Sabtu, 09 November 2013

"ORANG TUA DURHAKA"

"Anak "durhaka" kepada "Orang tua" sudah sering kita dengar...dan bahkan seringkali asal saja disebutkan oleh "orang tua" pada anaknya bila tidak menurut perintahnya. Benarkah? 
 
Di sisi lain Allah ta’ala juga mewajibkan kedua "orang tua" untuk berlaku baik kepada anak atau keturunannya.
Diantara kewajiban "orang tua" kepada anaknya: Mendidiknya dengan pendidikan Islam, mengajarkan Al-Quran, memerintahkan shalat, memberikan nama yang baik, berlaku adil kepada anak-anaknya, memberi nafkah yang layak, mencarikan calon isteri yang shalihah atau calon suami yang shalih, mengajarkan prilaku yang baik dan lain sebagainya, memerintahkan putrinya menutup auratnya dan memelihara keluarganya dari segala yang menggiring mereka ke pintu neraka.

Allah ta’ala berfirman:

“يآأيها الذين ءامنوا قوآ أنفسكم وأهليكم نارا..”.

“Wahai orang-orang Mukmin, jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari azab api nereka…”.

Masih banyak lagi kewajiban "orang tua" kepada anaknya dan bila orang tua melalaikan dan kewajiban-kewajiban tersebut maka dia bisa termasuk orang tua yang durhaka kepada anaknya.

Bila seorang anak memiliki "orang tua" yang melalaikan kewajiban kepada anaknya, maka dia tetap wajib berbuat baik kepada "orang tua"nya, wajib menasihatinya dengan cara yang sopan, ramah dan santun, tidak menyakitinya dengan kata-kata maupun perbuatan, terus sabar dan berdoa kepada Allah agar dibukakan pintu hidayah untuknya.

Jadi, Allah SWT yang Maha Adil tidak saja memerintahkan seorang anak memenuhi kewajibannya untuk berbuat baik kepada kedua "orang tua"nya seperti berbuat baik kepadanya, mentaati perintahnya bila tidak menyalahi perintah Allah ta’ala, menafkahinya dan lain sebagainya, namun juga memerintahkan "orang tua"nya untuk memenuhi kewajibannya seperti kami sebutkan di atas.

Jadi Ingatlah bahwa "orang tua" pun bisa disebut "durhaka" kepada anaknya bila melakukan hal-hal berikut:
-"Orang tua" memberikan nama yang buruk bagi anaknya
-"Orant tua" tidak mengajarkan agama, AlQur'an dan Adab sopan santun pada anaknya
-"Orang tua" tidak bisa memberikan perhatian dan kasih sayang secara tulus, dan tidak bisa membedakan mana memanjakan mana menyayangi, mana tegas dan mana marah..
-"Orang tua" memberikan rejeki yang haram bahkan syubhat
-"Orang tua" tidak mempedulikan pendidikan agama dan moral pada anaknya bahkan terkadang menjauhkan anaknya dari memahami agama dengan disibukan pada urusan dunia. 
Tentu tidak ada "orang tua" yang berharap memiliki anak "durhaka". Setiap insan pasti menginginkan keturunannya menjadi anak salih dan salihah yang berbakti kepada "orang tua"nya. Namun amat disayangkan, banyak "orang tua" yang tidak menyadari bahwa cita-cita mulia tersebut mutlak membutuhkan pengorbanan besar dan perjuangan panjang. Bukan dengan ‘mantra sim salabim!

Yang perlu diperhatikan bukanlah sekedar kebutuhan duniawi anak. Seperti makanan, pakaian, uang saku, hp, kendaraan dan yang semisal. Namun yang jauh lebih urgen dari itu semua adalah pengajaran dan pendidikan mereka. Berkenaan dengan pendidikan, tugas "orang tua" tidaklah sekedar memasukkan anaknya ke sekolah. Tetapi ia juga berkewajiban untuk ikut mengarahkan dan memantau perkembangan mereka.

Jika ia enggan untuk menjalankan tanggung jawab tersebut, jangan kaget bila kelak putranya menjadi anak yang "durhaka". Sebab ia telah men"durhaka"i anaknya terlebih dahulu, sebelum mereka men"durhaka"inya!

Nasehat tentu bukan hanya tertuju kepada para "orang tua". Namun juga membidik para anak, yang harus mengimbangi usaha "orang tua"nya. Realita berbicara bahwa tidak sedikit anak yang tak tahu diri. "orang tua" telah bekerja keras membanting tulang demi membiayai anaknya. Nasehat juga tidak kurang-kurangnya disampaikan kepada sang anak. Namun ternyata air susu dibalas dengan air tuba.


Ingatlah bahwa barang siapa menanam pasti ia akan mengetam. Bila engkau men"durhaka"i "orang tua"mu saat ini, tunggulah saatnya kelak anakmu pun akan men"durhaka"imu. Na’udzubillah min dzalik.

Itu bila terjadi ketimpangan antara usaha "orang tua" dengan timbal balik dari anak. Namun bagaimana bila kejadiannya berbeda? Yakni anak tidak diperhatikan oleh "orang tua"nya, baik kebutuhan fisik maupun rohaninya. Dalam kasus seperti ini, anak tidak boleh berputus asa dan hanya menimpakan kesalahan kepada "orang tua"nya. Sebab Allah ta’ala telah mengaruniakan akal dan nurani kepadanya. Dengan keduanya ia bisa mencari hidayah dan menjemputnya. Tidak sedikit anak salih yang justru terlahir dari sebuah keluarga yang broken home. Sebaliknya ada pula anak "durhaka" yang ternyata malah muncul dari sebuah keluarga taat beragama.

Fenomena tersebut memberikan sebuah pelajaran berharga kepada kita bahwa segala sesuatunya tergantung kepada taufik dari Allah ta’ala. Maka janganlah sekedar mengandalkan usaha manusiawi belaka. Tetapi iringilah ikhtiar dengan lantunan doa yang tak putus-putus. Dengan harapan semoga Allah berbelas kasih kepada hamba-Nya…

“رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
  
“Wahai Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyejuk mata (kami) dan jadikanlah kami pemimpin bagi "orang"-"orang" yang bertakwa”. QS. Al-Furqan (25): 74.

Rasulullah SAW. sangat penyayang terhadap anak-anak, baik terhadap keturunan beliau sendiri ataupun anak "orang" lain. Abu Hurairah r.a. meriwayatkan bahwa suatu ketika Rasulullah SAW. mencium Hasan bin Ali dan didekatnya ada Al-Aqra’ bin Hayis At-Tamimi sedang duduk. Ia kemudian berkata, “Aku memiliki sepuluh "orang" anak dan tidak pernah aku mencium seorang pun dari mereka.” Rasulullah SAW. segera memandang kepadanya dan berkata, “Man laa yarham laa yurham, barangsiapa yang tidak mengasihi, maka ia tidak akan dikasihi.” (HR. Bukhari di Kitab Adab, hadits nomor 5538).

Bahkan dalam shalat pun Rasulullah SAW. tidak melarang anak-anak dekat dengan beliau. Hal ini kita dapat dari cerita Abi Qatadah, “Suatu ketika Rasulullah SAW. mendatangi kami bersama Umamah binti Abil Ash –anak Zainab, putri Rasulullah SAW.—Beliau meletakkannya di atas bahunya. Beliau kemudian shalat dan ketika rukuk, Beliau meletakkannya dan saat bangkit dari sujud, Beliau mengangkat kembali.” (HR. Muslim dalam Kitab Masajid wa Mawadhi’ush Shalah, hadits nomor 840).

Begitulah Rasulullah SAW. bersikap kepada anak-anak. Secara halus Beliau mengajarkan kepada kita untuk memperhatikan anak-anaknya. Beliau juga mencontohkan dalam praktik bagaimana bersikap kepada anak dengan penuh cinta, kasih, dan kelemahlembutan.

Karena itu, setiap sikap yang bertolak belakang dengan apa-apa yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW., adalah bentuk kejahatan kepada anak-anak. Setidaknya  ada ada empat jenis kejahatan yang kerap dilakukan "orang tua" terhadap anaknya.

Kejahatan pertama: memaki dan menghina anak

Bagaimana "orang tua" dikatakan menghina anak-anaknya? Yaitu ketika seorang ayah menilai kekurangan anaknya dan memaparkan setiap kebodohannya. Lebih jahat lagi jika itu dilakukan di hadapan teman-teman si anak. Termasuk dalam kategori ini adalah memberi nama kepada si anak dengan nama yang buruk.

Seorang lelaki penah mendatangi Umar bin Khattab seraya mengadukan ke"durhaka"an anaknya. Umar kemudian memanggil putra "orang tua" itu dan menghardiknya atas ke"durhaka"annya. Tidak lama kemudan anak itu berkata, “Wahai Amirul Mukminin, bukankah sang anak memiliki hak atas "orang tua"nya?”
“Betul,” jawab Umar.
“Apakah hak sang anak?”
“Memilih calon ibu yang baik untuknya, memberinya nama yang baik, dan mengajarkannya Al-Qur’an,” jawab Umar.
“Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya ayahku tidak melakukan satu pun dari apa yang engkau sebutkan. Adapun ibuku, ia adalah wanita berkulit hitam bekas hamba sahaya orang majusi; ia menamakanku Ju’lan (kumbang), dan tidak mengajariku satu huruf pun dari Al-Qur’an,” kata anak itu.
Umar segera memandang
"orang tua" itu dan berkata kepadanya, “Engkau datang untuk mengadukan ke"durhaka"an anakmu, padahal engkau telah "durhaka" kepadanya sebelum ia men"durhaka"imu. Engkau telah berbuat buruk kepadanya sebelum ia berbuat buruk kepadamu.”


Rasulullah SAW. sangat menekankan agar kita memberi nama yang baik kepada anak-anak kita. Abu Darda’ meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW. bersabda, “Sesungguhnya kalian akan dipanggil pada hari kiamat dengan nama-nama kalian dan nama ayah kalian, maka perbaikilah nama kalian.” (HR. Abu Dawud dalam Kitab Adab, hadits nomor 4297).

Karena itu Rasulullah SAW. kerap mengganti nama seseorang yang bermakna jelek dengan nama baru yang baik. Atau, mengganti julukan-julukan yang buruk kepada seseorang dengan julukan yang baik dan bermakna positif. Misalnya, Harb (perang) menjadi Husain, Huznan (yang sedih) menjadi Sahlun (mudah), Bani Maghwiyah (yang tergelincir) menjadi Bani Rusyd (yang diberi petunjuk). Rasulullah SAW. memanggil Aisyah dengan nama kecil Aisy untuk memberi kesan lembut dan sayang.

Jadi, adalah sebuah bentuk kejahatan bila kita memberi dan memanggil anak kita dengan sebutan yang buruk lagi dan bermakna menghinakan dirinya.

Kejahatan kedua: melebihkan seorang anak dari yang lain

Memberi lebih kepada anak kesayangan dan mengabaikan anak yang lain adalah bentuk kejahatan "orang tua" kepada anaknya. Sikap ini adalah salah satu faktor pemicu putusnya hubungan silaturrahmi anak kepada "orang tua"nya dan pangkal dari permusuhan antar saudara.

Nu’man bin Basyir bercerita, “Ayahku menginfakkan sebagian hartanya untukku. Ibuku –’Amrah binti Rawahah—kemudian berkata, ‘Saya tidak suka engkau melakukan hal itu sehingga menemui Rasulullah.’ Ayahku kemudian berangkat menemui Rasulullah SAW. sebagai saksi atas sedekah yang diberikan kepadaku. Rasulullah SAW. berkata kepadanya, ‘Apakah engkau melakukan hal ini kepada seluruh anak-anakmu?’ Ia berkata, ‘Tidak.’ Rasulullah SAW. berkata, ‘Bertakwalah kepada Allah dan berlaku adillah kepada anak-anakmu.’ Ayahku kemudian kembali dan menarik lagi sedekah itu.” (HR. Muslim dalam Kitab Al-Hibaat, hadits nomor 3055).

Dan puncak kezaliman kepada anak adalah ketika "orang tua" tidak bisa memunculkan rasa cinta dan sayangnya kepada anak perempuan yang kurang cantik, kurang pandai, atau cacat salah satu anggota tubuhnya. Padahal, tidak cantik dan cacat bukanlah kemauan si anak. Apalagi tidak pintar pun itu bukanlah dosa dan kejahatan. Justru setiap keterbatasan anak adalah pemacu bagi "orang tua" untuk lebih mencintainya dan membantunya. Rasulullah SAW. bersabda, “Rahimallahu waalidan a’aana waladahu ‘ala birrihi, semoga Allah mengasihi "orang tua" yang membantu anaknya di atas kebaikan.” (HR. Ibnu Hibban)

Kejahatan ketiga: mendoakan keburukan bagi si anak

Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW. bersabda, “Tsalatsatu da’awaatin mustajaabaatun: da’watu al-muzhluumi, da’watu al-musaafiri, da’watu waalidin ‘ala walidihi; Ada tiga doa yang dikabulkan: doa "orang" yang teraniaya, doa musafir, dan doa (keburukan) "orang tua" atas anaknya.” (HR. Tirmidzi dalam Kitab Birr wash Shilah, hadits nomor 1828)

Entah apa alasan yang membuat sese"orang" begitu membenci anaknya. Saking bencinya, se"orang" ibu bisa sepanjang hari lidahnya tidak kering mendoakan agar anaknya celaka, melaknat dan memaki anaknya. Sungguh, ibu itu adalah wanita yang paling bodoh. Setiap doanya yang buruk, setiap ucapan laknat yang meluncur dari lidahnya, dan setiap makian yang diucapkannya bisa terkabul lalu menjadi bentuk hukuman bagi dirinya atas semua amal lisannya yang tak terkendali.

Coba simak kisah ini. Sese"orang" pernah mengadukan putranya kepada Abdullah bin Mubarak. Abdullah bertanya kepada "orang" itu, “Apakah engkau pernah berdoa (yang buruk) atasnya.” "Orang" itu menjawab, “Ya.” Abdullah bin Mubarak berkata, “Engkau telah merusaknya.”

Na’udzubillah! Semoga kita tidak melakukan kesalahan seperti yang dilakukan "orang" itu. Bayangkan, doa buruk bagi anak adalah bentuk kejahatan yang akan menambah rusak si anak yang sebelumnya sudah "durhaka" kepada "orang tua"nya.

Kejahatan keempat: tidak memberi pendidikan kepada anak

Ada syair Arab yang berbunyi, “Anak yatim itu bukanlah anak yang telah ditinggal "orang tua"nya dan meninggalkan anak-anaknya dalam keadaan hina. Sesungguhnya anak yatim itu adalah yang tidak dapat dekat dengan ibunya yang selalu menghindar darinya, atau ayah yang selalu sibuk dan tidak ada waktu bagi anaknya.”

Perhatian. Itulah kata kuncinya. Dan bentuk perhatian yang tertinggi "orang tua" kepada anaknya adalah memberikan pendidikan yang baik. Tidak memberikan pendidikan yang baik dan maksimal adalah bentuk kejahatan "orang tua" terhadap anak. Dan segala kejahatan pasti berbuah ancaman yang buruk bagi pelakunya.

Perintah untuk mendidik anak adalah bentuk realisasi iman. Perintah ini diberikan secara umum kepada kepala rumah tangga tanpa memperhatikan latar belakang pendidikan dan kelas sosial. Setiap ayah wajib memberikan pendidikan kepada anaknya tentang agamanya dan memberi keterampilan untuk bisa mandiri dalam menjalani hidupnya kelak. Jadi, berilah pendidikan yang bisa mengantarkan si anak hidup bahagia di dunia dan bahagia di akhirat.


Perintah ini diberikan Allah SWT. dalam bentuk umum. “Hai orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya dari manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak men"durhaka"i Allah terhadap apa yang diperintahkanNya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6)

Adalah sebuah bentuk kejahatan terhadap anak jika ayah-ibu tenggelam dalam kesibukan, sehingga lupa mengajarkan anaknya cara shalat. Meskipun kesibukan itu adalah mencari rezeki yang digunakan untuk menafkahi anak-anaknya. Jika ayah-ibu berlaku seperti ini, keduanya telah melanggar perintah Allah di surat Thaha ayat 132. “Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi "orang" yang bertakwa.”

Rasulullah SAW. bersabda, “Ajarilah anak-anakmu shalat saat mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka (bila tidak melaksanakan shalat) pada usaia sepuluh tahun.” (HR. Tirmidzi dalam Kitab Shalah, hadits nomor 372).

Ketahuilah, tidak ada pemberian yang baik dari "orang tua" kepada anaknya, selain memberi pendidikan yang baik. Begitu hadits dari Ayyub bin Musa yang berasal dari ayahnya dan ayahnya mendapat dari kakeknya bahwa Rasulullah SAW. bersabda, “Maa nahala waalidun waladan min nahlin afdhala min adabin hasanin, tak ada yang lebih utama yang diberikan "orang tua" kepada anaknya melebihi adab yang baik.” (HR. Tirmidzi dalam Kitab Birr wash Shilah, hadits nomor 1875. Tirmidzi berkata, “Ini hadits mursal.”)

Semoga kita tidak termasuk "orang tua" yang melakukan empat kejahatan itu kepada anak-anak kita. Amin.


Allahu a’lam bishshawab.

Sumber:
1. www.eramuslim.com › Ustadz Menjawab
2. tunasilmu.com/anak-durhaka-pada-orang-tua-atau-ora...
4. www.dakwatuna.com › KeluargaPendidikan Anak
5. laely.widjajati.photos.facebook/Anak2-(10-Th-Yg-Lalu).....
6. laely.widjajati.photos.facebook/Mbah-Buyut-&-Banda....
7. laely.widjajati.photos.facebook/Ada-Anak-Batuk-Makan-Es....
8. laely.widjajati.photos.facebook/Foto-Kenangan....

"MEMELIHARA LIDAH"

"Sesuatu Yang lebih tajam dari pada pedang adalah "lidah"

"Lidah" adalah antara nikmat besar yang dikurniakan oleh Allah tanpa batas. Hanya dengan "Lidah" kita mampu berbicara, mengucapkan janji, membaca Al-quran, merasai nikmat makan dan sebagainya. Oleh karena itu, "lidah" yang di"pelihara" dengan baik boleh menjadi sebab mendapat ridha Allah dan dengan "lidah" juga kita mungkin mendapat murka dari Allah S.W.T karena setiap ucapan yang keluar darinya akan dicatat dan mendapat pahala atau dosa.
Pedang mungkin harus menusuk jantung dulu baru terasa menyakitkan, namun "lidah", jika sudah bersuara dengan getaran yang penuh emosi tinggi, belum menyentuh saja akan terasa didalam Jiwa.entah itu baik atau buruk

"Lidah" memiliki dua sisi yang berbeda, dan
"lidah" adalah salah satu bagian tubuh yang sering sekali tidak sejajar dengan hati.

Apabila
"lidah" tak sebanding dengan hati, maka timbul sifat dusta, bohong dan lainnya . Sebaliknya bila "lidah" berucap kebenaran maka ungkapannya jujur..

Bersyukur bagi seseorang yang memiliki
"lidah" sehat, karena ucapan yang ada Sebagai bentuk rasa syukur, karena digunakan untuk mengucap hal baik dan membuat nyaman orang lain untuk didengar dan tidak menyakitkan.

Lebih elok lagi bila
"lidah" dipergunakan untuk selalu menyebutkan Asma-Nya..
"Lidah" adalah anggota badan yang benar-benar perlu dijaga dan dikendalikan. Sesungguhnya "lidah" adalah penerjemah hati dan pengungkap isi hati. Oleh karena itulah, setelah Nabi SAW. memerintahkan istiqamah, beliau mewasiatkan untuk menjaga lisan. Dan lurusnya "lidah" itu berkaitan dengan kelurusan hati dan keimanan seseorang. Di dalam Musnad Imam Ahmad dari Anas bin Malik , dari Nabi SAW., beliau bersabda,


لَا يَسْتَقِيمُ إِيمَانُ عَبْدٍ حَتَّى يَسْتَقِيمَ قَلْبُهُ وَلَا يَسْتَقِيمُ قَلْبُهُ حَتَّى يَسْتَقِيمَ لِسَانُهُ وَلَا يَدْخُلُ رَجُلٌ الْجَنَّةَ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ


Iman seorang hamba tidak akan istiqamah, sehingga hatinya istiqamah. Dan hati seorang hamba tidak akan istiqamah, sehingga lisannya istiqamah. Dan orang yang tetangganya tidak aman dari kejahatan-kejahatannya, tidak akan masuk surga. (H.R. Ahmad, no. 12636, dihasankan oleh Syaikh Salim Al-Hilali di dalam Bahjatun Nazhirin, 3/13).


Dan di dalam Tirmidzi (no. 2407) dari Abu Sa’id Al-Khudri, Nabi SAW. bersabda,


إِذَا أَصْبَحَ ابْنُ آدَمَ فَإِنَّ الْأَعْضَاءَ كُلَّهَا تُكَفِّرُ اللِّسَانَ فَتَقُولُ اتَّقِ اللَّهَ فِينَا فَإِنَّمَا نَحْنُ بِكَ فَإِنْ اسْتَقَمْتَ اسْتَقَمْنَا وَإِنْ اعْوَجَجْتَ اعْوَجَجْنَا


Jika anak Adam memasuki pagi hari sesungguhnya semua anggota badannya berkata merendah kepada lesan, “Takwalah kepada Allah di dalam menjaga hak-hak kami, sesungguhnya kami ini tergantung kepadamu. Jika engkau istiqaomah, maka kami juga istiqamah, jika engkau menyimpang (dari jalan petunjuk), kami juga menyimpang. (H.R. Tirmidzi, no. 2407; dihasankan oleh Syaikh Salim Al-Hilali di dalam Bahjatun Nazhirin, 3/17, no. 1521) (Jami’ul ‘Uluum wal Hikam, 1/511-512)


Oleh karena itulah, sepantasnya seorang mukmin "memelihara lidah"nya. Tahukah Anda jaminan bagi orang yang "memelihara lidah"nya dengan baik? Nabi Muhammad SAW. bersabda,


مَنْ يَضْمَنْ لِي مَا بَيْنَ لَحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ


Siapa yang menjamin untukku apa yang ada di antara dua rahangnya dan apa yang ada di antara dua kakinya, niscaya aku menjamin surga baginya. (H.R. Bukhari, no. 6474; Tirmidzi, no. 2408; lafazh bagi Bukhari).


Beliau juga menjelaskan, bahwa "memelihara lidah" merupakan keselamatan.


عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا النَّجَاةُ قَالَ أَمْلِكْ عَلَيْكَ لِسَانَكَ وَلْيَسَعْكَ بَيْتُكَ وَابْكِ عَلَى خَطِيئَتِكَ


Dari ‘Uqbah bin ‘Aamir, dia berkata, “Aku bertanya, wahai Rasulallah, apakah sebab keselamatan?” Beliau menjawab, “Kuasailah "lidah"mu, hendaklah rumahmu luas bagimu, dan tangisilah kesalahanmu”. (H.R. Tirmidzi, no.2406)

Yaitu janganlah engkau berbicara kecuali dengan perkara yang membawa kebaikanmu, betahlah tinggal di dalam rumah dengan melakukan ketaatan-ketaatan, dan hendaklah engkau menyesali kesalahanmu dengan cara menangis. (Lihat Tuhfatul Ahwadzi Syarh Sunan Tirmidzi).



Imam An-Nawawi rahimahullah (wafat 676 H) berkata, “Ketahuilah, sepantasnya bagi setiap mukallaf (orang yang berakal dan baligh) menjaga "lidah"nya dari seluruh perkataan, kecuali perkataan yang jelas mashlahat padanya. Ketika berbicara atau meninggalkannya itu sama mashlahat-nya, maka menurut Sunnah adalah menahan diri darinya. Karena perkataan mubah bisa menyeret kepada perkataan yang haram atau makruh. Bahkan, ini banyak atau dominan pada kebiasaan. Sedangkan keselamatan itu tiada bandingannya. Telah diriwayatkan kepada kami di dalam dua Shahih, Al-Bukhari (no. 6475) dan Muslim (no. 47), dari Abu Hurairah ra., dari Nabi SAW., beliau bersabda,


مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ


“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berkata yang baik atau diam.”


Aku katakan: hadits yang disepakati shahihnya ini merupakan nash yang jelas bahwa sepantasnya seseorang tidak berbicara, kecuali jika perkataan itu merupakan kebaikan, yaitu yang nampak mashlahat-nya. Jika dia ragu-ragu tentang timbulnya mashlahat, maka dia tidak berbicara.


Dan Imam Asy-Syafi’i telah berkata, ‘Jika seseorang menghendaki berbicara, maka sebelum dia berbicara hendaklah berpikir, jika nampak jelas mashlahat-nya dia berbicara, dan jika dia ragu-ragu, maka dia tidak berbicara sampai jelas mashlahat-nya.’” [Al-Adzkaar, 2/713-714, karya Imam An-Nawawi, tahqiiq dan takhriij Syaikh Salim Al-Hilaali, penerbit Dar Ibni Hazm, cet. 2, th. 1425 H / 2004 M].


Selain itu, bahwa "lidah" merupakan alat yang mengungkapkan isi hati. Jika Anda ingin mengetahui isi hati seseorang, maka perhatikanlah gerakan "lidah"nya, isi pembicaraannya, hal itu akan memberitahukan isi hatinya, baik orang tersebut mau atau enggan.


Diriwayatkan bahwa Yahya bin Mu’adz berkata, “Hati itu seperti periuk yang mendidih dengan isinya, sedangkan "lidah" itu adalah gayungnya. Maka, perhatikanlah seseorang ketika berbicara, karena sesungguhnya"lidah" nya itu akan mengambilkan untukmu apa yang ada di dalam hatinya, manis, pahit, tawar, asin, dan lainnya. Pengambilan "lidah"nya akan menjelaskan kepadamu rasa hatinya.” [Hilyatul Au'iyaa', 10/63, dinukil dari Aafaatul Lisaan fii Dhauil Kitab was Sunnah, hlm, 159, karya Dr. Sa'id bin 'Ali bin Wahf Al-Qahthani]
  

PERKATAAN PARA SALAF TENTANG HIFZHUL LISAN.



Sesungguhnya, para Salaf dahulu biasa menjaga dan menghisab "lidah"nya dengan baik. Dan diriwayatkan dari mereka perkataan-perkataan yang bagus berkaitan dengan "lidah" dan pembicaraan. Kami sampaikan disini sebagiannya agar kita dapat memetik manfaat darinya.


Diriwayatkan, bahwa ‘Umar bin Al-Khaththab berkata, “Barangsiapa banyak pembicaraannya, banyak pula tergelincirnya. Dan barangsiapa banyak tergelincirnya, banyak pula dosanya. Dan barangsiapa banyak dosa-dosanya, neraka lebih pantas baginya.” [Riwayat Al-Qudhai di dalam Musnad Asy-Syihab, no. 374; Ibnu Hibban di dalam Raudhatul 'Uqala', hlm. 44. Dinukil dari Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, juz 1, hlm. 339, karya Imam Ibnu Rajab, dengan penelitian Syu’aib Al-Arnauth dan Ibrahim Bajis; penerbit Ar-Risalah; cet: 5; th: 1414 H/ 1994 M]


Diriwayatkan, bahwa Ibnu Mas’ud pernah bersumpah dengan nama Allah, lalu mengatakan, “Di muka bumi ini, tidak ada sesuatu yang lebih pantas menerima lamanya penjara daripada "lidah"!” [Riwayat Ibnu Hibban di dalam Raudhatul 'Uqala', hlm. 48. Dinukil dari Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, juz 1, hlm. 340]


Diriwayatkan, bahwa Ibnu Mas’ud berkata, “Jauhilah fudhuulul kalam (pembicaraan yang melebihi keperluan). Cukup bagi seseorang berbicara, menyampaikan sesuai kebutuhannya.” [Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, juz. 1, hlm. 339]


Syaqiq mengatakan, “‘Abdullah bin Mas’ud ber-talbiyah di atas bukit Shofa, kemudian mengatakan, ‘Wahai "lidah", katakanlah kebaikan niscaya engkau mendapatkan keberuntungan, diamlah niscaya engkau selamat, sebelum engkau menyesal.’ Orang-orang bertanya, ‘Wahai Abu ‘Abdurrahman, ini adalah suatu perkataan yang engkau ucapkan sendiri, atau engkau dengar?’ Dia menjawab, ‘Tidak, bahkan aku telah mendengar Rasulullah SAW. bersabda,


أَكْثَرُ خَطَايَا إِبْنِ آدَمَ فِي لِسَانِهِ


Mayoritas kesalahan anak Adam adalah pada "lidah"nya.‘” (HR. Thabarani, Ibnu ‘Asakir, dan lainnya. Lihat Silsilah Ash-Shahihah, no. 534).


Diriwayatkan, bahwa Ibnu Buraidah mengatakan, “Aku melihat Ibnu ‘Abbas memegangi "lidah"nya sambil berkata ‘Celaka engkau, katakanlah kebaikan, engkau mendapatkan keberuntungan. Diamlah dari keburukan, niscaya engkau selamat. Jika tidak, ketahuilah bahwa engaku akan menyesal.’” [Aafatul Lisaan, hlm. 161]



Diriwayatkan, bahwa An-Nakhai berkata, “Manusia binasa pada fudhuulul maal (harta yang melebihi kebutuhan) dan fudhuulul kalam.” [Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, juz 1, hlm. 339]


Diriwayatkan, bahwa ada seseorang yang bermimpi bertemu dengan seorang alim besar. Kemudian orang alim itu ditanya tentang keadaannya, dia menjawab, “Aku diperiksa tentang satu kalimat yang dahulu aku ucapkan. Yaitu aku dahulu pernah mengatakan, ‘Manusia sangat membutuhkan hujan!’ Aku ditanya, ‘Tahukah engkau, bahwa Aku (Allah) lebih mengetahui terhadap mashlahat hamba-hamba-Ku?” [Aafatul Lisaan, hlm. 160-161]


Diriwayatkan, bahwa seorang Salaf mengatakan, “Seorang mukmin itu menyedikitkan omongan dan memperbanyak amalan. Adapun orang munafik, dia memperbanyak omongan dan menyedikitkan amalan.”


Diriwayatkan, bahwa seorang Salaf mengatakan, “Selama aku belum berbicara dengan satu kalimat, maka aku menguasainya. Namun jika aku telah mengucapkannya, maka kalimat itu menguasaiku.”


Diriwayatkan, bahwa seorang Salaf mengatakan, “Diam adalah ibadah tanpa kelelahan, keindahan tanpa perhiasan, kewibawaan tanpa kekuasaan, Anda tidak perlu beralasan karenanya, dan dengannya aibmu tertutupi.” [Lihat Hashaaidul Alsun, hlm. 175-176]


Kesimpulannya adalah bahwa kita diperintahkan berbicara yang baik, dan diam dari keburukan. Jika berbicara hendaklah sesuai dengan keperluannya. Wallahul Musta’an.

BAHAYA LIDAH


Diantara bahaya "lidah" yang sukar dikawal manusia ialah : 
1.       Al-Ghibah (الغيبة) : Mengumpat iaitu menyebut tentang seseorang apa yang tidak disukainya tanpa diketahui.
2.       Al-Naminah (النميمة) : Mengadu domba iaitu memburukkan sebelah pihak di hadapan sebelah pihak lain bertujuan membangkitkan perasaan benci satu sama lain.
3.       Memfitnah iaitu mereka cerita yang tidak benar tentang seseorang bertujuan memburukkannya
4.       Memuji diri
5.       Berdebat hal yang tidak menguntungkan islam seperti memperdebatkan perkara-perkara sunat atau harus.
6.       Mengutuk/mempersenda/ menggelar dengan tujuan bergurau atau menyakitkan hati seseorang.

Hukum jenayah-jenayah "lidah" ini adalah haram dengan kesepakatan semua para ulama disebabkan banyak dan jelasnya dalil-dalil dari Al-Qur'an dan Al-Hadits yang mengharamkannya antaranya :
×@÷ƒur Èe@à6Ïj9 ;ot“yJèd >ot“yJ—9 ÇÊÈ [الهمزة:1]
Celakalah (pergi mati) bagi tiap-tiap pencaci, pengeji.

Telah diceritakan bahwa suatu hari seorang lelaki datang kepada Rasulullah SAW. seraya berkata, "Ya Rasulullah! Sungguh si fulanah itu terkenal banyak sembahyang, puasa, dan sedekahnya. Akan tetapi juga terkenal jahat "lidah"nya terhadap tetangga-tetangganya. ". Maka berkatalah Rasulullah SAW kepadanya, "Sungguh ia termasuk ahli neraka".
Kemudian lelaki itu berkata lagi, "Kalau si fulanah yang satu lagi terkenal sedikit sembahyang, puasa dan sedekahnya, akan tetapi ia tidak pernah menyakiti tetangganya." Maka Rasulullah SAW. berkata, " Sungguh ia termasuk ahli surga . " [HR. Muslim]

Walaupun seseorang itu ahli ibadah, banyak solat, puasa, tetapi apabila tidak mampu menjaga "lidah"nya dari memfitnah, berbohong dan hasad, amalannya tersebut hanya sia-sia.

KEUTAMAAN DIAM


Tidak ada cara yang lebih baik untuk "memelihara lidah" melainkan dengan diam. Nabi S.A.W bersabda :
من صمت نجا [رواه الترمذي]

"Barangsiapa yang diam, niscaya ia terlepas (dari bahaya)". [HR. At-Tirmizi]

من كان يؤمن بالله واليوم الأخر فليقل خيرا أو ليسكت [رواه البخاري ومسلم]
"Barangsiapa beriman dengan Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia berkata yang baik atau ia diam".

Imam Syafie menjelaskan bahawa maksud hadis diatas adalah apabila seseorang ingin berkata sesuatu hendaklah dia berfikir terlebih dahulu. Jika dirasakan ucapannya tidak akan membawa mudharat, maka berbicaralah. Tetapi, jika dia merasa ucapannya akan membawa mudharat atau ragu-ragu apakah ia akan membawa mudharat atau tidak, maka hendaklah dia tidak berbicara”.


Mungkin ada orang yang mampu "memelihara" diri dari minum arak, tapi bagaimana dengan "memelihara lidah"? Ucapan yang kita keluarkan tanpa peduli bakal menyakiti hati insan lain, berjanji tanpa tunai, mengkeji dalam marah tanpa sadar, menghukum tanpa nilai adalah antara perkara dosa yang akan dilakukan oleh "lidah" setiap waktu jika tidak dikawal dengan Iman. Oleh itu, bersama kita lafazkan Astaghfirullah al-‘aziim dan sentiasa bertaubat dan berdoa agar kita tidak tergolong dalam kalangan hamba yang dimurkai Allah hanya karena "lidah".

Ingatlah pada Hadis Rasulullah S.A.W yang memberi peringatan kepada kita :
إن العبد ليتكلم بالكلمة، ينزل بها في النار، أبعد ما بين المشرق والمغرب [رواه البخاري]
 
Sesungguhnya seorang hamba yang mengucapkan suatu perkataan yang tidak difikirkan apa kesannya akan membuatnya terjerumus ke dalam neraka yang dalamnya lebih jauh dari jarak timur dengan barat”.
Wallahua’lam Bishshowab… 
Sumber:
1. www.radioassunnah.com/menjaga-lidah-merupakan-k...
2. ilhamdarweesh.blogspot.com/.../memelihara-lidah.htm...
3. laely.widjajati.photos.facebook/Add-a-description.....
4. sugengfitriyono.blogspot.com/Sugeng-Fitriyono's-Site....
5. nizaringinbelajar.blogspot.com/Menjaga-Lisan-Ag....
6. intihidupwoedpress.com/Keselamatan-Manusia-Itu-Ada-Dalam....