"Ziarah kubur" adalah
suatu hal yang tidak asing lagi di telinga kita,
hal ini sudah merupakan sesuatu yang lumrah, baik itu "ziarah" ke "kubur"
leluhur
kita, kakek, nenek, orang tua, sanak saudara dan family, para Ulama dan
Auliyaa_illah,
apalagi berziarah ke "kubur" Nabi Muhammad s.a.w.
Setiap orang Islam sangat mengidamkan ber"ziarah" ke makam manusia terbaik sepanjang masa (semoga ALLAH merizkikan kita untuk bisa "ziarah" ke makam beliau). Namun akhir-akhir ini kita sedang diuji dengan fitnah sekelompok golongan yang mengaku sebagai pembela sunnah, namun mereka jauh dari sunnah, mengaku pengikut manhaj salaf, tetapi justru menyelisihi para Assalaafus-shoolih, di mana mereka mengatakan bahwa "ziarah kubur" adalah sesuatu yang bid’ah, syirik, dan ujung-ujungnya menghukumi pe"ziarah" dengan vonis kafir.
"Sarkub" merupakan kepanjangan dari ''Sarjana Kuburan'', komunitas ini menyebut demikian karena mereka sering melakukan ritual-ritual yang semua berbau "kuburan".
MUKADDIMAH.
1. Hadits muttafaq 'alaih adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh dua imam besar Bukhory dan Muslim, ketika kedua imam tersebut meriwayatkan satu hadits yang sama dalam hal matan maupun sanad.
Setiap orang Islam sangat mengidamkan ber"ziarah" ke makam manusia terbaik sepanjang masa (semoga ALLAH merizkikan kita untuk bisa "ziarah" ke makam beliau). Namun akhir-akhir ini kita sedang diuji dengan fitnah sekelompok golongan yang mengaku sebagai pembela sunnah, namun mereka jauh dari sunnah, mengaku pengikut manhaj salaf, tetapi justru menyelisihi para Assalaafus-shoolih, di mana mereka mengatakan bahwa "ziarah kubur" adalah sesuatu yang bid’ah, syirik, dan ujung-ujungnya menghukumi pe"ziarah" dengan vonis kafir.
"Sarkub" merupakan kepanjangan dari ''Sarjana Kuburan'', komunitas ini menyebut demikian karena mereka sering melakukan ritual-ritual yang semua berbau "kuburan".
MUKADDIMAH.
1. Hadits muttafaq 'alaih adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh dua imam besar Bukhory dan Muslim, ketika kedua imam tersebut meriwayatkan satu hadits yang sama dalam hal matan maupun sanad.
2. Hadits muttafq alaih adalah merupakan hadits yang
memiliki peringkat ''shohih'', oleh karena itu,
hadits muttafaq 'alayh dapat digunakan hujjah secara mutlaq secara amal
syar'i, bahkan hadits ini merupakan hadits yang ''yaqtadhi al 'ilm''( hadits
yang bisa dijadikan hujjah dalm hal ' ilmu dan i'tiqod).
3. Hadits fi'liyah
(yang mengambil dari tingkah laku Rasulullah s.a.w) walaupun masih di
bawah hadits qoulyah, namun hadits fi'liyah menpunyai keunggulan dalalah
maqthuu'u 'ala i'maalihy (dapat dilaksanakan secara pasti).
4. Kalimatn harf ''Fii'' dalam kutub lughoh adalah
kalimat yang mempunyai artian ''dhorf'' atau tempat, yang menunjukkan bahwa
si pembicara berada di dalam lingkupan tempat yang disebut secara harfiyah
setelah kalimat harf ''Fii'' tersebut.
5. Dalam sebuah
kaidah disebutkan ''al ashlu fii al ibaadah adalah at tahriim''. Maka
dari itu ketika seseorang mau melakukan ritual tertentu mengenai abadah
maka dia tidak sedikitpun melakukannya kecuali setelah menemukan dalil yang
memperbolehkannya.
BOLEHKAH KITA "NYARKUB"?.
''Hukmu a syai' far'un min tashwwurihy'' begitulah ahli
mantiq menyimpulkan, bahwa hukum suatu hal tidak bisa dicetuskan sebelum
mengetahui gambaran hal tersebut.
Pertama: Apa "Sarkub" itu?
"Sarkub" adalah kepanjangan kata dari ''sarjana kuburan'', komunitas ini menyebut demikian karena mereka sering melakukan ritual-ritual yang semua berbau "kuburan" di antaranya adalah:
1. "ziarah kubur"
2. nyekar "kuburan"
3.
tahlilan di "kuburan"
4. dzikiran di
"kuburan"
5. ngobong menyan
di "kuburan"
6. Sholawatan di
"kuburan"
7. yasinan di
"kuburan"
8. fidaan di "kuburan"
9. mauidhoh hasanah di "kuburan". Dan lain-lain.
Dengan demikian kalimat ''sarkub'' yang diartikan
sebagai kumpulan orang-orang yang nyembah "kuburan" atau membuat sesaji buat
"kuburan" adalah merupakan tafsir yang keliru.
Dalam kitab ''RIYAADH ASSHOLIHIIN'' Imam muhyiddin an
Nawawy, menyebutkan sebuah hadits shohih yang berupa:
عن علي رضي الله عنه قال: كنا في جنازة في بقيع الغرقد
فأتانا رسول الله صلى الله عليه وسلم فقعد وقعدنا حوله ومعه محصرة فنكس
وجعل ينكت بمحصرته ثم قال : ما منكم من أحد إلا وقد كتب مقعده من النار
ومقعده من الجنة',فقالوا يا رسول الله أفلا نتكل على كتابنا فقال ; اعملوا
فكل ميسر لما خلق له. وذكر تمام الحديث. متفق عليه.
'dari Ali r.a berkata:''kita berada dalam sebuah
jenazah, di dalam pemakaman Baqii' al ghorqod, kemudian datanglah
Rasulullah s.a.w, kemudian duduklah Rasulullah s.a.w dan kami duduk di
sekeliling Rasulullah s.a.w, bersama Rasulullah s.a.w. tongkat kecil dan bengkok,
kemudian Rasulullah s.a.w menyapukan, dan membuat garis-garis dengan tongkat
tersebut. Kemudian Rasulullah s.a.w bersabda: ''tiada dari tiap diri kalian
semua kecuali telah dituliskan tempat duduknya di neraka atau di
surga''. Kemudian para sahabat bertanya: ''wahai Rasulullah, apa kita
tidak bisa berusaha atas kepastian tersebut? ?. Rasulullah s.a.w
bersabda: ''beramallah karena tiap sesuatu akan dimudahkan sesuai
penciptaannya''.(al hadits muttafaq 'alaih).
Ada dua penafsiaran
penting yang dapat kita ambil dari hadits ini:
Pertama: Penafsiran secara "al haal"
Dengan jelas sekali
bahwa hadits ini menerangkan bagaimana Rasulullah s.a. w berkumpul
bersama para sahabat r.a dalam rangka penguburan jenazah di dalam
pemakaman ''Baqii' al ghorqoth'', dan dalam kesempatan tersebut Rasulullah s.a.w. menberikan '' mauidhoh hasanah kepada para sahabat r.a.Nah, dari penafsiran al haal ini dapat diambil
beberapa hukum:
1. Al mauidhoh di
"kuburan" adalah merupakan as sunnah yang dipraktekkan langsung oleh
Rasulullah s.a.w dan diikuti para sahabat agung r.a, dan bukan
merupakan bid'ah, bahkan Imam Nawawy dalam riyadh as shoolihin, memberikan
judul hadits ini dengan ''BAABUL MAU' IDHOH INDAL QOBR''.
2. Dari kata ''في بقيع الغرقد '' hadits ini secara
gamblang memperkuat hadits shohih yang diriwayatkan Bukhori dan Muslim r.a.
tentang diperbolehkannya "ziarah kubur", yang artinya :''Aku (Rasulullah
s.a.w) telah melarang kalian ber"ziarah kubur", dan sekarang berziarahlah
kalian''. Dua hadits ini dengan terang-terangan menjelaskan bahwa "ziarah kubur" adalah Sunnah, hanya saja riwayat Bukhori dan Muslim menjelaskan
hukum pembolehan secara harfiyyah dengan menasakh( menghapus) hukum yang
dahulu, dan hadits yang sedang kita bahas ini menunjukkan ''istiqraaruul
jawaaz bil fi'l'' (penetapan pembolehan "ziarah kubur" dengan dijalankannya "ziarah kubur" secara nyata).
3. Dari kata ''فقعد
وقعدنا حوله'' Hadits ini secara gamblang menjelaskan bahwa berkumpul
bersama dengan tujuan tadzakur secara khos( bil maut) maupun secara
'aam(tahlilan qiroatul qur'an dan sebagainya), juga mauidhoh hasanah di dalam "kuburan",
adalah merupakan Sunnah yang dipraktekkan langsung oleh Rasulullah s.a.w
dan sahabat-sahabat r.a dan bukan merupakn bid'ah.
Kedua: Penafsiran Secara Isi Hadits.
Sebagaimana kita
ketahui Rasulullah s.a. w memberikan mauidhoh kepada para sahabat r.a. bahwa
''taqdir manusia'' telah dimaktubkan apakah dia ahli neraka atau
surga, dan ketika sahabat-sahabat r.a menanyakan tentang ''tawakkal'',
Rasulullah s.a.w. bersabda: ''beramallah karena setiap sesuatu akan dimudahkan sesuai pencipataannya''.
Dari hadits ini dapat
kita petik kesimpulan:
1. Dari pertanyaaan
sahabat r.a. yang berupa: أفلا نتكل I'tiqood yang benar bukanlah golongan
''qodiryah (golongan yang mengingatkan bahwa manusialah yang menentukan nasibnya)
maupun jabriyah (golongan yang mengingatkan bahwa manusia tidak punya usaha
ikhtiyar sama sekali)'' tetapi ahlu assunnah adalah orang-orang yang
meyakini sebuah taqdir dan menerimanya setelah bertawakkal.
2. Dari sabda Rasulullah s.a.w: اعملوا فكل ميسر لما
خلق له Adalah dalil secara Nash bahwa jalan manusia yang benar haruslah ditempuh melalui tiga tahapan:
A. Syari'at(اعملوا:
beramallah)
B. Thoriqoh(فكل
ميسر:'setiap sesuatu selalu digampangkan')
C. Hakikat(لما خلق له).
Dengan demikian
thoriqoh-thoriqoh dengan berbagai versinya adalah sebuah tingkatan setelah
menjalankan syariat guna menuju hakikat. Dan sangat disayangkan sekali
disana ada golongan ' ngawuriyah' yang telah dengan ngawur menyebutkan
bahwa thoriqoh-thoriqoh sufi adalah yang dimaksudkan sebagai 72 golongan yang non
najiyah.
HUKUM ZIARAH "KUBUR".
Di antara sunnah Rasulullah s.a.w. adalah ziarah "kubur". Rasulullah s.a.w.
bersabda:
إِنِّي كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا فَإِنَّهَا تُذَكِّرُكُمُ الْآخِرَةَ
“Dulu aku pernah melarang kalian ber"ziarah kubur", sekarang ber"ziarah"lah
kalian ke "kuburan" karena itu akan mengingatkan kalian kepada akhirat.”
(HR. Muslim dari Buraidah bin Hushaib z)
Dalam riwayat Abu Dawud:
وَلْتَزِدْكُمْ زِيَارَتُهَا خَيْرًا
"Ziarah kubur" akan menambah kebaikan bagi kalian.”
"Ziarah kubur" adalah salah satu ibadah yang harus dilakukan dengan ikhlas dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah s.a.w supaya diterima oleh Allah. Oleh karena itu, seseorang yang ingin menjaga agamanya, hendaknya mempelajari agamanya termasuk dalam masalah "ziarah kubur", karena sekarang ini banyak orang yang terjatuh dalam penyimpangan ketika melaksanakan "ziarah kubur".
Tujuan "Ziarah Kubur".
Tujuan "Ziarah kubur" ada dua hal.
Tujuan "Ziarah kubur" ada dua hal.
1. Orang yang ber"ziarah" mendapatkan manfaat dengan mengingat mati
dan orang yang telah mati. Dia akan mengingat bahwa tempat kembalinya
bisa surga atau neraka. Ini adalah tujuan utama "ziarah kubur".
2. Berbuat baik kepada orang yang telah meninggal dengan mendoakan dan memintakan ampun untuk mereka. Manfaat ini hanya didapat ketika ber"ziarah " ke "kuburan" muslim. (Ahkamul Jana’iz, hlm. 239)
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab berkata, “Ketahuilah—semoga Allah
memberikan taufik kepada saya dan Anda semua—bahwa "ziarah kubur" ada
tiga macam.
1. "Ziarah" yang syar’i
Ini yang disyariatkan dalam Islam. Ada tiga syarat yang harus dipenuhi agar "ziarah" menjadi syar’i.
Ini yang disyariatkan dalam Islam. Ada tiga syarat yang harus dipenuhi agar "ziarah" menjadi syar’i.
a. Tidak melakukan safar dalam rangka "ziarah"
Dari Abu Sa’id al-Khudri z, Rasulullah n bersabda:
Dari Abu Sa’id al-Khudri z, Rasulullah n bersabda:
لَا تَشُدُّوا الرِّحَالَ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ مَسْجِدِي هَذَا وَالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَالْمَسْجِدِ الْأَقْصَى
“Janganlah kalian bepergian jauh melakukan safar kecuali ke tiga masjid:
Masjidku ini, Masjidil Haram, dan Masjidil Aqsha.” (HR. al-Bukhari dan
Muslim dari hadits Abu Hurairah z)
b. Tidak mengucapkan ucapan batil
Dari Buraidah z, Rasulullah n bersabda:
Dari Buraidah z, Rasulullah n bersabda:
نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا
“Aku dulu melarang kalian "ziarah kubur", (sekarang) "ziarah"lah kalian ke "kuburan".” (HR. Muslim)
Dalam riwayat an-Nasa’i dengan lafadz:
وَنَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَمَنْ أَرَادَ أَنْ يَزُورَ فَلْيَزُرْ وَلَا تَقُولُوا هُجْرًا
“Aku dulu melarang kalian ber"ziarah kubur". Barang siapa yang ingin
ziarah "kubur" silakan ber"ziarah" dan janganlah kalian mengucapkan hujran.”
Hujran adalah ucapan keji.
Lihatlah, semoga Allah merahmati Anda, Rasulullah s.a.w. melarang kita mengucapkan ucapan keji dan batil ketika "ziarah kubur" . Ucapan apa yang lebih keji dan lebih batil dari pada meminta/berdoa kepada mayit dan meminta perlindungan kepada mereka?
Lihatlah, semoga Allah merahmati Anda, Rasulullah s.a.w. melarang kita mengucapkan ucapan keji dan batil ketika "ziarah kubur" . Ucapan apa yang lebih keji dan lebih batil dari pada meminta/berdoa kepada mayit dan meminta perlindungan kepada mereka?
c. Tidak mengkhususkan waktu tertentu karena tidak ada dalilnya
2. "Ziarah" bid’ah
"Ziarah" bid’ah adalah"ziarah" yang tidak memenuhi salah satu syarat di atas atau lebih.
"Ziarah" bid’ah adalah"ziarah" yang tidak memenuhi salah satu syarat di atas atau lebih.
3. "Ziarah" syirik
Pelaku "ziarah" ini terjatuh ke dalam perbuatan kesyirikan kepada Allah, seperti berdoa kepada selain Allah, menyembelih dengan nama selain Allah, atau bernadzar untuk selain Allah, dan sebagainya. (Dinukil dari al-Qaulul Mufid hlm. 192—194 dengan sedikit perubahan)
Pelaku "ziarah" ini terjatuh ke dalam perbuatan kesyirikan kepada Allah, seperti berdoa kepada selain Allah, menyembelih dengan nama selain Allah, atau bernadzar untuk selain Allah, dan sebagainya. (Dinukil dari al-Qaulul Mufid hlm. 192—194 dengan sedikit perubahan)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, "ziarah kubur" ada dua macam,
syar’i dan bid’ah. "Ziarah" menjadi syar’i jika dilakukan dengan niat
untuk memberi salam kepada si mayit dan mendoakan kebaikan untuknya,
sebagaimana yang diniatkan ketika menshalatkan jenazahnya. Akan tetapi,
ziarah ini tidak boleh dilakukan dengan safar (bepergian jauh). "Ziarah"
bid’ah adalah jika orang yang melakukannya bertujuan meminta
kebutuhannya kepada si mayit. Ini adalah syirik besar. Atau, dia berniat
untuk berdoa di sisi "kubur"nya atau bertawasul dengannya. Semua
perbuatan ini adalah bid’ah yang mungkar dan sarana yang mengantarkan
kepada kesyirikan. Amalan ini bukanlah sunnah Rasulullah s.a.w. Di samping
itu, tidak pernah dianjurkan oleh seorang pun dari kalangan salaf umat
ini atau para imamnya.” (Lihat Taudhihul Ahkam 3/258)
PERBEDAAN "ZIARAH KUBUR" ORANG BERTAUHID DAN ORANG MUSYRIK.
Ibnul Qayyim menerangkan perbedaan "ziarah kubur" muwahid (orang yang bertauhid) dan musyrik.
Seorang muwahid melakukan "ziarah kubur" untuk tiga hal sebagai berikut.
1. Mengingat akhirat, mengambil ibrah dan nasihat.
Nabi s.a.w. telah mengisyaratkan hal ini dengan sabdanya:
فَزُورُوهَا فَإِنَّهَا تُذَكِّرُكُمُ الْآخِرَةَ
“Berziarahlah kalian ke "kuburan" karena itu akan mengingatkan kalian
kepada akhirat.”
2. Berbuat baik kepada mayit
Ini terwujud dengan dia mendoakan dan memintakan ampunan serta rahmat bagi penghuni "kubur".
3. Berbuat baik kepada diri sendiri
Dengan melakukan "ziarah kubur", dia telah menjalankan dan mengamalkan sunnah Rasulullah s.a.w.
Adapun "ziarah "kubur" yang dilakukan seorang musyrik, asalnya adalah peribadatan kepada berhala (dengan mengharapkan syafaat dari penghuni "kubur" sebagaimana orang-orang musyrik terdahulu mengharapkan syafaat dari sesembahan mereka). (Disadur dari Ighatsatul Lahafan hlm. 288—290)
BEBERAPA PENYIMPANGAN YANG TERJADI DALAM "ZIARAH KUBUR".
Syaikhul Islam menjelaskan bahwa pokok kesyirikan bermuara pada dua hal. Salah satunya adalah mengagung-agungkan "kuburan" orang saleh.
Beliau berkata, “Kesyirikan bani Adam seringkali bersumber dari dua hal pokok. Yang pertama adalah mengagungkan "kubur" orang saleh dan membuat patung atau gambar mereka dengan tujuan mencari berkah ….” (Majmu’ al-Fatawa, 17/460)
Di antara penyimpangan yang terjadi dalam pelaksanaan "ziarah kubur" adalah sebagai berikut.
1. Meminta kepada penghuni "kubur", bertawasul dengan penghuninya
Rasulullah n bersabda:
فَمَنْ أَرَادَ أَنْ يَزُورَ فَلْيَزُرْ وَلَا تَقُولُوا هُجْرًا
“Barang siapa yang ingin ber"ziarah kubur" silakan berziarah namun
janganlah berkata hujran.” (HR. Abu Dawud)
Al-Imam Nawawi t berkata, “Al-Hujran adalah ucapan batil. Dahulu mereka dilarang ber"ziarah kubur" karena mereka baru meninggalkan masa jahiliah. Dikhawatirkan mereka akan mengucapkan ucapan-ucapan jahiliah ketika ber"ziarah kubur". Ketika fondasi Islam telah mantap, hukum-hukumnya telah kokoh, dan rambu-rambunya telah tampak, mereka pun dibolehkan ber"ziarah kubur". Namun, Rasulullah s.a.w. masih menjaga mereka dengan sabdanya, ‘Janganlah kalian mengucapkan hujran’.”
Asy-Syaikh al-Albani berkata, “Tidak diragukan lagi bahwasanya berdoa kepada penghuni "kubur"—yang dilakukan orang-orang awam dan selain mereka ketika ziarah "kubur"—, meminta tolong kepada mereka, serta meminta kepada Allah dengan hak penghuni "kubur" (tawasul) adalah ucapan dan perbuatan hujran yang paling besar. Para ulama wajib menjelaskan hukum Allah dan menerangkan "ziarah kubur" yang benar kepada mereka.” (Ahkamul Janaiz, hlm. 227—228)
2. Mengkhususkan waktu tertentu
Banyak fatwa para ulama tentang tidak bolehnya mengkhususkan ied (hari raya) atau bulan Ramadhan untuk ber"ziarah kubur". Ada sebuah pertanyaan yang ditujukan kepada asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, “Apa hukum mengkhususkan hari raya dan hari Jum’at untuk ber"ziarah kubur"?”
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin menjawab, “Pengkhususan hari Jum’at dan ied untuk berziarah "kubur" tidak ada asalnya di dalam sunnah. Pengkhususan ziarah "kubur" pada hari ied dan keyakinan bahwa hal itu disyariatkan, teranggap sebagai perbuatan bid’ah….” (kutipan dari Fatawa asy-Syaikh Ibnu Utsaimin 17/286 pertanyaan no. 259)
Ditanyakan pula kepada Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz t, “Apa hukum mengkhususkan hari Jum’at untuk ber"ziarah kubur"?”
Beliau menjawab, “Hal tersebut tidak ada asalnya dalam syariat. Yang disyariatkan adalah berz"ziarah kubur" kapan pun waktunya yang mudah bagi yang mau ber"ziarah" , baik malam maupun siang hari.”
Pengkhususan pagi atau malam tertentu (untuk berziarah) adalah perbuatan bid’ah yang tidak ada asalnya dalam syariat. Ini berdasarkan sabda Rasulullah s.a.w.:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa yang mengada-adakan dalam urusan agama kami yang bukan
darinya maka tertolak.”
Dalam riwayat Muslim:
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa mengamalkan satu amalan yang tidak ada padanya ajaran kami
maka tertolak.” (HR. Muslim dari Aisyah r.a.)
(Fatawa asy-Syaikh Ibnu Baz, 13/336)
(Fatawa asy-Syaikh Ibnu Baz, 13/336)
3. Membaca Al-Qur’an
Asy-Syaikh al-Albani berkata, “Membaca Al-Qur’an ketika "ziarah kubur" tidak ada dasarnya (contohnya) dalam sunnah Rasulullah s.a.w.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam kitabnya Iqtidha Shirathil Mustaqim, “Tidak ada ucapan al-Imam asy-Syafi’i dalam masalah ini, karena amalan ini adalah bid’ah menurut beliau. Al-Imam Malik berkata, ‘Aku tidak pernah tahu ada seorang pun melakukannya.’ Ini menunjukkan bahwa para sahabat dan tabi’in tidak melakukannya.” (Lihat Ahkamul Janaiz, hlm. 241—242)
4. Menabur bunga
Asy-Syaikh al-Albani berkata, “Tidak disyariatkan meletakkan daun wewangian dan bunga-bungaan di atas "kuburan", karena hal ini tidak pernah dilakukan oleh salaf. Seandainya itu adalah baik, niscaya mereka melakukannya. Ibnu Umar z berkata, ‘Semua bid’ah adalah sesat, walaupun orang-orang menganggapnya baik’.” (Ahkamul Janaiz, hlm. 258)
5. Syaddu rihal (melakukan safar)
Rasulullah s.a.w. pernah bersabda:
لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ، الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِ الرَّسُولِ n وَمَسْجِدِ الْأَقْصَى
“Tidak boleh melakukan bepergian jauh (demi ibadah di tempat tersebut
dengan anggapan mulianya tempat tersebut) kecuali ke tiga masjid:
Masjidil Haram, Masjidir Rasul, dan Masjidil Aqsha.” (HR. al-Bukhari)
Asy-Syaikh Muhammad Nashirudin al-Albani menganggap safar untuk ber"ziarah" ke "kuburan" Nabi atau orang saleh sebagai bid’ah. (Ahkamul Janaiz hlm. 229)
6. Membaca Surah Yasin di "Kuburan".
Asy-Syaikh al-Albani menyebutkan bahwa membacakan surah Yasin di "kuburan" termasuk salah satu bid’ah ziarah "kubur". (Ahkamul Janaiz hlm. 225)
Adapun hadits, “Barang siapa yang masuk pe"kuburan" dan membaca surat Yasin, Allah akan meringankan mereka dan mereka mendapatkan kebaikan sebanyak yang terdapat dalam surat tersebut,” asy-Syaikh al-Albani memasukkanya dalam Silsilah adh-Dha’ifah (no. 1246).
7. Ikhtilath (campur-baur lelaki dan wanita yang bukan mahram)
Ini adalah sesuatu yang tidak bisa diingkari adanya, padahal Rasulullah s.a.w. bersabda:
مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً هِيَ أَضَرُّ عَلَى الرِّجَالِ مِنْ النِّسَاءِ
“Tidaklah aku tinggalkan fitnah (godaan) bagi laki-laki yang lebih
berbahaya dari pada wanita.” (HR. Muslim)
8. Tabaruj wanita
Allah berfirman:
“Dan hendaklah kalian (wahai para wanita) tetap tinggal di rumah kalian dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliah yang dahulu.” (al-Ahzab: 33)
Asy-Syaikh Muhammad al-Imam t berkata, “Jika ikhtilath dan tabaruj berkumpul maka yang menyertainya adalah zina.” (Tahdzirus Shalihin minal Ghuluw fi Quburis Shalihin hlm. 46)
9. Seringnya wanita ber"ziarah kubur"
Seorang wanita dibolehkan ber"ziarah kubur", namun tidak boleh sering-sering melakukannya. Alasan yang menunjukkan mereka boleh ber"ziarah kubur" adalah sebagai berikut.
1. Keumuman sabda Rasulullah s.a.w.
2. Mereka juga butuh mengingat akhirat
3. Nabi s.a.w. memberikan rukhsah (keringanan) sebagaimana dalam hadits Aisyah r.a.
4. Nabi s.a.w. membiarkan seorang wanita yang sedang berada di "kuburan"
Adapun dalil yang menunjukkan mereka tidak boleh sering ber"ziarah kubur" adalah sabda Rasulullah s.a.w:
لَعَنَ رَسُولُ اللهِ n زَوَّارَاتِ الْقُبُورِ
“Rasulullah s.a.w. melaknat (dalam lafadz lain: Allah melaknat) wanita yang
sering berziarah "kubur".” (HR. Ahmad)
10. Wanita melakukan safar tanpa mahram
Seorang wanita tidak diperbolehkan melakukan safar sendirian walaupun untuk melaksanakan ibadah. Dari Ibnu Abbas z, Rasulullah s.a.w. bersabda dalam khutbahnya:
لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلَّا وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ وَلَا تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ. فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ امْرَأَتِي خَرَجَتْ حَاجَّةً وَإِنِّي اكْتُتِبْتُ فِي غَزْوَةِ كَذَا وَكَذَا. قَالَ: انْطَلِقْ فَحُجَّ مَعَ امْرَأَتِكَ
“Janganlah seorang lelaki berkhalwat dengan seorang perempuan kecuali
bersama mahramnya, dan janganlah seorang wanita melakukan safar kecuali
bersama mahramnya.” Seorang sahabat berkata, “Wahai Rasulullah,
sesungguhnya istriku hendak pergi menunaikan haji, padahal aku telah
ditulis hendak berangkat perang ini dan itu.” Rasulullah s.a.w. bersabda,
“Berangkatlah haji bersama istrimu.” (Muttafaqun ‘alaih)
11. Meninggalkan shalat (lihat Tahdzir Muslimin)
12. Bertaubat kepada ahli "kubur"
13. Haji ke "kuburan"
14. Meminta izin kepada penghuni "kubur"
Asy-Syaikh Muhammad al-Imam menerangkan, di antara praktik para dai "kubur"i yang mendorong umat mengagungkan "kuburan" adalah mengikat pengikut mereka dengan "kuburan" melalui cara:
1. Bertaubat kepada penghuni "kubur"
2. Haji ke "kuburan"
3. Meminta izin kepada penghuni "kubur" ketika hendak melakukan satu
amalan.
(Tahdzirul Muslimin hlm. 43)
(Tahdzirul Muslimin hlm. 43)
MENGAGUNGKAN "KUBUR" ADALAH MUSLIHAT SETAN.
Ibnul Qayim berkata, “Di antara tipudaya setan yang paling besar adalah memilihkan "kuburan" yang diagungkan manusia dan menjadikannya sebagai sesembahan selain Allah.” (Ighatsatul Lahafan hlm. 279)
Kemungkaran di "kuburan"
Ibnu Taimiyah menerangkan bahwa perbuatan bid’ah di "kuburan" itu bertingkat-tingkat.
Ibnu Taimiyah menerangkan bahwa perbuatan bid’ah di "kuburan" itu bertingkat-tingkat.
1. Yang paling jauh dari syariat adalah meminta
kebutuhan dan perlindungan kepada mayit, sebagaimana dilakukan banyak
orang.
2. Tingkatan kedua adalah meminta kepada Allah melalui penghuni "kubur" (tawasul dengan mayit). Ini sering dilakukan oleh orang-orang belakangan. Amalan tersebut adalah bid’ah menurut kesepakatan kaum muslimin.
3. Tingkatan ketiga adalah sangkaan bahwa berdoa di sisi "kubur" itu mustajab atau lebih afdhal daripada di masjid. Ini juga kemungkaran yang bid’ah menurut kesepakatan muslimin. (Diringkas dari Ighatsatul Lahafan hlm. 287)
Sebab Terjadinya Penyembahan "kubur"
Jika ditanyakan: Apa yang menyebabkan para penyembah "kubur" terjatuh
dalam perbuatan mereka, padahal mereka tahu bahwa penghuninya adalah
orang mati?
Jawabannya ada beberapa hal.
1. Mereka tidak mengetahui hakikat syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad s.a.w. dan seluruh rasul.
2. Hadits-hadits palsu yang diatas namakan Rasulullah s.a.w., seperti hadits, “Barang siapa yang tertimpa kesulitan hendaknya dia meminta kepada penghuni "kubur".”
3. Cerita dan kisah dusta yang dipromosikan untuk menarik orang datang ke "kuburan" tertentu. Misalnya, ada seseorang beristighatsah kepada "kubur" tertentu ketika tertimpa kesusahan, lalu dia pun mendapat jalan keluar. Demikian pula cerita-cerita dusta lainnya. (Lihat Ighatsatul Lahafan karya Ibnul Qayim)
Jawabannya ada beberapa hal.
1. Mereka tidak mengetahui hakikat syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad s.a.w. dan seluruh rasul.
2. Hadits-hadits palsu yang diatas namakan Rasulullah s.a.w., seperti hadits, “Barang siapa yang tertimpa kesulitan hendaknya dia meminta kepada penghuni "kubur".”
3. Cerita dan kisah dusta yang dipromosikan untuk menarik orang datang ke "kuburan" tertentu. Misalnya, ada seseorang beristighatsah kepada "kubur" tertentu ketika tertimpa kesusahan, lalu dia pun mendapat jalan keluar. Demikian pula cerita-cerita dusta lainnya. (Lihat Ighatsatul Lahafan karya Ibnul Qayim)
Hati-hati dari Tipu Muslihat Penyeru Peribadatan kepada "kuburan"
Di antara sebab terjadinya penyimpangan dalam "ziarah kubur" adalah ajaran yang didapatkan oleh sebagian orang dari para dai yang mengajak mengagungkan "kuburan".
Di antara sebab terjadinya penyimpangan dalam "ziarah kubur" adalah ajaran yang didapatkan oleh sebagian orang dari para dai yang mengajak mengagungkan "kuburan".
Secara global penyeru kepada kesesatan dalam masalah "kubur" ada dua, dari kalangan jin dan dari kalangan manusia. Yang dari kalangan manusia ada dua kelompok:
1. Kelompok dari dalam umat Islam
• Tukang sihir
• Dukun
• Ahli nujum
• Ahlul bid’ah dari kalangan kuburiyun
2. Kelompok dari luar umat, yaitu orang-orang kafir Yahudi, Majusi, Nasrani, Hindu, dan lainnya.
(Diringkas dari Tahdzirul Muslimin hlm. 20—22)
Dengan Apa Kita Melawan Kesyirikan?
Bahaya syirik yang terus mengancam mengharuskan kita menjaga diri dan melakukan perlawanan terhadap kesyirikan. Lantas, apa yang harus dilakukan?
Bahaya syirik yang terus mengancam mengharuskan kita menjaga diri dan melakukan perlawanan terhadap kesyirikan. Lantas, apa yang harus dilakukan?
Asy-Syaikh Muhammad al-Imam menerangkan, “Yang paling wajib dilakukan oleh seorang muslim dan muslimah adalah menjauhkan diri dari kesyirikan dan faktor pendorong kepada kesyirikan. Hal ini tidak akan tercapai melainkan dengan menempuh beberapa hal berikut: mempelajari tauhid, menjauhi syirik, mengenal dai tauhid, membaca kitab-kitab yang bermanfaat (Diringkas dari Tahdzirul Muslimin hlm. 72—73)
Semoga Allah memberikan kekuatan dan hidayah kepada kita dalam menjauhkan diri dan memerangi berbagai kesyirikan serta kemaksiatan. Amin.
Sumber:
1. warkoplalar.blogspot.com/.../diperbolehkannya-sarkub-dan-thoriqohan.html
2. ikappiibadurrahman.blogspot.com/.../dalil-ziarah-kubur-nabi-muhammad- saw.html
3. asysyariah.com/ziarah-kubur-antara-tauhid-dan-syirik.html