Selasa, 15 Februari 2011

"KHUSYUK DALAM SHALAT"

"Sangat penting bagi setiap muslim memperhatikan hal-hal  yang dapat mendatangkan ke"khusyuk"an di dalam "shalat".


Menurut Syaikh Muhammad bin Shalih al-Munajjid, ada 18 hal yang mesti diketahui dan dilaksanakan supaya ke"khusyuk"an dapat terwujud, yaitu:

1. Berdiri sepenuhnya untuk "shalat".
2. Thuma'ninah.
3. Mengingat mati di saat "shalat".
4. Menghayati makna bacaan "shalat".
5. Membaca Surat sambil berhenti pada setiap ayat.
6. Membaca Al-Qur'an dengan tartil serta membaguskan bacaan.
7. Meyakini bahwa Allah akan mengabulkan permintaannya saat hamba sedang "shalat".
8. Meletakkan sitrah (tabir pembatas).
9. Meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri di atas dada.
10.Melihat ke arah tempat sujud.
11.Membaca Surat-surat Al-Qur'an atau do'a-do'a secara bergantian.
12.Menggerak-gerakkan jari telunjuk.
13.Membaca ayat-ayat sajadah.
14.Memohon perlindungan kepada Allah dari godaan syaitan.
15.Membayangkan ke"khusyuk"an para ulama Salafus Saleh saat mereka "shalat".
16.Bersungguh-sungguh dalam berdo'a (pada saat disyariatkannya berdo'a) dalam "shalat", khususnya pada waktu sujud.
17.Mengetahui keistimewaan-keistimewaan "khusyuk" dalam "shalat".


Selanjutnya, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Munajjid menjelaskan bahwa setelah berupaya mewujudkan sebab-sebab yang dapat mewujudkan ke"khusyuk"an perlu upaya yang sungguh-sungguh untuk menepis berbagai penghalang ke"khusyuk"an, antara lain:

1. Berdzikir setelah "shalat".
2. Menghilangkan sesuatu yang mengganggu di tempat "shalat".
3. Menghindari "shalat" dengan pakaian bergambar dan bertulis atau yang sejenisnya.
4. Menghindari "shalat" di dekat makanan yang disukai.
5. Menghindari "shalat" dalam keadaan menahan buang air kecil maupun besar.
6. Menghindari "shalat" dalam kondisi mengantuk.
7. Jangan "shalat" di belakang orang yang sedang bercakap-cakap ataupun tidur.
8. Tidak menyibukkan diri dengan membersihkan debu.
9. Tidak boleh mengganggu orang "shalat" dengan mengeraskan bacaan Al-Qur'an.
10.Tidak menoleh ke kiri dan ke kanan ketika "shalat".
11.Tidak mengarahkan pandangan ke langit.
12.Jangan meludah ke depan ketika sedang "shalat".
13.Berusaha sebisa mungkin untuk tidak menguap.
14.Tidak bertolak pinggang ketika "shalat".
15.Tidak menjulurkan pakaian hingga menyentuh tanah.
16. Tidak mencontoh gerakan atau tingkah laku binatang.


Ke"khusyuk"an merupakan hal pertama yang akan diangkat dari bumi ini, sementara kita hidup di akhir zaman.Gambaran Huzaifah dalam Kitab Madarijus Salikin oleh Ibnu Qayyim, dijelaskan bahwa: "Pertama kali akan hilang dari agamamu adalah "khusyuk" dan hal terakhir yang akan hilang dari agamamu adalah "shalat". Betapa banyak orang "shalat" tetapi tiada kebaikan padanya. Hampir saja engkau memasuki masjid sementara tidak mendapatkan diantara mereka orang yang "khusyuk".


Imam Ahmad meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW, mengingatkan orang-orang yang tidak "khusyuk" dalam "shalat" dengan sabda beliau: "Yang pertama kali diangkat dari ummat ini adalah ke"khusyuk"an (dalam "shalat") sehingga tidak terlihat lagi orang yang "khusyuk". Maka dari itu tidak ada jalan lain bagi kita, selain harus mengerti dan memahami setiap lafal yang kita ucapkan dalam "shalat". Belum terlambat untuk belajar, karena memang tidak ada kata-kata terlambat dalam belajar.


Menurut Al-Gazali, upaya menumbuhkan "khusyuk" dapat ditempuh dengan usaha sebagai berikut:

1. Hudlur al-Qalb (Pemusatan Pikiran).
Yang dimaksudkan dengan pemusatan pikiran disini adalah memalingkan pikiran dari segala yang lain dan memfokuskannya kepada apa yang sedang dihadapi, sehingga pikiran, perbuatan dan ucapan menjadi sejalan.

2. Tafahhum (Pemahaman).
Maksudnya mengerti dan memahami apa yang dibaca dalam "shalat". Tafahhum ini berada di balik pemusatan pikiran, karena kadang-kadang pikiran dapat dipusatkan kepada ucapan, namun tidak terpusatkan kepada pemahaman atau pengertian dari apa yang diucapkan.

3. Ta'zhim (Mengagungkan Allah).
Yakni mengagungkan Allah dengan segala sifat-sifat keagungan dan kebesarannya. Cara ini adalah yang ada di balik kehadiran hati dan pemahaman atas maknanya. Hal ini merupakan kondisi hati dan dapat tumbuh dengan adanya dua pengetahuan dan kesadaran, yaitu:
a. Kesadaran akan keagungan dan kebesaran Allah SWT dan inilah yang termasuk salah satu dari berbagai pokok keimanan.
b. Kesadaran dan pengetahuan akan kehinaan diri sendiri serta kerendahannya. Juga mengenali benar-benar bahwa dirinya adalah semata-mata seorang hamba Allah yang dapat ditaklukkan dan diperintah sekehendak Yang Maha Menciptakannya dan sikuasai sepenuhnya oleh Tuhannya.

4. Haibah (Kagum dan Takut akan Kebesaran Allah).
Haibah adalah rasa gentar dan sangat takut karena kagum akan kebesaran Allah. Ini adalah keadaan jiwa dan ini dapat tumbuh dengan kesadaran akan kekuasaan Allah, kebesaran kerajaan-Nya, keberlangsungan kehendak-Nya. Semakin banyak ilmu dan pengenalan seorang kepada Allah, maka pasti akan semakin banyak pula ketakutan dan ketaqwaannya.

5. Raja' (Penuh Harap Akan Ampunan dan Rahmat Allah).
Yakni sangat ingin atau harap kepada pahala yang akan dikaruniakan oleh Allah SWT dan disamping itu sebagai imbangannya ialah takut sekali akan siksa-Nya, sehingga tidak lalai untuk melaksanakan sesuatu yang telah diperintahkan.

6. Haya' (Rasa Malu dan Merasa Hina).
Haya' bersumber dari rasa hina dan rasa berdosa karena telah menyia-nyiakan segala perintah Allah. Seorang hamba apabila tidak menyadari bahwa ia telah melalaikan perintah Allah atau berbuat dosa tidak akan pernah merasa malu.


"Shalat" itu sesungguhnya sangat berat bagi jiwa, kecuali bagi orang yang hatinya "khusyuk" dan bersungguh-sungguh untuk mencapai kedekatan posisi kepada Allah, karena menyibukkan diri dalam ibadah "shalat" berarti berpindah dari dunia yang penuh hiruk pikuk dan kegamangan menuju ke alam yang paling tinggi. Dan tentunya hal ini akan menghasilkan kenikmatan dan kebahagiaan yang sempurna.

Puncak ke"khusyuk"an adalah ketundukan dan kepatuhan seluruh anggota badan, pikiran dan bisikan hati secara keseluruhan menuju ke hadhirat Illahi. Kualitas dan nilai "shalat" terkait erat dengan ke"khusyuk"an. Diantara ulama ada yang memandang bahwa "khusyuk" termasuk salah satu syarat sahnya "shalat". Sedangkan ulama yang lainnya berpendapat bahwa "khusyuk" dalam "shalat" hukumnya wajib. Sementara sebagian besar ulama fiqih memandang "khusyuk" itu sunah.


(Sumber: Bagaimana berkomunikasi dengan Allah, oleh Muhammad Hamdi, MS.).

"ANAK GELANDANGAN"

"Lingkungan keluarga yang ditandai oleh kondisi kemiskinan menghasilkan masalah "anak gelandangan". Proses sosialisasi yang berlangsung dalam lingkungan yang 'serba tidak' menyebabkan beberapa ciri khas pada "anak-anak gelandangan".

Beberapa ciri psikologis "anak gelandangan", antara lain:

1. "Anak gelandangan" cepat tersinggung perasaannya. Digoda oleh temannya sendiri menyebabkan mereka sangat marah dan emosional, sering beraksi di luar dugaan dan secara proporsional jauh melebihi penyebab kemarahannya.

2. "Anak gelandangan" lekas putus asa dan cepat mutung, kemudian nekad tanpa dapat dipengaruhi secara mudah oleh orang lain yang ingin membantunya.

3. Tidak berbeda dengan "anak-anak" pada umumnya, "anak gelandangan" juga menginginkan kasih sayang. Hanya karena mereka tidak pernah atau hampir tidak mempunyai pengalaman yang nyata mengenai kasih sayang, maka mereka menjadi liar, atau tidak merasa terikat kepada siapapun, atau pada aturan-aturan yang berlaku umum. Namun dengan caranya sendiri, "anak gelandangan" dapat menunjukkan rasa keterikatannya pada orang lain yang mereka senangi.

4. "Anak gelandangan" biasanya tidak mau tatap muka, dalam arti apabila "anak gelandangan" diajak bicara, tidak mau melihat orang lain secara terbuka. Sebaliknya hal ini diperlukan, karena hal ini merupakan suatu taktik bagi pengasuh untuk menguji kejujuran si "anak".

5. Sesuai dengan taraf perkembangannya yang masih kanak-kanak, "anak gelandangan" sangat labil. Namun keadaan ini sulit berubah walaupun "anak gelandangan" telah bertambah umur, atau walaupun "anak gelandangan" telah diberi pengalaman yang lebih positif umpamanya dengan memiliki keterampilan khusus supaya dapat memperoleh pekerjaan yang nyata. Ternyata bahwa pada permulaan "anak gelandangan" sangat antusias, namun cepat muncul pula sifat lain seperti malas, kemudian sering mbolos dari pekerjaan masih mudah berpengaruh terhadap dirinya. Keadaan ini seringkali menyebabkan "anak gelandangan" tidak dapat bertahan dalam suatu pekerjaan yang menuntut disiplin tertentu dalam pola tingkah lakunya.
6. "Anak gelandangan" memiliki suatu keterampilan, namun keterampilan ini tidak selalu sesuai apabila diukur dengan ukuran normatif pada umumnya. Faktor teladan dan penguatan dari orang lain memegang peranan bagi terbentuknya perilaku yang khas bagi "anak gelandangan", meskipun dengan ukuran normatif kita mungkin sekali tidak sesuai.


Setiap usaha penanggulangan masalah "gelandangan" pada dasarnya nerupakan usaha menanamkan norma-norma sosial yang menurut ukuran umum perlu dianut oleh seseorang sebagai anggota masyarakat.

Kondisi hidup "gelandangan" yang sangat berkaitan erat dengan kemiskinan menyebabkan cara hidup, pola perilaku serta terbentuknya kebiasaan-kebiasaan yang tidak mudah diubah. Berkaitan dengan hal tersebut maka setiap usaha penanggulangan harus dimulai dengan suatu tahap persiapan yang baik supaya program penanggulangan dapat disesuaikan dengan keadaan khusus dari kelompok "gelandangan" yang akan ditangani.

Mengingat bahwa dalam menyusun suatu program penanggulangan harus diketahui lebih dahulu kekhususan dari kelompok yang hendak ditangani, maka yang pertama-tama harus dikembangkan adalah kemampuan dari orang-orang yang menjadi pengasuh supaya mereka dapat mengidentifikasi ciri-ciri khas dari kelompok yang akan menjadi tanggung-jawabnya. Diharapkan bahwa pengalaman dengan berbagai kelompok khusus akhirnya dapat dijadikan landasan untuk membuat strategi umum dan terpadu bagi masalah "gelandangan" umumnya.

Mendirikan tempat penampungan (atau panti sosial) memang perlu, karena program tertentu yang akan dilaksanakan harus dapat diawasi dan dimonitor. Namun demikian yang lebih penting, adalah adanya sejumlah staf pengasuh yang menaruh 'hati' pada masalah "gelandangan", yang sekaligus berarti bahwa mempunyai keterampilan teknis saja tidaklah cukup. Para pengasuh harus juga siap mental untuk 'mau ditipu', 'mau dimanipulasi', dan juga berarti harus memiliki sifat sabar dan mau kurban perasaan. Ciri lain yang diperlukan adalah harus peka terhadap situasi sesaat yang dapat timbul dalam bentuk yang berbeda-beda dan perlu segera ditangani. Hal ini berarti bahwa mendirikan panti sosial tanpa terlebih dahulu menemukan orang-orang yang menghayati mission-nya merupakan penghamburan uang, energi dan pikiran.
Penampungan "anak gelandangan" dengan program pendidikan yang direncanakan secara baik dapat dijadikan usaha permulaan untuk mengembangkan suatu metode menemukan "anak-anak" berpotensi (berbakat) diantara keluarga miskin. Apabila hal ini secara sadar telah dilakukan sejak awal, maka sebagai konsekwensi harus pula dipikirkan latihan apa yang harus diberikan kepada para pengasuh "anak gelandangan" supaya mereka memenuhi harapan.

(Sumber: "Gelandangan" Pandangan Ilmuwan Sosial, LP3ES)


MusicPlaylistView Profile