenai 
masyarakat yang memiliki kepuasan interaksi antar sesamanya dalam 
kehidupannya. Karena masyarakat terhimpun dari individu-individu, yang 
berkelompok dalam keluarga dan komunitas-komunitas kepentingan, dan 
kewilayahan. Maka, pengetahuan "kesejahteraan sosial" mengungkapkan fakta 
dan pengalaman dari individu, keluarga, dan komunitas-komunitas tentang 
kepuasan interaksi antar sesamanya dalam kehidupan. Fakta dan pengalaman
 mengenai kepuasan individu dalam interaksi antar sesamanya dalam 
kehidupan merupakan data, melalui proses eksplanasi data inilah maka 
"ilmu" pengetahuan mengenai interaksi antar sesamanya dalam kehidupan 
menjadi objek dari "ilmu kesejahteraan sosial".
Pada 
hakekatnya arti filsafat "ilmu" merupakan telaahan "ilmu" pengetahuan secara
 filsafat, yang ingin menjawab pertanyaan tentang hakekat "ilmu" 
pengetahuan, secara rinci dalam menelaah "ilmu" diuraikan dalam tiga 
landasan filsafat; ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Ketiga 
landasan filsafat ini dapat dijadikan pembeda antara "ilmu" yang satu 
dengan "ilmu" yang lainnya, melalui pertanyaan – pertanyaan berikut secara
 jelas filsafat membedakan "ilmu".
- 
Apakah yang akan dikaji oleh pengetahuan itu
 
- 
Bagaimanakah cara memperoleh pengetahuan itu
 
- 
Untuk apakah pengetahuan itu digunakan
 
Jawaban –
 jawaban yang diperoleh dari ketiga pertanyaan itu akan dapat membedakan
 tentang apa dan bagaimana berbagai jenis pengetahuan manusia dalam 
kehidupannya, serta meletakkan pengetahuan itu pada tempatnya yang 
berfungsi, sehingga kehidupan tersebut akan lebih bermakna bagi mereka 
yang menjalaninya.
1. ONTOLOGI.
Pada 
dasarnya, menurut Jujun S. Suriasumantri landasan ontologi dipahami 
melalui pemahaman mengenai filsafat "ilmu" itu sendiri yang merupakan 
telaahan secara filsafat untuk menjawab beberapa pertanyaan mengenai 
hakikat "ilmu" seperti :
“obyek apa yang ditelaah "ilmu"? Bagaimana wujud
 yang hakiki dari obyek tersebut ? Bagaimana hubungan antara obyek tadi 
dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa dan mengindera) 
yang membuahkan pengetahuan ?
Konkritnya,
 bidang telaah sebagaimana konteks diatas merupakan landasan Ontologi 
"Ilmu". Apabila konteks tersebut dapat dikorelasikan dengan "Ilmu 
Kesejahteraan Sosial" maka landasan Ontologi "Ilmu 
Kesejahteraan Sosial" 
pada hakikatnya akan menjawab pertanyaan apakah titik tolak kajian 
substansial dari "Ilmu 
Kesejahteraan Sosial". Ternyata dari Optik Ontologi
 maka kajian substansial "Ilmu 
Kesejahteraan Sosial" terletak pada 
“kaidah-kaidah dalam mencapai kepuasan interaksi antar sesama manusai 
dalam masyarakat”.
Fakta dan
 pengetahuan tentang "kesejahteraan sosial" adalah sebuah kondisi dalam 
masyarakat beserta indivudu-individu di dalamnya berada dalam keadaan 
yang ‘harmoni’, melalui "Ilmu 
Kesejahteraan Sosial" akan diungkapkan upaya
 pencapaian kondisi masyarakat yang puas dengan kehidupan "sosial"nya 
sehingga berdampak pada keadaan harmoni dalam masyarakat.
2. EPISTEMOLOGI 
Ditinjau 
aspek etimologi maka epistologi berasal dari bahasa Yunani yang 
merupakan kata gabungan dari kata episteme dan logos, Episteme artinya 
pengetahuan dan logos lazim dipakai untuk menunjukkan adanya pengetahuan
 sistematik. Sehingga secara mudah epistemologi dapat diartikan sebagai 
pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan. Selanjutnya, menurut A.M.W.
 Pranarka menyebutkan, bahwa menurut:
“Webster Third New International Dictionary
 mengartikan epitemologi sebagai “the study of methol and grounds of 
knowledge, especially with reference to its limits and validity”.
Runnes didalam Dictionary of Philosophy
 memberikan keterangan bahwa epistemologi merupakan ‘the bronch of 
philosophy which investigates the origin, structure methode an validity 
of knowledge’. Terdapat tiga persoalan yang mendasar dalam 
epistemologi yaitu: pertama tentang sumber pengetahuan manusia, kedua 
tentang teori kebenaran pengetahuan manusia, ketiga tentang watak 
pengetahuan manusia. (Kaelan, 2003: 67).
Pada dasarnya, apabila "ilmu kesejahteraan 
sosial" sebagai "ilmu" yang bertujuan menciptakan kondisi-kondisi kepuasan 
interaksi atara sesama anggota masyarakat, dan dapat dikatakan objek 
studi "ilmu kesejahteraan sosial" adalah kepuasan interaksi dalam 
masyarakat. Menurut Teori Kebutuhan sehingga memotivasi manusia untuk 
memenuhnya diungkapkan oleh Albert Maslow, maka kepuasan interaksi 
individu dalam masyarakat akan tercipta apabila semua kebutuhan dan 
keinginan sesuai dengan tahapan kebutuhan dapat terpenuhi sesuai dengan 
status masing-masing individu dan peran yang dimainkannya.
Teori ini di jadikan landasan bagaimana 
pengetahuan terhadap fakta dan pengalaman yang ada dielaborasi dengan 
pendekatan ilmiah dan diperoleh "ilmu" tentang "kesejahteraan sosial" yang 
membicarakan cara-cara mencapai keadaan "kesejahteraan sosial".
3. AXIOLOGI 
Menurut 
Jujun S Suriasumantri maka ditinjau dari aspek axiologi membahas dan 
menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
“Untuk apa pengetahuan yang berupa "ilmu" itu 
dipergunakan ? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan 
kaidah-kaidah moral ? Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah 
berdasarkan pilihan-pilihan moral ? Bagaimana kaitan antara teknik 
prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan 
norma-norma moral/referisonal ?”
Konkritnya, dari aspek tersebut Axiologi "Ilmu Kesejahteraan Sosial" akan berkoleratif terhadap kegunaan dari "Ilmu 
Kesejahteraan Sosial" itu sendiri. Diketahui bahwasanya "Ilmu 
Kesejahteraan Sosial" bersifat dinamis dalam artian mempunyai pengaruh 
dan fungsi yang khas dibanding dengan bidang bidang "sosial" lainnya.
SIMPULAN. 
Kaitannya
 dengan karya ilmiah disertasi, landasan filsafat yang menelaah "ilmu" 
pengetahuan ini, hanya dapat memenuhi dua landasan filsafat terakhir, 
yaitu; landasan Epistemologi dan Axiologi, sedangkan landasan Ontologi 
merupakan landasan yang sudah menjadi pembeda utama dari keberadaan "ilmu
 kesejahteraan sosial" dengan "ilmu"-"ilmu" lainnya, oleh karenanya landasan 
ontologi ini tidak serta merta dapat digali oleh pengkajian berfikir 
ilmiah yang dapat merubah atau pergeseran "ilmu kesejahteraan sosial". 
Kalau pun dari karya disertasi ini menemukan aspek ontologi baru maka 
akan memunculkan sebuah penelaahan mendalam kembali sehingga hasil 
disertasi ini akan mengantarkan pada suatu pengetahuan baru, kemudian 
dengan cara tertentu dielaborasi menjadi sebuah "ilmu" dan menjadi "ilmu" 
pengetahuan baru, dengan kajian filsafat terhadap "ilmu" yang baru 
ditemukan itu.
Sumber:
1. id.wikipedia.org/wiki/Ilmu_kesejahteraan_sosial
2. blogs.unpad.ac.id/.../tinjauan-kritis-tentang-ilmu-kesejahteraan-sosial-dalam-
3. laely-widjajati.blogspot.com/.../peningkatan-wawasan-sdm-inspektorat.html
4. laely-widjajati.facebook/Alhamdulillah.... Listriknya hanya mati suri/