Senin, 04 April 2011

"SEJARAH DAN KEPRIHATINAN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL"

"Sejak pertengahan abad ke-14, dunia sekuler mulai menaruh masalah-masalah bidang "kesejahteraan sosial" yang selama itu ditangani oleh Rohaniawan."


Bersamaan dengan itu Inggris dilanda masalah Black Death, wabah penyakit pes yang melanda dan membunuh beribu-ribu penduduk Inggris dan berakibat terhadap pengurangan tenaga kerja sampai pada akhirnya Raja Edward III mengeluarkan Statute Laborer di tahun 1349. Mulai saat itu, berakhirlah dominasi keagamaan dalam mengurusi masalah-masalah "kesejahteraan sosial" yang dilatar-belakangi oleh pendekatan charities dan filontrofis.

Tahun-tahun kemudian, perhatian terhadap masalah-masalah "kesejahteraan sosial" terus ditingkatkan dan pada tahun 1531 Raja Hendry VIII membuat peraturan Statute of 1536 yaitu peraturan pengawasan terhadap fakir miskin. Kemudian pada tahun 1601 Ratu Elizabeth mengeluarkan undang-undang tentang kemiskinan yang populer dengan The Elizabeth Poor Law of 1601.

Setelah revolusi industri, usaha-usaha di bidang "kesejahteraan sosial" mulai dikenal di luar Inggris, terutama di Amerika. Di negara ini kemudian usaha-usaha "kesejahteraan sosial" berkembang pesat dan seakan-akan memasuki babak baru dalam bidang ini. Karena itu di kemudian hari orang lebih mengenal Amerika sebagai pusat kajian di bidang "kesejahteraan sosial". Walaupun Inggris sendiri tetap bertahan sebagai negara "kesejahteraan" (Welfare State).


KEADAAN DI INDONESIA.

Bangsa Indonesia sejak lama telah mengenal konsepsi "kesejahteraan sosial". Hal ini tergambarkan melalui nilai-nilai yang dituangkan dalam ungkapan-ungkapan 'gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja, jer basuku mawa bea' dan sebagainya. Kemudian secara lebih jelas cita-cita bangsa Indonesia tentang "kesejahteraan sosial" dituangkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila dan dijabarkan dalam Batang Tubuh UUD 1945.

Di Indonesia usaha-usaha di bidang "kesejahteraan sosial" mulai dikenal dalam konsepsi modern, setelah Indonesia dijajah Belanda. Pada waktu itu Belanda memperkenalkan beberapa program "kesejahteraan sosial" melalui missionaris dan gereja. Walaupun terasa baru, namun bagi bangsa Indonesia yang sebelumnya telah memiliki pandang "kesejahteraan sosial" yang dilandasi oleh nilai-nilai religius termasuk di dalamnya nilai-nilai humanistik, merasa pengenalan tersebut bukanlah suatu surprise namun hanya sebagai reaktualisasi terhadap nilai-nilai "kesejahteraan sosial" yang selama ini dianut.

"KESEJAHTERAAN SOSIAL" SEBAGAI "ILMU"  PENGETAHUAN.

Perkembangan selanjutnya di Amerika maupun di Indonesia sendiri - Usaha "kesejahteraan sosial" berkembang dan dikaji sebagai suatu cabang ilmu tersendiri meninggalkan usaha-usaha praktis yang selama ini dilakukan oleh masyarakat luas yang disebut dengan pekerjaan "sosial"

Perkembangan orientasi dari usaha praktis ke kajian ilmiah ini didorong oleh tantangan yang dihadapi di bidang "kesejahteraan sosial" itu sendiri. Suatu contoh bahwa perkembangan berbagai masalah "sosial" pada beberapa dasawarsa ini, memberikan indikator yang menjurus pada tiga model masalah "sosial".
Pertama yaitu masalah "sosial" sebagai suatu petaka pribadi maupun masalah bersama, seperti kemiskinan struktural, bencana alam, kecacadan dan sebagainya. Dimana ciri khas dari model masalah "sosial" ini adalah sulit dihindari, karena sudah terpola atau datangnya tidak dapat diperkirakan atau dihindari.
Model Kedua adalah masalah "sosial" yang ditimbulkan oleh faktor-faktor intern maupun ekstern manusia itu sendiri dengan struktur dan kultur hidup yang memberi peluang dan mendorong timbulnya masalah "sosial".
Ketiga, adalah perpaduan dari model pertama dan kedua. Dimana seseorang bermasalah "sosial" sebagai akibat dari keadaan yang tidak dapat dihindarinya serta kerelaan dirinya untuk tidak keluar dari masalah "sosial" tersebut.

Untuk mengatasi masalah-masalah diatas, tentu tidak cukup hanya bertumpu pada kegiatan-kegiatan memobilisir dan mendistribusikan dana serta usaha-usaha lain yang bersifat rehabilitatif. Akan tetapi harus dikaji secara mendalam dan ilmiah. Berangkat dari kesadaran ini maka universitas-universitas muncul jurusan atau program studi "Ilmu Kesejahteraan Sosial".

Sesungguhnya di bidang"kesejahteraan sosial", kita mengenal teknologi dan sain. Teknologi bidang "kesejahteraan sosial", yaitu upaya-upaya praktis dengan menggunakan metodologi tepat guna, keterampilan serta pengetahuan praktis dalam memberikan pertolongan kepada masyarakat yang mengalami masalah "sosial".  Teknologi ini secara akademik lebih dikenal dengan nama pekerjaan "sosial". Sedangkan "Ilmu Kesejahteraan Sosial" adalah lebih menitik beratkan pada orientasi problem solving pada masalah kawasan, lintas "ilmu", struktural, perencanaan baik pada bidang "kesejahteraan sosial" maupun bidang-bidang lain yang saling berhubungan dengan bidang "kesejahteraan sosial".

"Kesejahteraan Sosial" sebagai suatu "ilmu", berinduk pada bidang "ilmu" utama, menghasilkan beberapa bidang "ilmu", antara lain adalah "ilmu" masalah-masalah "sosial" atau "ilmu" disorganisasi "sosial". Dari bidang "ilmu" ini, menjadi beberapa "ilmu" khusus, antara lain "Ilmu Kesejahteraan Sosial" adalah salah satu dari bidang "ilmu" khusus tersebut.


SEBUAH KEPRIHATINAN.
Di Indonesia perincian asal usul "Ilmu Kesejahteraan Sosial"  seperti di atas, belum banyak dikenal orang -- walaupun banyak perguruan tinggi telah membuka  jurusan atau program studi "Ilmu Kesejahteraan Sosial". Karena itu kita belum saatnya berharap banyak dari "ilmu" yang satu ini, karena kita harus jujur bahwa di Indonesia "Ilmu Kesejahteraan Sosial" masih penuh dengan 'lumpur'. Karenanya masih banyak memerlukan diskusi, polemik dan lain sebagainya. Para sarjana dalam "ilmu" pun masih harus banyak belajar dan mau meninggalkan tingkah laku intelektual ataupun sikap intelektual yang banyak menimbulkan kesan konsumerais dimana mereka hanya doyan produk-produk "ilmu" orang lain, kemudian bangga dengan sikapnya itu, dan akhirnya lupa diri. Lupa bahwa dia adalah sarjana dengan wawasan ke-diri-an, dengan keharusan mengembangkan "ilmu"nya tersebut.

Dalam situasi seperti ini, tidak semestinya kita saling menunjuk hidung dan saling mengkambing-hitamkan. Yang jelas bahwa kurikulum pendidikan "Ilmu Kesejahteraan Sosial" harus segera direvisi sesuai dengan kebutuhan saat ini dan disini "Ilmu Kesejahteraan Sosial" produk Indonesia haruslah berwawasan ke-Indunesia-an dan menyentuh hajat setiap individu Indonesia. Untuk ini semua, kita butuh piranti yang mampu bertindak sebagai komunikator antar sesama peminat "ilmu" ini, kalau tidak ingin "ilmu" ini akan menjadi sampah.

Suatu kenyataan dari statement di atas, terbukti bahwa produk-produk perguruan tinggi dalam bidang "Ilmu Kesejahteraan Sosial" sukar bersaing di pasar, mereka selalu terpojok dan pada akhirnya mencari status di pegawai negeri dengan kualitas di bawah pas-pasan.

Buntutnya tidak sampai disitu, kualitas para sarjana menentukan hidup mati dari bidang "ilmu" ini. Dan kalau masyarakat telah mengukur sesuatu dengan kualitas, sedangkan kualitas sarjana "Ilmu Kesejahteraan Sosial" masih seperti yang digambarkan itu, maka tinggal tunggu saja saat kehancurannya.

"PERANAN WANITA DALAM PERSPEKTIF"

"Wanita" adalah topik yang selalu menarik dibicarakan. Masalah "wanita" adalah masalah yang selalu aktual yang tetap dibicarakan dari masa ke masa, dari berbagai persepsi, baik persepsi yang menghina, memanja-manjakan, mendewa-dewakan sampai pada persepsi yang menghendaki hak emansipasi."

Pada jaman modern ini, masalah "wanita" juga tidak kalah hangat dengan masalah high technology yang serba canggih dan rumit. Namun pada saat ini, dianggap tidak bernilai plus kalau hanya membicarakan hal itu sudah jelas dan gamblang. Yang terpenting adalah bagaimana mendudukkan "wanita" pada proporsi yang sebenarnya: sebagai ibu rumah tangga dan juga sebagai anggota masyarakat.

"Wanita" mempunyai tugas yang tidak dapat digantikan orang lain. Artinya "wanita" mempunyai "peranan" yang tidak dapat di"peran"kan orang lain, misalnya suami, pramuwisma dan sebagainya. Berdasarkan hal itu, marilah kita kaji bersama tentang ruang lingkup peranan "wanita".

1."Wanita" Sebagai Makhluk Pribadi.
Peranan "wanita" dapat dinikmati apabila mereka sendiri sudah mampu menunjukkan identitasnya. Kumpulan dari "wanita" sebagai individu yang bertanggung-jawab akan melahirkan "wanita" berkualitas tinggi (High Quality "Woman"). Dengan kualitasnya ini pulalah, "wanita" akan dapat menghasilkan binaan yang berkualitas. Sebagai individu, "wanita" berhak berbuat dengan segala dampak serta manfaatnya. Dalam hal ini "wanita" mempunyai hak membina diri (To Self Building) dan berprestasi (To Achievment).

2. "Wanita"Sebagai Istri.
Disamping sebagai individu, "wanita" juga mempunyai kodrat sebagai pendamping suami. "Peranan" ini sangat penting, karena kebahagiaan atau kesengsaraan yang terjadi dalam kehidupan keluarga, banyak ditentukan oleh istri. Istri yang bijaksana dapat menjadikan rumah tangga sebagai tempat yang paling aman dan menyenangkan bagi suami.
Sebagai istri, "wanita" mempunyai tugas-tugas sebagai berikut:
a. Taat kepada suami dalam hal kebaikan tentunya.
b. Berusaha menyenangkan hati suami dan tidak mengecewakan perasaan suami.
c. Bertanggung-jawab terhadap rumah tangga suaminya.
d. Selalu menjaga kehormatan dirinya, tidak membiasakan diri bepergian ke tempat-tempat yang mencurigakan, tidak cemburu buta dan memahami hoby suami.
e. Tidak main cinta dengan laki-laki lain.
f. Membantu membina mental suami.
g. Tidak melanggar ketentuan agama yang dianutnya.

3. "Wanita" Sebagai Ibu.
Salah satu fungsi "wanita" yang terpenting dalam keluarga adalah sebagai ibu, karena pembinaan kepribadian anak dimulai sejak si anak dalam kandungan. "Wanita" sanggup mengandung, memelihara dan mendidiknya. "Wanita" sebagai ibu merupakan pendidik primer bagi manusia. Ibu ideal tidak sekedar bobot (hamil) ansikh. tetapi juga harud berbobot (berkualitas). Anak-anak tidak cukup dijamin kebutuhan jasmaninya, tetapi rokhaninya juga sangat penting. Bila peranan ibu diserahkan kepada pramuwisma. dampaknya akan fatal bagi anak. Kita semua tahu sampai dimana idealisme seorang pramuwisma selama ini. Disamping menyiapkan anak yang berkualitas, ibu juga mempunyai tugas penting dalam hal pengendalian kependudukan dan lahirnya generasi bangsa yang bertaqwa kepada Tuhan YME. Dengan mengendalikan kelahiran anak, ibu akan dapat meningkatkan kualitas pendidikan anak-anaknya. Sangat kurang bijaksana apabila kita tetap berorientasi pada kualitas anak dan bukan kualitas anak.

4. "Wanita" Sebagai Anggota Masyarakat.
"Peranan wanita" dalam masyarakat tidak dapat dipungkiri. Dalam segala bidang kehidupan, "wanita" ikut ber"peran". bahkan dalam berbagai hal. Kalau kita mau jujur, "peranan wanita" lebih menentukan dari pada laki-laki. Bahkan "wanita" dapat diumpamakan sebagai 'Tiang Negara'. apabila ia baik, maka negara akan baik, dan apabila ia rusak, maka negara akan rusak. Perumpamaan tadi sangat tepat dan terbukti dengan nyata. Berapa banyak kerajaan hancur, hanya karena "wanita" berpengaruh dalam negara itu tidak baik, atau rajanya digoda oleh "wanita". Dan banyak pula kandidat-kandidat presiden berguguran hanya karena "wanita". Itu berarti bahwa "wanita" sangat berpengaruh dalam suatu negara.
 
Dalam pembangunan masyarakat sekarang ini tampak sekali betapa besar "peranan wanita". "Wanita" Indonesia sampai kini cukup banyak yang telah menunjukkan prestasi mereka yang dapat dibanggakan di berbagai bidang yang menentukan bagi kemajuan bangsa, misalnya guru, lurah, camat, dokter, hakim, pilot, pengusaha, pengacara, anggota angkatan perang dan sebagainya.

Dalam situasi pembangunan seperti sekarang ini, lebih ideal apabila suami-istri saling bekerja, namun keduanya tetap dalam jabatan konvensionalnya. Dengan pengertian, walaupun ibu turut mencari nafkah, ibu tetap menjalankan kewajiban konvensional, yaitu membina rumah tangga dan merawat anak-anaknya. Jadi peranan "wanita" dapat berkembang selaras, serasi dan seimbang dengan tanggung-jawab serta "peranan"nya sebagai ibu rumah tangga dan sebagai "wanita" pekerja.