"Marah" merupakan reaksi emosional yang wajar dirasakan oleh setiap makhluk hidup. Biasanya, reaksi tersebut dipicu berbagai kekecewaan maupun perasaan terluka."
Rasa "marah", seringkali diungkapkan oleh manusia, karena rangsangan atau pemicunya lebih banyak. Menurut Setyaningsih, S.Psi,M.Psi, biasanya dorongan "marah" muncul sebagai bentuk pertahanan diri. Seseorang tidak akan diam saja ketika diganggu atau diperlakukan tidak adil. Akibatnya, muncullah sikap mempertahankan diri, yang salah satu bentuknya adalah "marah".
Pemicu ke"marah"an antara lain adalah rintangan, misalnya terbatasnya kemampuan fisik, mental dan sosial. Pemicu lain adalah ingin mendapatkan perhatian serta ingin memenuhi kebutuhan akan sesuatu. Frekwensi dan intensitas ke"marah"an pada masing-masing orang berlainan. Ada orang yang dapat melawan rangsangan yang menimbulkan ke"marah"an. Sebaliknya ada yang kurang mampu melawannya. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni kondisi fisik atau kesehatan seseorang, emosi, makna terhadap sesuatu yang dirintangi, situasi (panas/sejuk).
Selain itu, reaksi "marah" setiap orang juga berbeda. Ada yang impulsif (langsung "marah"), ditekan (tidak langsung "marah"), intrapunitif (menghukum diri sendiri) dan ekstrapunitif (ditujukan untuk orang lain). Reaksi "marah" yang impulsif seringkali sulit diterima masyarakat.
Solusi untuk mengatasi ke"marah"an, dapat dibedakan antara solusi bagi anak/remaja dan orang dewasa. Pada anak dan remaja, mereka harus dibantu dan dibimbing untuk menyadari penyebab ke"marah"annya. Selain itu, mereka juga perlu dibimbing bagaimana menyalurkan energi "marah" yang dapat diterima lingkungan masyarakat sehingga sehat emosional. Dan tidak kalah penting, senantiasa jalin cara berkomunikasi yang intensif dengan anak supaya mereka dapat berkomunikasi dengan nyaman dan tidak memendam kekesalannya.
Solusi bagi orang dewasa, tetap harus dapat mengenali penyebab ke"marah"annya. merekapun hendaknya dapat mengenali potensi diri dan menyalurkan energi "marah" dengan sehat. Misalnya dengan bersih-bersih rumah atau berolah raga. Cara lain adalah mengembangkan cara berpikir positip dan mengembangkan keterampilan sosial seperti toleransi, empati dan simpati.
Menurut Psikolog Alima Philip, dampak buruk akibat rasa
"marah" yang tidak dikontrol, tidak hanya mempengaruhi kejiwaan, namun dapat juga membahayakan kesehatan tubuh, antara lain:
1. Naiknya tekanan darah dan kerja jantung.
2. Letih.
3. Sulit tidur.
4. Depresi.
5. Terasing.
6. Mengambil keputusan yang salah.
Dalam agama Islam, Allah berfirman dalam Al-Qur'an Surat Al-A'raf Ayat 199: "Jadilah engkau pemaaf dan perintahkanlah yang makruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh".
Setiap muslim dituntut untuk berakhlak Islami. Dan salah satu tanda ketakwaan adalah mengendalikan sikap "marah" dan itulah sifat penghuni "surga". Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah dalam Al-Qur'an Surat Ali Imran Ayat 133-134: "Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada "surga" yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan a"marah"nya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan."
Menahan a"marah" adalah salah satu teladan yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Beliau telah memberi teladan kepada kita bagaimana caranya menahan a"marah". Antara lain tidak ada satu kata buruk pun dari mulut beliau atas ulah orang-orang kampung Thaif yang mengusirnya dan melemparinya dengan batu hingga berdarah. Kalau Rasulullah saja tidak pernah "marah", bahkan bersikap lembut dan selalu memaafkan orang yang menghinanya, bagaimana mungkin orang yang mengaku mencintai beliau berani melakukan hal sebaliknya?
Hadits Riwayat Abu Dawud menjelaskan, bahwa Rasulullah bersabda: "Sesungguhnya "marah" itu dari setan, dan setan itu diciptakan dari api. Sesungguhnya api itu dapat dipadamkan dengan air, maka barangsiapa yang "marah" hendaklah berwudlu."
Hadits ini selain menunjukkan sumber a"marah", juga menunjukkan bagaimana terapinya. Wudlu dijadikan sebagai terapi a"marah", karena air yang dibasuhkan pada bagian-bagian tubuh dapat mendinginkan dan menghilangkan ketegangan urat saraf. Selain itu wudlu mengingatkan psikis manusia supaya berdzikir kepada Tuhannya, sebab dzikir dapat menyembuhkan penyakit batin.
(Sumber: Majalah Al Falah, Edisi 275, Februari 2011).