Kamis, 17 Desember 2009

"RUMAH DAN STANDART KUALITAS HIDUP MANUSIA"

"Rumah" -- betapapun sederhananya akan ikut menaikkan dan merupakan faktor penting dalam kehidupan manusia. "Rumah" menaikkan harga diri penghuninya, ........ "



Tolok ukur untuk menilai "kualitas hidup manusia", tidak saja dari kemampuan pemenuhan kebutuhan untuk pangan, sandang maupun papan, tetapi juga dapat dinilai dari derajat kesehatan, lingkungan hidup yang sehat, kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang layak, air bersih dan penerangan listrik, maupun pemenuhan transportasi umum. Hal ini dikenal dengan istilah Human Basic Needs Strategy Development yang telah menjadi suatu resolusi PBB pada tahun 1974. Jadi pemenuhan kebutuhan akan papan atau pe"rumah"an, jelas merupakan salah satu indikator "kualitas hidup manusia" yang harus terpenuhi. Papan disini bukan hanya sekedar tempat berteduh, tetapi papan dalam arti lingkungan hidup yang sehat, sanitasi yang cukup memadai, untuk "kualitas hidup yang baik". Pada prinsipnya, "rumah" harus dapat memberikan rasa aman dan nyaman serta ketenangan bagi seluruh penghuninya dengan sebaik-baiknya.


Masalah pe"rumah"an di Indonesia masih belum teratasi secara baik, sekalipun kita sudah pada dasawarsa ke 7 kemerdekaan kita. Karena, sejalan dengan kemajuan pembangunan bidang pe"rumah"an yang kian meningkat dan sejalan dengan kemajuan di segala bidang yang juga mempengaruhi kemajuan sosial ekonomi keluarga, tuntutan pe"rumah"an makin tinggi pula sehingga kekurangan pe"rumah"an tak kunjung dapat teratasi, baik bagi golongan yang berduit, lebih-lebih bagi mereka yang miskin.




Pada dua dasawarsa terakhir ini, usaha bidang pe"rumah"an sudah cukup meningkat. Namun demikian, kekurangan pe"rumah"an yang ada ditambah dengan laju pertambahan penduduk yang tinggi yang menuntut pertambahan pe"rumah"an baru setiap tahun, masih jauh untuk dijangkau setiap usaha pembangunan "rumah" secara serentak. Ketidak-seimbangan antara kebutuhan "rumah" dan pengadaan "rumah" memang ibarat lomba tak seimbang, yang tentunya membuat masalah pe"rumah"an di Indonesia sukar untuk ditanggulangi.


Masalah pe"rumah"an juga timbul karena adanya distribusi atau penyebaran penduduk yang tidak merata. Secara rata-rata daerah perkotaan yang berpenduduk padat hanya mampu menyediakan unit "rumah" yang lebih kecil dibanding rata-rata daerah pedesaan.


Bagi golongan berpenghasilan tinggi, pengadaan pe"rumah"an tidak menjadi masalah dan dengan mudah dipenuhi oleh usaha real estate swasta, sedangkan golongan berpenghasilan menengah juga dijangkau oleh real estate swasta dengan fasilitas KPR-BTN dan juga oleh Perum Perumnas, dan golongan berpenghasilan rendah yang dianggap tinggal di kampung-kamping kota dijangkau melalui perbaikan prasarana dan sarana dalam Kegiatan Perbaikan Kampung.


Kalau kita lihat, sudah jelas, bahwa dari pemerataan program di atas, mereka yang justru membutuhkan bantuan (golongan berpenghasilan rendah) malah kurang mendapat bantuan dalam pembangunan "rumah"nya. Sedang Perumnas yang ditujukan untuk menjangkau golongan menengah rendah pun sering jatuh ke tangan orang-orang yang seharusnya bisa membangun "rumah"nya sendiri.



Walaupun kegiatan perbaikan kampung sudah menyentuh sebagian besar kampung-kampung kota, inipun baru ditujukan untuk kampung legal (slum) dari pada kampung-kampung kumuh yang liar (squatter) yang justru seharusnya paling membutuhkan. Golongan berpenghasilan sangat rendah memang belum terjangkau sama sekali oleh program pe"rumah"an atau perbaikan sarana maupun prasarana.


Bila kita membaca situasi pe"rumah"an rakyat -- Pemerintah belum mampu membangun pe"rumah"an untuk seluruh warganya, khususnya untuk yang berpengha
silan rendah ke bawah. Namun justru golongan yang seharusnya ditolong ini, gubuk-gubuk daruratnya merupakan obyek penggusuran tanpa henti-hentinya. Sejelek-jelek gubuk liar, ini masih merupakan "rumah" yang bisa dihuni bila tidak ada yang lain.


"Rumah" -- betapapun sederhananya akan ikut menaikkan dan merupakan faktor penting dalam kehidupan manusia. "Rumah" menaikkan harga diri penghuninya, mereka merasa sebagai pribadi yang mempunyai hak, dan ini akan berakibat menaikkan tanggung-jawab dan perilaku etis mereka untuk hidup lebih baik.


Sudah selayaknya pemerintah melihat ke arah para tuna wisma (golongan berpenghasilan sangat rendah), untuk melindungi mereka dari serangan hujan dan panas. Hal ini untuk menolong mereka supaya tidak makin menderita, karena harus menggelandang, yang akan mengakibatkan mereka melakukan praktek kriminalitas. Kejahatan akan lebih mudah dilakukan oleh mereka yang tidak punya tempat tinggal tetap atau yang hidupnya berpindah-pindah, karena alamatnya sukar untuk dilacak.
Pengadaan "rumah" bagi golongan yang kurang beruntung ini, berarti ikut menjadikan masyarakat kota hidup lebih tenang dan damai. Hal ini akan meningkatkan semakin baik, sehingga akan terwujud tujuan pembangunan nasional kita, yaitu terwujudnya "kualitas hidup warga" pembangunan manusia seutuhnya, melalui peningkatan sumber daya manusia; sehingga partisipasi mereka dalam pembangunan dapat diharapkan.



"KEMITRAAN YANG MEMBINGUNGKAN DALAM PEMBINAAN KELUARGA"

"Konsep "kemitraan" kebanyakan ditafsirkan tanpa batas dengan istri punya kewajiban untuk mencari nafkah, sedangkan suami punya kewajiban mengurus "rumah tangga" termasuk mendidik anak-anaknya".



Anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, orang tualah yang membentuknya menjadi baik atau buruk. Ajaran ini kemudian dibenarkan oleh teori Tabularasa, bahwa setiap anak yang lahir itu bagaikan secarik kertas putih, orang tualah yang mewarnai dirinya menjadi merah, biru dan sebagainya.


Konsep di atas menggariskan bahwa begitu dominan peranan "keluarga" dalam melakukan "pembinaan" terhadap anak-anaknya. Dalam arti bahwa masa depan anak tergantung pada bagaimana sebuah "keluarga" memerankan fungsi "pembinaan" kepada ana-anaknya mulai dari dalam kandungan ibu sampai menjadi dewasa.


"Pembinaan keluarga" di atas tergantung pada bagaimana peranan orang tua dalam melaksanakan tugasnya dalam "keluarga" sebagai orang tua, sebagai pendidik dan atau sebagai panutan yang senantiasa dipedomani, digugu dan ditiru oleh anak-anaknya. Produk-produk "pembinaan keluarga" inilah yang senantiasa mendominasi kepribadian anak-anak setelah mereka dewasa nanti. Tak jarang orang akan menggunakan anak sebagai cerminan sebuah "keluarga", dan kebanyakan orang pun semggunakan indikator ini sebagai ukuran keberhasilan sebuah "keluarga" di masyarakat.


Melihat hal ini maka sebenarnya abak merupakan profil yang paling jujur untuk melihat ketidak-jujuran orang tuanya dan yang paling jelas untuk melihat sebuah "keluarga" yang misterius. Dan kalau sudah seperti ini, maka orang tua akan mengatakan bahwa 'mending tidak punya anak, dari pada punya anak yang brengsek'. Kalau kita mau jujur terhadap ajaran dan teori Tabularasa di atas, sebenarnya bukan anaklah yang brengsek, karena dia sesungguhnya makhluk yang dilahirkan dalam keadaan fitrah, suci bagaikan lembaran kertas yang putih bersih. Akan tetapi justru 'kebrengsekan' anak itu diperoleh dari orang tua-orang tua yang brengsek.


"KEMITRAAN" YANG MEMBINGUNGKAN.

Hampir semua ibu-ibu modern (ibu-ibu yang hidup di kota), akan mengatakan bahwa membantu suami untuk mencari nafkah itu adalah sangat penting dalam membantu ekonomi "keluarga", mengingat bahwa pendapatan suami di kota kebanyakan pas-pasan. Begitu pula dengan suami-suami di kota, merasa tertolong apabila istri mereka ikut membantu mencari nafkah. Pergeseran persepsi mengenai fungsi istri dan suami dalam "keluarga" ini sebenarnya terjadi setelah masyarakat memandang bahwa konsep "kemitraan" dalam "rumah tangga" yaitu istri dan suami memiliki tanggung-jawab yang sama dalam persoalan-persoalan rumah tangga dipandang oleh masyarakat modern sebagai alternatif untuk menjawab kesulitan ekonomi yang setiap saat melanda masyarakat modern itu sendiri. Akan tetapi pada dasarnya alternatif tersebut tidak otomatis juga sebagai solusi dalam menjawab persoalan "pembinaan" anak-anak setelah konsep "kemitraan" itu dapat diterapkan dengan baik.


Konsep "kemitraan" kebanyakan ditafsirkan tanpa batas dengan istri punya kewajiban untuk mencari nafkah, sedangkan suami punya kewajiban mengurus "rumah tangga" termasuk mendidik anak-anaknya. Sehingga kalau istri meninggalkan rumah, bahkan terpaksa bermalam sedangkan suami terpaksa memomong anak dan menggoreng ikan di rumah, maka hal ini adalah sesuai yang seharusnya terjadi pada "keluarga" modern.


Persoalannya sekarang pada "pembinaan" anak dalam "keluarga", bahwa setiap anak membutuhkan panutan dari orang tuanya. Untuk membentuk karakter mereka dibutuhkan profil orang tua yang jelas dengan peranannya masing-masing. Kepada anak-anak laki-laki dibutuhkan profil seorang ayah yang kuat dan tangguh, seorang pahlawan yang selalu membantu yang lemah, sebagai pencari nafkah bagi istri dan anak-anaknya, seperti layaknya seorang laki-laki yang ia pahami dalam legenda-legenda rakyat. Begitu pula bagi anak-anak perempuan, membutuhkan profil seorang ibu yang lemah lembut,,sabar, yang selalu mendongeng menjelang tidur, merawat anak-anaknya dan senantiasa menunggu mereka di rumah.


Kenyataannya menjadi terbalik, anak-anak tidak mampu menjadikan orang tuanya sebagai profil ideal. Sedangkan orang tua terus membingungkan mereka dengan peranan dan kesibukan orang tua masing-masing. Anak perempuan tidak mampu meniru ibunya yang 'super woman' dan anak laki-laki merasa enggap menirukan ayahnya yang feminim. Anak-anak menjadi kehilangan pegangan dan orang tua menjadi tidak berwibawa di hadapan anak-anaknya, karena tidak ada satu katapun yang keluar dari mulut orang tua yang sama dengan apa yang dilihat dari tingkah laku orang tuanya itu. Ayah berkali-kali melarang anaknya untuk tidak merokok, padahal anaknya melihat ayahnya menghabiskan rokok berbatang-batang dalam waktu sejam. Begitu pula ibu berkali-kali melarang anak perempuan ini sering menyaksikan ibunya sering bermalam di luar kota. Bagaimana orang tua melarang anaknya untuk tidak berantam dengan temannya, kalau ibu dan ayahnya setiap ketemu mesti berantam.


Kehilangan panutan di rumah memaksakan anak-anak mencari pengganti kehilangan itu di luar rumah. Muncullah tokoh Rambo, tokoh Super force, tokoh Nobita dsn Dorsemon dan tokoh-tokoh lainnya. Sayangnya Rambo berambut gondrong, senang berkelahi dan berpakaian compang-camping serta peminum, dan Super Force senang membunuh orang walau untuk membela kebenaran, sedangkan Nobita-Doraemon terlalu senang materi. Akhirnya tokoh-tokoh ini lebih berkesan di hati anak-anak, karena satu kalipun tak pernah mendustai mereka. Anak dan orang tua menjadi semakin jauh karena rumah tidak lagi menjadi tempat yang ideal untuk pertemuan keluarga dan akhirnya anak-anak menjadi terlantar dalam "pembinaan keluarga". Anak menjadi anak zaman, dunia mereka menjadi dunia zaman.


SEBUAH ALTERNATIF "PEMBINAAN".

Dalam masyarakat Timur, termasuk masyarakat Indonesia, masih memandang "keluarga" inti (nuclear family) adalah bagian yang utuh dari "keluarga" besar (extende-family) atau sebaliknya. Pada "keluarga" besar, disana terhadap ayah, ibu, anak, nenek dan saudara-saudara lainnya. Pada kebanyakan masyarakat, terutama di kota, merasa bahwa perkawinan seseorang telah memisahkan dia dengan "keluarga" besarnya. Karena itu semua persoalan "rumah tangga" termasuk anak-anak adalah tanggung-jawab dirinya yang justru sedang tidak berdaya menghadapi kesibukan "keluarga"nya itu. Alternatif yang praktis adalah mempekerjakan Pembantu "Rumah Tangga" (PRT). Pada persoalan-persoalan tertentu PRT mungkin adalah jawaban, akan tetapi bukan jawaban bagi rentang "pembinaan" anak yang sedang terbengkalai. Karena "pembinaan" membutuhkan profil orang mirip dengan orang tua anak. Karena itu nenek, sebut saja Mbah Eyang atau Mbah Kakung merupakan sumber dan alternatif "pembinaan" anak-anak terbaik manakala "keluarga" inti (istri dan suami) tidak mampu melaksanakan fungsi "pembinaan" secara utuh karena persoalan dengan berbagai latar belakang tertentu. Nenek adalah orang yang memiliki kemiripan secara emosional, sikap dan tingkah laku orang tua, lebih dari itu nenek memiliki cinta sejati yang sama dimiliki oleh orang tua.


Masalahnya sekarang, mungkinkah setiap nenek bersedia menjadi penyambung jerami "pembinaan" cucu-cucunya, dan bagaimana keikhlasan orang tua melepaskan anak-anaknya menjadi asuhan nenek mereka, mungkin ini lebih baik, lebih manusiawi dan mungkin akan serba lebih untuk "pembinaan" anak-anak dari pada mereka harus terlantar atau seperti yang terjadi pada film Home Alone.


MusicPlaylistView Profile