Senin, 04 November 2013

"HUKUM KARMA MENURUT ISLAM"

 "Adakah "Hukum Karma" dalam agama "Islam"?

Sepengetahuan kami hukum karma itu intinya adalah barangsiapa yang melakukan suatu perbuatan baik atau jelek di masa hidupnya maka dia pasti akan mendapatkan balasan dari perbuatannya tersebut pada masa hidupnya pula.

Menurut keyakinan ini, bila sampai dia mati dia tidak mendapatkan balasan dari perbuatannya tersebut maka balasannya (baik balasan amal baik maupun balasan dari amal jelek) akan dialihkan kepada keturunannya. Ini adalah akidahnya umat Hindu, bukan akidahnya umat Islam.

Di dalam ajaran Islam, semua orang menanggung sendiri akibat baik dan jelek dari perbuatannya. Di dalam Al Qur`an Allah ta'ala berfirman:

وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى (39) وَأَنَّ سَعْيَهُ سَوْفَ يُرَى (40) ثُمَّ يُجْزَاهُ الْجَزَاءَ الْأَوْفَى

"Bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. Bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihat (kepadanya), kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna." [QS An Najm: 39-41]

Balasan tersebut bisa dia terima di dunia dan bisa pula di akhirat, dan jenis balasannya tergantung dari jenis perbuatannya. Perbuatan baik dibalas dengan kebaikan, perbuatan jelek dibalas dengan kejelekan pula (الجزاء من جنس العمل) .

Keshalihan orang tua terkadang bisa membawa pertolongan dari Allah kepada anak-anaknya setelah matinya dia sebagaimana di dalam kisah dua orang anak yatim pada masa Nabi Musa dan Khadhir 'alaihimas salam. - See more at: http://dakwahquransunnah.blogspot.com/2012/02/hukum-karma-menurut-islam.html#sthash.DKj56d6X.dpuf
Sepengetahuan kami hukum karma itu intinya adalah barangsiapa yang melakukan suatu perbuatan baik atau jelek di masa hidupnya maka dia pasti akan mendapatkan balasan dari perbuatannya tersebut pada masa hidupnya pula.

Menurut keyakinan ini, bila sampai dia mati dia tidak mendapatkan balasan dari perbuatannya tersebut maka balasannya (baik balasan amal baik maupun balasan dari amal jelek) akan dialihkan kepada keturunannya. Ini adalah akidahnya umat Hindu, bukan akidahnya umat Islam.

Di dalam ajaran Islam, semua orang menanggung sendiri akibat baik dan jelek dari perbuatannya. Di dalam Al Qur`an Allah ta'ala berfirman:

وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى (39) وَأَنَّ سَعْيَهُ سَوْفَ يُرَى (40) ثُمَّ يُجْزَاهُ الْجَزَاءَ الْأَوْفَى

"Bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. Bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihat (kepadanya), kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna." [QS An Najm: 39-41]

Balasan tersebut bisa dia terima di dunia dan bisa pula di akhirat, dan jenis balasannya tergantung dari jenis perbuatannya. Perbuatan baik dibalas dengan kebaikan, perbuatan jelek dibalas dengan kejelekan pula (الجزاء من جنس العمل) .

Keshalihan orang tua terkadang bisa membawa pertolongan dari Allah kepada anak-anaknya setelah matinya dia sebagaimana di dalam kisah dua orang anak yatim pada masa Nabi Musa dan Khadhir 'alaihimas salam. - See more at: http://dakwahquransunnah.blogspot.com/2012/02/hukum-karma-menurut-islam.html#sthash.DKj56d6X.dpuf
Sepengetahuan kami hukum karma itu intinya adalah barangsiapa yang melakukan suatu perbuatan baik atau jelek di masa hidupnya maka dia pasti akan mendapatkan balasan dari perbuatannya tersebut pada masa hidupnya pula.

Menurut keyakinan ini, bila sampai dia mati dia tidak mendapatkan balasan dari perbuatannya tersebut maka balasannya (baik balasan amal baik maupun balasan dari amal jelek) akan dialihkan kepada keturunannya. Ini adalah akidahnya umat Hindu, bukan akidahnya umat Islam.

Di dalam ajaran Islam, semua orang menanggung sendiri akibat baik dan jelek dari perbuatannya. Di dalam Al Qur`an Allah ta'ala berfirman:

وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى (39) وَأَنَّ سَعْيَهُ سَوْفَ يُرَى (40) ثُمَّ يُجْزَاهُ الْجَزَاءَ الْأَوْفَى

"Bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. Bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihat (kepadanya), kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna." [QS An Najm: 39-41]

Balasan tersebut bisa dia terima di dunia dan bisa pula di akhirat, dan jenis balasannya tergantung dari jenis perbuatannya. Perbuatan baik dibalas dengan kebaikan, perbuatan jelek dibalas dengan kejelekan pula (الجزاء من جنس العمل) .

Keshalihan orang tua terkadang bisa membawa pertolongan dari Allah kepada anak-anaknya setelah matinya dia sebagaimana di dalam kisah dua orang anak yatim pada masa Nabi Musa dan Khadhir 'alaihimas salam. - See more at: http://dakwahquransunnah.blogspot.com/2012/02/hukum-karma-menurut-islam.html#sthash.DKj56d6X.dpu


Dalam tulisan ini tidak ada niat untuk menghakimi TAPI penulis ingin mengulas dan meluruskan apa itu "Karma" menurut "Islam" karena banyak saudara-saudara kita yang terpengaruh oleh Doktrin Doktrin yang di luar "Islam" Sana Sehingga mencampur ajaran Haq dengan Ajaran Batil. Dan Sepertinya Sudah mendarah Daging di Masyarakat Awam Sekarang
Allah telah Berfirman:

QS Al Baqarah (2) : 42 Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui.

Sebenarnya didalam "Hukum Islam" tidak ada nama Istilah "KARMA" karena Allah sendiri Berfirman Dalam Al Quran

Q.s 35:18. Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain[1252].

Q.s 6:164 dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain

Q.s 53: 38. (yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain,

Sesungguhnya istilah hukum karma/karmaphala tidaklah dikenal dalam syari’at
"Islam" karena istilah yang demikian ini adalah istilah di dalam ideologi pokok/keyakinan/aqidah agama dharma. Oleh karena itu tidak selayaknya kita bertaqlid mengaminkan kesimpulan beliau bahwa "Hukum Karma" diakui keabsahannya oleh "Islam" kecuali setelah kita mengetahui secara ilmiyah hakekat "Hukum Karma" itu sendiri.
Allah Ta’ala berfirman:

وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولا

“Dan janganlah engkau mengikuti apa yang engkau tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggung jawaban.” (QS. Al-Isra’: 36)

Maka kami akan membawakan definisi dan kedudukan penting aqidah
"Hukum Karma" dalam pandangan pemiliknya (Hindu dan Budha) agar seorang muslim yang mencintai Allah Ta’ala dan RasulNya SAW. dan memiliki kecemburuan terhadap Dienul "Islam" bisa membandingkannya dengan tindakan gegabah dan (maaf) ngawur serta sembrono yang mengaitkan keyakinan batil dan sesat tersebut dengan dienul "Islam" yang sempurna. Maha Suci Allah dari apa yang dikatakannya.
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai
"Islam" itu jadi agama bagimu.” (Al Maidah: 3)
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الإسْلامُ

“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah
"Islam". (Ali Imran:19) 

PENJELASAN TENTANG KARMA

Berbeda dengan sebagian agama yang mengajarkan tentang “Takdir Tuhan” – dimana kehidupan kita di masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang ditentukan oleh takdir Tuhan -, agama-agama dharma [Hindu, Buddha dan Jain] mengajarkan yang berbeda, yaitu "Hukum Karma".

Kadang ada kesalah-pahaman bahwa "Hukum Karma" sama dengan “nasib”, bahkan “suratan takdir Tuhan” [berarti semuanya ditentukan Tuhan]. Perlu diketahui bahwa dalam "Hukum Karma" tidaklah demikian, “suratan takdir” ini ditulis sendiri oleh diri kita sendiri. Kitalah yang mendesain nasib kita, bukan oleh Brahman, Dewa-Dewi ataupun pihak lain. Dalam ajaran Hindu, Brahman atau Purusha memang diyakini sebagai penyebab utama, tetapi dalam hal ini Brahman sebenarnya hanya “pengamat / saksi abadi“.

"Karma" berarti “perbuatan / tindakan”.
"Hukum Karma" adalah "Hukum" semesta sebab-akibat, dimana setiap tindakan kita akan membuahkan hasil tindakan atau buah "Karma" ["Karma"-phala]. Yang berarti apapun yang terjadi pada diri kita di masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang, ditentukan sepenuhnya oleh tindakan diri kita sendiri. Tanpa ada intervensi dari Brahman, Dewa-Dewi ataupun pihak lain. Dan yang dimaksud dengan “tindakan” itu adalah pikiran, perkataan, dan perbuatan kita sendiri….”

Dan berikut penjelasan dari pihak agama Buddha:

“Secara singkat,
"Karma" (Pali: Kamma) berarti “perbuatan”,yang dalam arti umum meliputi semua jenis kehendak dan maksud perbuatan, yang baik maupun yang buruk, lahir atau bathin dengan pikiran kata-kata atau tindakan.

Makna yang luas dan sebenarnya dari Kamma, ialah semua kehendak atau keinginan dengan tidak membeda-bedakan apakah kehendak atau keinginan itu baik (bermoral) atau buruk (tidak bermoral)

Sebagian masyarakat akan menyandarkan jawaban atas segala keadaan yang terjadi, baik atau buruk, kepada Tuhan.

Namun agama Buddha menyangkal ciri ketuhanan seperti itu;… Selama berabad-abad, doktrin agama Buddha tentang
"Karma", telah sering disalah-artikan sebagai paham deterministik/takdir.”

Lebih tegas lagi:

“Ajaran Buddha tidak mengajarkan paham “takdir”, juga tidak mengajarkan paham “bebas kehendak”, tapi suatu ‘kehendak-berprasyarat’”

Dari sejak awal menjelaskan, Hindu,Buddha dan Jain sudah menyatakan dengan tegas perbedaannya dengan dienul "Islam" Nampak jelas bahwa
"Hukum Karma" sama sekali tidak terkait dengan taqdir Allah Ta’ala. D

Aqidah batil
"Hukum Karma" semacam di atas tidaklah ada kaitannya sedikitpun, laa min qarib wa laa min ba’id (tidak dari dekat, tidak pula dari jauh) dengan ayat dan hadits yang diklaim (secara dusta!) o

Allah Ta’ala berfirman:


إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ.

“Sesungguhnya segala sesuatu Kami ciptakan dengan takdir.” (QS. Al-Qomar: 49)

Allah Ta’ala juga berfirman:

وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهُ تَقْدِيرًا. “Dan Dialah yang menciptakan segala sesuatu lalu menetapkan takdirnya dengan sebenar-benarnya.” (QS. Al-Furqan: 2)

Rasulullah SAW. bersabda:

كُلُّ شَىْءٍ بِقَدَرٍ حَتَّى الْعَجْزُ وَالْكَيْسُ.

“Segala sesuatu telah ditakdirkan, sampai kelemahan dan kecerdasan.”

Rasulullah SAW. bersabda:

إِنَّ اللهَ خَلَقَ لِلْجَنَّةِ أَهْلًا خَلَقَهُمْ لَهَا وَهُمْ فِي أَصْلَابِ آبَائِهِمْ وَخَلَقَ لِلنَّارِ أَهْلًا خَلَقَهُمْ لَهَا وَهُمْ فِي أَصْلَابِ آبَائِهِمْ.

“Sesungguhnya Allah telah menciptakan (menetapkan/menakdirkan) siapa saja yang akan masuk surga ketika mereka masih di tulang sulbi ayah-ayah mereka, dan Dia telah menciptakan (menetapkan/menakdirkan) siapa saja yang akan masuk neraka ketika mereka masih di tulang sulbi ayah-ayah mereka.”

Rasulullah SAW. bersabda:

مَا مِنْكُمْ مِنْ نَفْسٍ إِلَّا وَقَدْ عُلِمَ مَنْزِلُهَا مِنْ الْجَنَّةِ وَالنَّارِ.

“Tidak ada seorang jiwapun diantara kalian kecuali telah diketahui (oleh Allah karena Dia yang menetapkan) tempat tinggalnya di surga atau di neraka.

Ubadah bin Ash-Shamit berkata kepada anaknya: “Wahai anakku, engkau tidak akan merasakan lezatnya hakekat iman hingga engkau mengetahui (meyakini) bahwa apa yang telah ditetapkan akan menimpa dirimu tidak akan mungkin meleset darimu dan apa yang telah ditetapkan tidak akan menimpamu tidak akan mungkin mengenai dirimu. Saya telah mendengar Rasulullah SAW. bersabda:

إِنَّ أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللهُ الْقَلَمَ فَقَالَ لَهُ: اكْتُبْ! قَالَ: رَبِّ وَمَاذَا أَكْتُبُ؟ قَالَ: اكْتُبْ مَقَادِيرَ كُلِّ شَىْءٍ حَتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ!

“Sesungguhnya makhluk yang pertama kali Allah ciptakan adalah pena, lalu Dia berfirman kepadanya, “Tulislah!” Pena bertanya, “Wahai Rabbku, apa yang harus aku tulis?” Allah menjawab, “Tulislah takdir segala sesuatu hingga hari kiamat!”

Lalu Ubadah berkata: “Barangsiapa yang mati dalam keadaan meyakini selain ini maka dia bukan termasuk dariku.

Rasulullah SAW. bersabda:

يَا أَبَا هُرَيْرَةَ قَدْ جَفَّ الْقَلَمُ بِمَا أَنْتَ لاَق.

“Wahai Abu Hurairah, pena takdir telah kering mencatat apa saja yang akan engkau jumpai.”

Rasulullah SAW. bersabda:

إِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ عَمَلَ أَهْلِ الْجَنَّةِ فيما يَبْدُو لِلنَّاسِ وَهُوَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ عَمَلَ أَهْلِ النَّارِ فِيما يَبْدُو لِلنَّاسِ وَهْوَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ.

“Sesungguhnya benar-benar ada seorang hamba yang melakukan perbuatan penduduk surga berdasarkan apa yang terlihat oleh manusia, padahal dia telah ditakdirkan menjadi penduduk neraka. Dan sesungguhnya benar-benar ada seorang hamba yang melakukan perbuatan penduduk neraka berdasarkan apa yang terlihat oleh manusia, padahal dia telah ditakdirkan menjadi penduduk surga.”

Rasulullah SAW. bersabda:

إِنَّ الْغُلَام الَّذِي قَتَلَهُ الْخَضِر طُبِعَ كَافِرًا , وَلَوْ عَاشَ لَأَرْهَقَ أَبَوَيْهِ طُغْيَانًا وَكُفْرًا.

“Sesungguhnya anak muda yang dibunuh oleh Khidhir memang telah ditetapkan menjadi orang kafir, seandainya dia berumur panjang pasti dia akan menyeret kedua orang tuanya kepada sikap melampaui batas dan kekafiran.”

Allah Ta’ala berfirman:

وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللهِ كَذِبًا (٢١)

“Dan siapakah yang lebih zhalim dari orang yang membuat-buat kedustaan terhadap Allah.” (QS. Al-An’am: 21)

Allah Ta’ala berfirman:

قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لا تَعْلَمُونَ (٣٣)

“Katakanlah: Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, mengharamkan kalian mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (Dia mengharamkan) kalian mengada-adakan kedustaan terhadap Allah dengan sesuatu yang tidak kalian ketahui.” (QS. Al-A’raf: 33)

Allah Ta’ala berfirman:

أَلَمْ يُؤْخَذْ عَلَيْهِمْ مِيثَاقُ الْكِتَابِ أَنْ لا يَقُولُوا عَلَى اللهِ إِلا الْحَقَّ وَدَرَسُوا مَا فِيهِ وَالدَّارُ الآخِرَةُ خَيْرٌ لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ أَفَلا تَعْقِلُونَ ( ١٦٩)

“Bukankah Perjanjian Taurat sudah diambil dari mereka; yaitu bahwa mereka tidak akan mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar, dan mereka juga telah mempelajari apa yang tersebut di dalamnya?! Dan negeri akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa, maka tidakkah kalian mengerti?” (QS. Al-A’raf: 169)

Allah Ta’ala berfirman:

قُلْ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللهِ الْكَذِبَ لا يُفْلِحُونَ (٦٩) مَتَاعٌ فِي الدُّنْيَا ثُمَّ إِلَيْنَا مَرْجِعُهُمْ ثُمَّ نُذِيقُهُمُ الْعَذَابَ الشَّدِيدَ بِمَا كَانُوا يَكْفُرُونَ (٧٠)

“Katakanlah: “Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kedustaan terhadap Allah tidak beruntung. Itu hanya akan menghasilkan kesenangan sementara di dunia, kemudian hanya kepada Kami-lah mereka kembali, kemudian Kami akan merasakan kepada mereka siksaan yang berat disebabkan kekafiran mereka.” (QS. Yunus: 69-70)

Allah Ta’ala berfirman:

وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللَّهِ كَذِبًا أُولَئِكَ يُعْرَضُونَ عَلَى رَبِّهِمْ وَيَقُولُ الأشْهَادُ هَؤُلاءِ الَّذِينَ كَذَبُوا عَلَى رَبِّهِمْ أَلا لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الظَّالِمِينَ (١٨)

“Dan siapakah yang lebih zhalim dari orang yang membuat-buat kedustaan terhadap Allah?! Mereka itu akan dihadapkan kepada Rabb mereka dan para saksi akan berkata: “Orang-orang Inilah yang telah berdusta terhadap Rabb mereka.” Ingatlah, kutukan Allah ditimpakan atas orang-orang yang zhalim itu.” (QS. Huud: 18)
"Hukum Karma"(dalam Buddha/Hindu) tidak seperti yang digambarkan diatas

”Seorang berbuat kejelekan, ada seseorang dia akan mendapatkan akibat yang semisal. Nah hal yang semacam ini mungkin saja ada sebab dia adalah bentuk dari siksaan, bentuk dari pembalasan, iya, bentuk dari pembalasan. Allah SWT. telah menyebutkan bahwa pembalasannya itu sangatlah berat.” tetapi juga bisa bermakna "karma" yang baik (yang kesemuanya sama sekali tidak terkait dengan pembalasan/"hukum"an atau pahala dari Allah) :

“Kamma(bahasa Pali) atau
"Karma" (bahasa Sansekerta) artinya perbuatan. Kamma atau "Karma" adalah suatu perbuatan yang dapat membuahkan hasil, dimana perbuatan baik akan menghasilkan kebahagiaan dan sebaliknya perbuatan jahat juga akan menghasilkan penderitaan atau kesedihan bagi pembuatnya.”

“Dalam kegiatan sehari-hari kita sering mendengar kata
"Karma". Panggunaan kata "Karma" ini pada umumnya ditujukan untuk manggambarkan hal-hal yang tidak baik; karma selalu dihubungkan dengan "Karma" buruk. Padahal sebetulnya "Karma" bukan hanya "Karma" buruk tetapi juga ada "Karma" baik….Konsep yang menganggap bahwa "Karma" selalu "Karma" buruk dan sebagai satu-satunya penyebab kejadian ini dapat dikatakan sebagai suatu pandangan yang salah dan merupakan kelemahan terhadap penjelasan "Hukum Karma".
"Hukum Karma"sama sekali bukan tentang "hukum"an atau hadiah [pahala] dari Tuhan, tapi tentang tindakan kita sendiri beserta seluruh konsekuensinya. Kalau kita sombong, maka yang akan datang kepada kita adalah kebencian. Kalau kita penuh kebaikan, maka yang akan datang kepada kita adalah simpati dan pertolongan. Kalau kita menyakiti, maka kita akan disakiti. Kalau kita penuh kesabaran, maka yang akan datang kepada kita adalah simpati dan kasih sayang. Kalau kita banyak mengambil kebahagiaan orang, maka kita juga akan banyak mengambil penderitaan, dan lain-lain.”

Nampak jelas bahwa
"Hukum Karma" murni tentang tindakan kita sendiri beserta seluruh konsekuensinya dan sama sekali bukan tentang "hukum"an atau hadiah [pahala] dari Allah.

Dari celah mana bisa melegalkan keyakinan batil
"Hukum Karma" semacam ini dengan ayat dan hadits yang ada?

Allah Ta’ala berfirman:

وَلا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلالٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللهِ الْكَذِبَ لا يُفْلِحُونَ (١١٦)مَتَاعٌ قَلِيلٌ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ (١١٧)

“Dan janganlah engkau mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta, “Ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kedustaan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kedustaan terhadap Allah tidak akan beruntung. Itu adalah kesenangan yang sedikit dan bagi mereka azab yang pedih.” (QS. An-Nahl: 116-117)

Allah Ta’ala berfirman:

وَيْلَكُمْ لا تَفْتَرُوا عَلَى اللهِ كَذِبًا فَيُسْحِتَكُمْ بِعَذَابٍ وَقَدْ خَابَ مَنِ افْتَرَى (٦١)

“Celakalah kalian, janganlah kalian mengada-adakan kedustaan terhadap Allah sehingga Dia membinasakan kamu dengan adzab, dan sesungguhnya telah merugilah orang yang mengada-adakan kedustaan.” (QS. Thaha: 61)

Allah Ta’ala berfirman:

وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ تَرَى الَّذِينَ كَذَبُوا عَلَى اللهِ وُجُوهُهُمْ مُسْوَدَّةٌ أَلَيْسَ فِي جَهَنَّمَ مَثْوًى لِلْمُتَكَبِّرِينَ (٦٠)

“Dan pada hari kiamat engkau akan melihat orang-orang yang mengadakan kedustaan terhadap Allah, muka mereka menjadi hitam. Bukankah dalam neraka Jahannam itu ada tempat bagi orang-orang yang menyombongkan diri?” (QS. Az-Zumar: 60)

Di dalam keyakinan agama Hindu,
"Hukum Karma" yang dialami seseorang memiliki keterkaitan erat dengan rukun iman Hindu yang lain, menitis/reinkarnasi dari kehidupan sebelumnya, sekarang dan kelahirannya pada masa yang akan datang:

KARMA"
-PHALA [BUAH "KARMA"]

Berdasarkan rentang waktu, ada tiga jenis "karma"-phala yang didasarkan atas waktu dari buah "karma" itu matang dan kita terima, yaitu :

1. Sancita "Karma"phala ["karma" masa lalu] tindakan yang kita lakukan di masa lalu atau kehidupan [kelahiran] sebelumnya, yang buah "karma"nya ["karma"-phala] baru matang dan kita terima di saat ini atau di kehidupan [kelahiran] sekarang. 

 2. Prarabda "Karma"phala ["karma" saat ini] – tindakan yang kita lakukan di saat ini, yang buah "karma"nya ["karma"-phala] matang dan kita terima di saat ini juga. 

3. Kriyamana "Karma"phala ["karma" masa depan] – tindakan yang kita lakukan di saat ini, yang buah "karma"nya ["karma"-phala] baru matang dan kita terima di masa depan atau di kehidupan [kelahiran] berikutnya.”

Demikiankah kesesuaian ayat dan hadits yang saya bawakan dalam mendukung keyakinan batil
"Hukum Karma"?

Dari Abu Hurairah ra. beliau berkata, “Nabi SAW. bersabda:

إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ رِضْوَانِ اللهِ, لاَ يُلْقِيْ لَهَا بَالاً؛ يَرْفَعُ اللهُ بِهَا دَرَجَاتٍ, وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللهِ, لاَ يُلْقِيْ لَهَا بَالاً؛ يَهْوِيْ بِهَا فِيْ جَهَنَّمَ.

“Sesungguhnya benar-benar ada seorang hamba yang mengucapkan suatu perkataan yang diridhai Allah, sedangkan dia tidak memperhatikannya, padahal dengan sebab itu Allah meninggikannya beberapa derajat. Dan sesungguhnya benar-benar ada seorang hamba yang mengucapkan suatu perkataan yang dimurkai Allah, sedangkan dia tidak memperhatikannya, padahal dengan sebab itu dia terjatuh ke dalam neraka Jahannam.


Dari Abu Hurairah ra. beliau berkata, “Saya mendengar Rasulullah SAW. bersabda:

إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ فِيْهَا؛ يَزِلُّ بِهَا فِيْ النَّارِ, أَبْعَدَ مِمَّا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ.

“Seorang hamba benar-benar mengatakan sebuah kata tanpa dia pikirkan baik buruknya, dengan sebab itu dia tergelincir kedalam neraka yang lebih jauh dari jarak antara timur dan barat.”

Dari Abu Hurairah ra. beliau berkata: “Rasulullah SAW. bersabda:

إِنَّ الرَّجُلَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَة, لاَ يَرَى بِهَا بَأْسًا؛ يَهْوِيْ بِهَا سَبْعِيْنَ خَرِيْفًا فِيْ النَّارِ.

“Sesungguhnya seseorang benar-benar mengatakan sebuah perkataan yang dia memandang bahwa itu tidak mengapa, padahal dengan sebab itu dia tergelincir kedalam neraka sejauh 70 tahun perjalanan.”

Dari Bilal bin Harits Al-Muzaniy ra. beliau berkata, “Rasulullah SAW. bersabda:

إِنَّ الرَّجُلَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ رِضْوَانِ اللهِ تَعَالَى, مَا يَظُنُّ أَنْ تَبْلُغَ مَا بَلَغَتْ؛ فَيَكْتُبُ اللهُ لَهُ بِهَا رِضْوَانَهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ. إِنَّ الرَّجُلَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللهِ تَعَالَى, مَا يَظُنُّ أَنْ تَبْلُغَ مَا بَلَغَتْ؛ يَكْتُبُ اللهُ عَلَيْهِ بِهَا سَخَطَهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ.

“Sesungguhnya seseorang benar-benar ada yang mengatakan sebuah kata yang diridhai Allah yang dia tidak menyangka sejauh mana akibat ucapan itu, maka Allah menulis keridhaan-Nya bagi orang tersebut sampai Hari Kiamat dengan sebab ucapan itu, dan sungguh seseorang benar-benar ada yang mengatakan sebuah kata yang dimurkai Allah yang dia tidak menyangka sejauh mana akibat ucapan itu, maka Allah menulis kemurkaan-Nya atas orang tersebut sampai Hari Kiamat dengan sebab ucapan itu.”

Abu Bakr ra. berkata: “Langit yang mana yang akan menaungiku dan bumi yang mana yang akan kujadikan pijakan jika aku berani mengatakan tentang kitab Allah tanpa ilmu.”

Bagaimana pula
"Karma" yang diterima dalam masa kelahiran berikutnya jika seseorang itu melakukan kedurhakaan/perbuatan jahat dalam pandangan agama Buddha?

Berikut contoh dan akibatnya:

“Pancanantariya-kamma, yaitu 5 perbuatan durhaka.

1. Membunuh ayah

2. Membunuh ibu

3. Membunuh seorang Arahat

4. Melukai seorang Buddha

5. Memecah belah Sangha

Mereka yang melakukan salah satu dari 5 perbuatan durhaka di atas, setelah meninggal akan lahir di alam Apaya (duka/rendah), yaitu alam neraka, binatang, setan dan raksasa.”

Di madrasah mana seorang muslim diajari aqidah reinkarnasi (terlahir pada kehidupan berikutnya) bahwa manusia akan berubah "karma"nya terlahir di alam binatang, setan dan raksasa jika melakukan perbuatan-perbuatan di atas?! Allahul musta’an.

Sebaliknya, jika dia melakukan
"Karma" yang “baik” seperti meditasi:

“Kusala-garuka-
"karma". Adalah perbuatan “bermutu”, yaitu dengan bermeditasi, hingga mencapai tingkat kesadaran jhana. Ia akan dilahirkan di alam sorga atau lapisan kesadaran yang tinggi, yang berbentuk atau tanpa bentuk (16 rupa-bhumi dan 4 arupa-bhumi)”

Dari penjelasan singkat berbagai uraian tentang
"Hukum Karma" semacam di atas, bagaimana mungkin seorang muslim yang lurus dalam memahami Kitabullah dan Sunnah, memiliki aqidah tauhid yang kokoh lagi bersih akan berani bersikap gegabah dengan mengaitkan keyakinan batil dan sesat tentang "Hukum Karma"-reinkarnasi dengan dienul "Islam" yang suci dan sempurna?! Dan bahkan mencarikan pembenaran dan keabsahannya dengan ayat Al Qur’an dan Sunnah Nabi SAW?!

Maka selayaknya bagi kita semuanya untuk berbicara sebatas apa yang diketahuinya saja agar tidak menjadi sesat dan menyesatkan saudara-saudaranya yang lain.

Ibnu Mas’ud ra. berkata: “Wahai manusia, siapa diantara kalian yang mengetahui sesuatu silahkan dia berbicara, dan barangsiapa yang tidak mengetahui maka hendaklah dia mengatakan terhadap perkara yang tidak dia ketahui itu, “Wallahu a’lam.” Karena sesungguhnya termasuk ilmu yang dimiliki seseorang adalah ketika dia mengatakan terhadap perkara yang tidak dia ketahui itu, “Wallahu a’lam.”
 
Untuk menarik kembali pernyataannya yang menyesatkan tersebut (apalagi hal ini terkait dengan masalah aqidah), berlepas diri dari aqidah "Hukum Karma" untuk kemudian rujuk, bertaubat dan menegaskan kepada umat bahwa aqidah batil "Hukum Karma" tidaklah memiliki landasan "hukum" (apapun!) di dalam syari’at "Islam" dan syari’at "Islam" sama sekali tidak memiliki keterkaitan (apapun!) dengan kebatilan aqidah "Hukum Karma", laa min qarib wa laa min ba’id.

Ingatlah ya Teman Teman bahwa…

Saudara yang sejati adalah yang berkata benar kepadamu

Dan bukanlah orang yang selalu membenarkan perkataanmu

Pesan Penulis Untuk Pembaca

dimana Allah sendiri Berfirman:

لا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولا

“Dan janganlah engkau mengikuti apa yang engkau tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggung jawaban.” (QS. Al-Isra’: 36)

dan Hadis nabi sendiri Melarang kita Untuk Mengikuti AjaraN Mereka Rasulullah SAW. bersabda :

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka”. (HR. Abu Dawud)

DALAM ISLAM HUKUM TIMBAL BALIK TIDAK SELALU SEIMBANG

Berbeda dengan "Hukum Karma" dalam Hindu Budha, di dalam aqidah "Islam" dikatakan bahwa perbuatan baik akan mendapat balasan berkali lipat sedangkan perbuatan jahat akan mendapat balasan seimbang dengan kejahatannya.
 

Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya sepuluh kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang membawa perbuatan jahat maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya (Q.S. Al-An’aam [6] :160)

Semoga dengan adanya Tulisan Ini dapat Membuka Mata hati Kita dan Kembali Keajaran
"Islam" Sebenarnya.....


KESIMPULAN.

Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa dalam aqidah "Islam" juga terdapat keyakinan bahwa setiap perbuatan pasti ada balasannya, jika ini diartikan sebagai "Hukum Karma" maka hal ini juga terdapat dalam "Islam".

Jika "Hukum Karma" itu bermakna perbuatan baik pada orang lain akan mendapat balasan yaitu orang lain pun akan berbuat baik pula pada kita, "Islam" bisa setuju bisa tidak. Karena timbal balik ini bisa terjadi bisa juga tidak. Balasan itu kadang terjadi di dunia kadang terjadi di akhirat. Beberapa hal balasannya kontan di dunia sedangkan hal lainnya sebagian dibalas di dunia dan sebagian di akhirat.

Jika "Hukum Karma" itu bermakna bahwa kondisi diri kita sekarang apakah miskin atau sial itu karena perbuatan kita di kehidupan yang lalu (dimana kita sendiri tidak tahu dan tidak ingat kita dulu berbuat seperti apa dan hidup sebagai apa?) maka "Islam" menolak konsep ini. Demikian pula jika "Hukum Karma" itu bermakna bahwa baik buruknya perbuatan kita dalam kehidupan sekarang ini menyebabkan baik buruknya kehidupan kita ketika dilahirkan kembali dalam kehidupan lain, maka "Islam" juga menolak konsep ini. Karena semua orang yang mati akan masuk alam barzakh (alam kubur) menunggu untuk dibangkitkan di yaumul akhir dan tak ada yang namanya reinkarnasi.  Wallahua’lam.

Apabila menurut Pembaca Tulisan Ini Bermanfaat Silakan Share Sebanyak Mungkin..... Hak cipta; Hanya Milik Allah Sang Maha Pencipta.....

Wallahu a’lam.  

Sumber:
1. www.muslim-menjawab.com/.../adakah-hukum-karma...
2. http://peradah-semarang.blogspot.com/2011/05/hukum-karma.html
3. seteteshidayah.wordpress.com/.../adakah-hukum-karm...
4. http://artikelbuddhist.com/2011/06/hukum-karma-oleh-yang-mulia-bhikkhu-uttamo-mahathera.html
5. http://artikelbuddhist.com/2011/05/hukum-karma.html
6. http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20081119011055AAlf70V
7. fairulfh.blogspot.com/Pengetahuam-FaIRuL-:Dasar-Hukum-Islam....
8. cungkringmacho.blogspot.com/Hukum+Islam.jpg....
9. laely.widjajati.photos.facebook/Moment-Ramadhan-Jangan-Terlewatkan-...
10.laely.widjajati.photos.facebook/Mau-Bikin-Kripik-Pisang...........

"HUKUM MERAYAKAN TAHUN BARU ISLAM"

"Telah menjadi kebiasaan di tengah-tengah kaum muslimin "Merayakan Tahun Baru Islam". Sehingga tanggal 1 Muharram termasuk salah satu Hari Besar "Islam" yang di"raya"kan secara rutin oleh kaum muslimin.


Bagaimana "hukum merayakan Tahun Baru Islam" dan menjadikan 1 Muharram sebagai Hari Besar "Islam"? Apakah perbuatan tersebut dibenarkan dalam syari’at "Islam"?

Berikut penjelasan Asy-Syaikh Al-’Allâmah Al-Faqîh Muhammad bin Shâlih Al-’Utsaimîn rahimahullahu Ta’ala ketika beliau ditanya tentang permasalahan tersebut. Beliau adalah seorang ahli fiqih paling terkemuka pada masa ini.

Telah banyak tersebar di berbagai negara "Islam" pe"raya"an hari pertama bulan Muharram pada setiap "tahun", karena itu merupakan hari pertama "tahun" Hijriyyah. Sebagian mereka menjadikannya sebagai hari libur dari bekerja, sehingga mereka tidak masuk kerja pada hari itu. Mereka juga saling tukar menukar hadiah dalam bentuk barang. Ketika mereka ditanya tentang masalah tersebut, mereka menjawab bahwa masalah perayaan hari-hari besar kembalinya kepada adat kebiasaan manusia. Tidak mengapa membuat hari-hari besar untuk mereka dalam rangka bergembira dan saling tukar hadiah. Terutama pada zaman ini, manusia sibuk dengan berbagai aktivitas pekerjaan mereka dan terpisah-pisah. Maka ini termasuk bid’ah hasanah. Demikian alasan mereka.

Bagaimana pendapat engkau, semoga Allah memberikan taufiq kepada engkau. Kami memohon kepada Allah agar menjadikan ini termasuk dalam timbangan amal kebaikan engkau.

Asy-Syaikh Muhammad bin Shâlih Al-’Utsaimîn rahimahullahu Ta’ala menjawab :
تخصيص الأيام، أو الشهور، أو السنوات بعيد مرجعه إلى الشرع وليس إلى العادة، ولهذا لما قدم النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم المدينة ولهم يومان يلعبون فيهما فقال: «ما هذان اليومان»؟ قالوا: كنا نلعب فيهما في الجاهلية، فقال رسول الله صلى الله عليه وعلى آله وسلم: «إن الله قد أبدلكم بهما خيراً منهما: يوم الأضحى، ويوم الفطر». ولو أن الأعياد في الإسلام كانت تابعة للعادات لأحدث الناس لكل حدث عيداً ولم يكن للأعياد الشرعية كبير فائدة.
ثم إنه يخشى أن هؤلاء اتخذوا رأس السنة أو أولها عيداً متابعة للنصارى ومضاهاة لهم حيث يتخذون عيداً عند رأس السنة الميلادية فيكون في اتخاذ شهر المحرم عيداً محذور آخر.
كتبه محمد بن صالح العثيمين
24/1/1418 هـ

Pengkhususan hari-hari tertentu, atau bulan-bulan tertentu, atau "tahun"-"tahun" tertentu sebagai hari besar/hari "raya" (‘Id) maka kembalinya adalah kepada ketentuan syari’at, bukan kepada adat. Oleh karena itu ketika Nabi SAW. datang ke Madinah, dalam keadaan penduduk Madinah memiliki dua hari besar yang mereka bergembira ria padanya, maka beliau bertanya : “Apakah dua hari ini?” maka mereka menjawab : “(Hari besar) yang kami biasa bergembira padanya pada masa jahiliyyah. Maka Rasulullâh SAW. bersabda : “Sesungguhnya Allah telah menggantikan dua hari tersebut dengan hari "raya" yang lebih baik, yaitu ‘Idul Adh-ha dan ‘Idul Fitri.“

Kalau seandainya hari-hari besar dalam "Islam" itu mengikuti adat kebiasaan, maka manusia akan seenaknya menjadikan setiap kejadian penting sebagai hari "raya"/hari besar, dan hari "raya" syar’i tidak akan ada gunanya.

Kemudian apabila mereka menjadikan penghujung "tahun" atau awal "tahun" (Hijriyyah) sebagai hari "raya" maka dikhawatirkan mereka mengikuti kebiasaan Nashara dan menyerupai mereka. Karena mereka menjadikan penghujung "tahun" miladi/masehi sebagai hari "raya". Maka menjadikan bulan Muharram sebagai hari besar/hari "raya" terdapat bahaya lain.

Dari penjelasan di atas,  jelaslah bahwa "Merayakan Tahun Baru Islam" dan menjadikan 1 Muharram sebagai Hari Besar "Islam" tidak boleh, karena :

- Perbuatan tersebut tidak ada dasarnya dalam "Islam". Karena syari’at "Islam" menetapkan bahwa Hari Besar "Islam" hanya ada dua, yaitu ‘Idul Adh-ha dan ‘Idul Fitri.

- Perbuatan tersebut mengikuti dan menyerupai adat kebiasaan orang-orang kafir Nashara, di mana mereka biasa "Merayakan Tahun Baru" Masehi dan menjadikannya sebagai Hari Besar agama mereka.

Oleh karena itu, wajib atas kaum muslimin agar meninggalkan kebiasaan "Merayakan Tahun Baru Islam". Sangat disesalkan, ada sebagian kaum muslimin berupaya menghindar dari peringatan "Tahun Baru" Masehi, namun mereka terjerumus pada kemungkaran lain yaitu "Merayakan Tahun Baru Islam". Lebih disesalkan lagi, ada yang terjatuh kepada dua kemungkaran sekaligus, yaitu peringatan "Tahun Baru" Masehi sekaligus peringatan "Tahun Baru Islam".
Wallâhu a’lam bish shawâb

2. Hukum Memberi Ucapan "Merayakan Tahun Baru" Hijriyah”

Oleh: Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah
Berikut fatwa berkaitan akan masuknya bulan Muharram:

سئل الشيخ محمد بن صالح العثيمين رحمه الله ما حكم التهنئة بالسنة الهجرية وماذا يرد على المهنئ ؟
فأجاب رحمه الله :
إن هنّأك احد فَرُدَّ عليه ولا تبتديء أحداً بذلك هذا هو الصواب في هذه المسألة لو قال لك إنسان مثلاً نهنئك بهذا العام الجديد قل : هنئك الله بخير وجعله عام خير وبركه ، لكن لا تبتدئ الناس أنت لأنني لا أعلم أنه جاء عن السلف أنهم كانوا يهنئون بالعام الجديد بل اعلموا أن السلف لم يتخذوا المحرم أول العام الجديد إلا في خلافة عمر بن الخطاب رضي الله عنه. انتهى
المصدر إجابة السؤال رقم 835 من اسطوانة موسوعة اللقاء الشهري والباب المفتوح الإصدار الأول اللقاء الشهري لفضيلته من إصدارات مكتب الدعوة و الإرشاد بعنيزة

Syaikh Al-Allamah Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah ditanya :Apa hukum mengucapkan selamat "Tahun Baru Islam". Bagaimana menjawab ucapan selamat tersebut.

Syaikh menjawab: Jika seseorang mengucapkan selamat,maka jawablah, akan tetapi jangan kita yang memulai. Inilah pandangan yang benar tentang hal ini. Jadi jika seseorang berkata pada anda misalnya:"Merayakan Tahun Baru", anda bisa menjawab “Semoga Allah jadikan kebaikan dan keberkahan di tahun ini kepada anda” Tapi jangan anda yang mulai, karena saya tidak tahu adanya atsar salaf yang saling mengucapkan selamat hari "raya". Bahkan Salaf tidaklah menganggap 1 Muharram sebagai awal "tahun baru" sampai zaman Umar bin Khattab ra.

Menjelang "tahun baru" Masehi, banyak ummat "Islam" yang latah ikut "merayakan" pe"raya"an tersebut. Padahal "tahun" Masehi adalah penanggalan yang berasal dari non-muslim dan pe"raya"annya adalah merupakan hari besar non-muslim. Patutkan ummat "Islam" mengambil bagian dalam pe"raya"an tersebut?

Ummat "Islam" memiliki penanggalan Hijriyah yang sepatutnya ummat Muslim merasa mulia dengannya dan tidak perlu terpikat dengan kebudayaan non-muslim termasuk penanggalan mereka. Bahkan hal tersebut dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya serta para sahabat dan ulama "Islam" dari dahulu hingga sekarang.

Jadi ada tiga alasan mengapa "Islam" melarang Merayakan Tahun baru Islam":
  1. Hanya Idul Adhha dan Idul Fithri yang di"raya"kan. Rasulullah SAW.  memerintahkan kaum muslimin untuk "merayakan" hanya Idul Adhha dan Idul Fithri. Rasulullah SAW. bersabda: Likulli ummatin ’iidan wa haadzihi ’iidunaa: ’iidul adhha wa ’iidul fithri [Setiap umat memiliki hari "raya". Dan inilah hari "raya" kita: Idul Adhha dan Idul Fithri]. Dengan kata lain, Rasulullah saw melarang merayakan hari-hari selain Idul Adhha dan Idul Fitri, termasuk awal tahun hijriyah 1 Muharram. 
  2. Para Sahabat Nabi tidak ada yang "Merayakan Tahun baru Islam". Perlu diketahui, Penanggalan "Islam" mulai dipakai pada masa pemerintahan Amirul Mu`minin ’Umar bin Khaththab ra. 
    Padahal mereka menggunakan penanggalan "Islam" dan ada yang masih hidup hingga akhir masa Bani Umayyah. Tapi sekali lagi tidak ada satu pun sahabat Nabi yang "merayakan"nya. Artinya, mereka bersepakat bahwa Awal "Tahun" Hijriyah tidak di"raya"kan. "Tahun Baru Islam" baru diadakan pada Abad ke-4 H di masa Kekhilafahan Fathimiyah yang beraliran Syi’ah Ismailiyah yang berpusat di Kairo Mesir. Tentu saja hal ini merupakan bid’ah yang sesat.
  3. Rasulullah SAW. melarang tasyabbuh bil kuffar (menyerupai orang-orang kafir). Orang-orang kafir biasa merayakan "tahun baru" mereka. Orang Cina merayakannya dengan Imlek. Biasanya mereka "merayakan" dengan berpawai berikut liong dan barongsainya. Orang Romawi Kuno dan dilanjutkan oleh orang Nasrani "merayakan tahun baru" Masehi Gregoriannya dengan pe"raya"an kembang api. Orang Yahudi juga "merayakan tahun baru" penanggalan Yahudinya. Oleh karena itu "merayakan tahun baru" merupakan kebiasaan orang-orang kafir. Kebiasaan yang tidak boleh menjadi kebiasaan umat"Islam" .

Seringkali orang memakai logika ”Daripada "merayakan tahun baru" Masehi lebih baik "merayakan tahun baru Islam".” Tentu saja logika tidak biasa dipakai dalam memutuskan hukum suatu perbuatan. Hukum diputuskan dengan dalil, bukan dengan logika.

Oleh karena itu, "Perayaan Tahun Baru Islam", baik dengan berpawai, menjadikannya libur resmi, grebeg Suro, atau membuat makanan khas "tahun baru Islam", hendaknya segera dihentikan. Bagi yang sudah memahami keharamannya, hendaknya tidak ikut-ikutan berpartisipasi "merayakan"nya. Begitu pula bagi ormas "Islam", negara, dan kesultanan hendaknya segera bertaubat, kembali kepada kebiasaan umat "Islam" yang sesuai metode nabi.

Sumber:
1. alqiyamah.wordpress.com/../hukum-memberi-ucapan-selamat-tahun-bar.
4. mediaislamnet.com/2012/11/hukum-merayakan-tahun-baru-islam/
5. laely.widjajati.photos.facebook/Add-a-description