Sabtu, 09 November 2013

"MEMELIHARA LIDAH"

"Sesuatu Yang lebih tajam dari pada pedang adalah "lidah"

"Lidah" adalah antara nikmat besar yang dikurniakan oleh Allah tanpa batas. Hanya dengan "Lidah" kita mampu berbicara, mengucapkan janji, membaca Al-quran, merasai nikmat makan dan sebagainya. Oleh karena itu, "lidah" yang di"pelihara" dengan baik boleh menjadi sebab mendapat ridha Allah dan dengan "lidah" juga kita mungkin mendapat murka dari Allah S.W.T karena setiap ucapan yang keluar darinya akan dicatat dan mendapat pahala atau dosa.
Pedang mungkin harus menusuk jantung dulu baru terasa menyakitkan, namun "lidah", jika sudah bersuara dengan getaran yang penuh emosi tinggi, belum menyentuh saja akan terasa didalam Jiwa.entah itu baik atau buruk

"Lidah" memiliki dua sisi yang berbeda, dan
"lidah" adalah salah satu bagian tubuh yang sering sekali tidak sejajar dengan hati.

Apabila
"lidah" tak sebanding dengan hati, maka timbul sifat dusta, bohong dan lainnya . Sebaliknya bila "lidah" berucap kebenaran maka ungkapannya jujur..

Bersyukur bagi seseorang yang memiliki
"lidah" sehat, karena ucapan yang ada Sebagai bentuk rasa syukur, karena digunakan untuk mengucap hal baik dan membuat nyaman orang lain untuk didengar dan tidak menyakitkan.

Lebih elok lagi bila
"lidah" dipergunakan untuk selalu menyebutkan Asma-Nya..
"Lidah" adalah anggota badan yang benar-benar perlu dijaga dan dikendalikan. Sesungguhnya "lidah" adalah penerjemah hati dan pengungkap isi hati. Oleh karena itulah, setelah Nabi SAW. memerintahkan istiqamah, beliau mewasiatkan untuk menjaga lisan. Dan lurusnya "lidah" itu berkaitan dengan kelurusan hati dan keimanan seseorang. Di dalam Musnad Imam Ahmad dari Anas bin Malik , dari Nabi SAW., beliau bersabda,


لَا يَسْتَقِيمُ إِيمَانُ عَبْدٍ حَتَّى يَسْتَقِيمَ قَلْبُهُ وَلَا يَسْتَقِيمُ قَلْبُهُ حَتَّى يَسْتَقِيمَ لِسَانُهُ وَلَا يَدْخُلُ رَجُلٌ الْجَنَّةَ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ


Iman seorang hamba tidak akan istiqamah, sehingga hatinya istiqamah. Dan hati seorang hamba tidak akan istiqamah, sehingga lisannya istiqamah. Dan orang yang tetangganya tidak aman dari kejahatan-kejahatannya, tidak akan masuk surga. (H.R. Ahmad, no. 12636, dihasankan oleh Syaikh Salim Al-Hilali di dalam Bahjatun Nazhirin, 3/13).


Dan di dalam Tirmidzi (no. 2407) dari Abu Sa’id Al-Khudri, Nabi SAW. bersabda,


إِذَا أَصْبَحَ ابْنُ آدَمَ فَإِنَّ الْأَعْضَاءَ كُلَّهَا تُكَفِّرُ اللِّسَانَ فَتَقُولُ اتَّقِ اللَّهَ فِينَا فَإِنَّمَا نَحْنُ بِكَ فَإِنْ اسْتَقَمْتَ اسْتَقَمْنَا وَإِنْ اعْوَجَجْتَ اعْوَجَجْنَا


Jika anak Adam memasuki pagi hari sesungguhnya semua anggota badannya berkata merendah kepada lesan, “Takwalah kepada Allah di dalam menjaga hak-hak kami, sesungguhnya kami ini tergantung kepadamu. Jika engkau istiqaomah, maka kami juga istiqamah, jika engkau menyimpang (dari jalan petunjuk), kami juga menyimpang. (H.R. Tirmidzi, no. 2407; dihasankan oleh Syaikh Salim Al-Hilali di dalam Bahjatun Nazhirin, 3/17, no. 1521) (Jami’ul ‘Uluum wal Hikam, 1/511-512)


Oleh karena itulah, sepantasnya seorang mukmin "memelihara lidah"nya. Tahukah Anda jaminan bagi orang yang "memelihara lidah"nya dengan baik? Nabi Muhammad SAW. bersabda,


مَنْ يَضْمَنْ لِي مَا بَيْنَ لَحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ


Siapa yang menjamin untukku apa yang ada di antara dua rahangnya dan apa yang ada di antara dua kakinya, niscaya aku menjamin surga baginya. (H.R. Bukhari, no. 6474; Tirmidzi, no. 2408; lafazh bagi Bukhari).


Beliau juga menjelaskan, bahwa "memelihara lidah" merupakan keselamatan.


عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا النَّجَاةُ قَالَ أَمْلِكْ عَلَيْكَ لِسَانَكَ وَلْيَسَعْكَ بَيْتُكَ وَابْكِ عَلَى خَطِيئَتِكَ


Dari ‘Uqbah bin ‘Aamir, dia berkata, “Aku bertanya, wahai Rasulallah, apakah sebab keselamatan?” Beliau menjawab, “Kuasailah "lidah"mu, hendaklah rumahmu luas bagimu, dan tangisilah kesalahanmu”. (H.R. Tirmidzi, no.2406)

Yaitu janganlah engkau berbicara kecuali dengan perkara yang membawa kebaikanmu, betahlah tinggal di dalam rumah dengan melakukan ketaatan-ketaatan, dan hendaklah engkau menyesali kesalahanmu dengan cara menangis. (Lihat Tuhfatul Ahwadzi Syarh Sunan Tirmidzi).



Imam An-Nawawi rahimahullah (wafat 676 H) berkata, “Ketahuilah, sepantasnya bagi setiap mukallaf (orang yang berakal dan baligh) menjaga "lidah"nya dari seluruh perkataan, kecuali perkataan yang jelas mashlahat padanya. Ketika berbicara atau meninggalkannya itu sama mashlahat-nya, maka menurut Sunnah adalah menahan diri darinya. Karena perkataan mubah bisa menyeret kepada perkataan yang haram atau makruh. Bahkan, ini banyak atau dominan pada kebiasaan. Sedangkan keselamatan itu tiada bandingannya. Telah diriwayatkan kepada kami di dalam dua Shahih, Al-Bukhari (no. 6475) dan Muslim (no. 47), dari Abu Hurairah ra., dari Nabi SAW., beliau bersabda,


مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ


“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berkata yang baik atau diam.”


Aku katakan: hadits yang disepakati shahihnya ini merupakan nash yang jelas bahwa sepantasnya seseorang tidak berbicara, kecuali jika perkataan itu merupakan kebaikan, yaitu yang nampak mashlahat-nya. Jika dia ragu-ragu tentang timbulnya mashlahat, maka dia tidak berbicara.


Dan Imam Asy-Syafi’i telah berkata, ‘Jika seseorang menghendaki berbicara, maka sebelum dia berbicara hendaklah berpikir, jika nampak jelas mashlahat-nya dia berbicara, dan jika dia ragu-ragu, maka dia tidak berbicara sampai jelas mashlahat-nya.’” [Al-Adzkaar, 2/713-714, karya Imam An-Nawawi, tahqiiq dan takhriij Syaikh Salim Al-Hilaali, penerbit Dar Ibni Hazm, cet. 2, th. 1425 H / 2004 M].


Selain itu, bahwa "lidah" merupakan alat yang mengungkapkan isi hati. Jika Anda ingin mengetahui isi hati seseorang, maka perhatikanlah gerakan "lidah"nya, isi pembicaraannya, hal itu akan memberitahukan isi hatinya, baik orang tersebut mau atau enggan.


Diriwayatkan bahwa Yahya bin Mu’adz berkata, “Hati itu seperti periuk yang mendidih dengan isinya, sedangkan "lidah" itu adalah gayungnya. Maka, perhatikanlah seseorang ketika berbicara, karena sesungguhnya"lidah" nya itu akan mengambilkan untukmu apa yang ada di dalam hatinya, manis, pahit, tawar, asin, dan lainnya. Pengambilan "lidah"nya akan menjelaskan kepadamu rasa hatinya.” [Hilyatul Au'iyaa', 10/63, dinukil dari Aafaatul Lisaan fii Dhauil Kitab was Sunnah, hlm, 159, karya Dr. Sa'id bin 'Ali bin Wahf Al-Qahthani]
  

PERKATAAN PARA SALAF TENTANG HIFZHUL LISAN.



Sesungguhnya, para Salaf dahulu biasa menjaga dan menghisab "lidah"nya dengan baik. Dan diriwayatkan dari mereka perkataan-perkataan yang bagus berkaitan dengan "lidah" dan pembicaraan. Kami sampaikan disini sebagiannya agar kita dapat memetik manfaat darinya.


Diriwayatkan, bahwa ‘Umar bin Al-Khaththab berkata, “Barangsiapa banyak pembicaraannya, banyak pula tergelincirnya. Dan barangsiapa banyak tergelincirnya, banyak pula dosanya. Dan barangsiapa banyak dosa-dosanya, neraka lebih pantas baginya.” [Riwayat Al-Qudhai di dalam Musnad Asy-Syihab, no. 374; Ibnu Hibban di dalam Raudhatul 'Uqala', hlm. 44. Dinukil dari Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, juz 1, hlm. 339, karya Imam Ibnu Rajab, dengan penelitian Syu’aib Al-Arnauth dan Ibrahim Bajis; penerbit Ar-Risalah; cet: 5; th: 1414 H/ 1994 M]


Diriwayatkan, bahwa Ibnu Mas’ud pernah bersumpah dengan nama Allah, lalu mengatakan, “Di muka bumi ini, tidak ada sesuatu yang lebih pantas menerima lamanya penjara daripada "lidah"!” [Riwayat Ibnu Hibban di dalam Raudhatul 'Uqala', hlm. 48. Dinukil dari Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, juz 1, hlm. 340]


Diriwayatkan, bahwa Ibnu Mas’ud berkata, “Jauhilah fudhuulul kalam (pembicaraan yang melebihi keperluan). Cukup bagi seseorang berbicara, menyampaikan sesuai kebutuhannya.” [Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, juz. 1, hlm. 339]


Syaqiq mengatakan, “‘Abdullah bin Mas’ud ber-talbiyah di atas bukit Shofa, kemudian mengatakan, ‘Wahai "lidah", katakanlah kebaikan niscaya engkau mendapatkan keberuntungan, diamlah niscaya engkau selamat, sebelum engkau menyesal.’ Orang-orang bertanya, ‘Wahai Abu ‘Abdurrahman, ini adalah suatu perkataan yang engkau ucapkan sendiri, atau engkau dengar?’ Dia menjawab, ‘Tidak, bahkan aku telah mendengar Rasulullah SAW. bersabda,


أَكْثَرُ خَطَايَا إِبْنِ آدَمَ فِي لِسَانِهِ


Mayoritas kesalahan anak Adam adalah pada "lidah"nya.‘” (HR. Thabarani, Ibnu ‘Asakir, dan lainnya. Lihat Silsilah Ash-Shahihah, no. 534).


Diriwayatkan, bahwa Ibnu Buraidah mengatakan, “Aku melihat Ibnu ‘Abbas memegangi "lidah"nya sambil berkata ‘Celaka engkau, katakanlah kebaikan, engkau mendapatkan keberuntungan. Diamlah dari keburukan, niscaya engkau selamat. Jika tidak, ketahuilah bahwa engaku akan menyesal.’” [Aafatul Lisaan, hlm. 161]



Diriwayatkan, bahwa An-Nakhai berkata, “Manusia binasa pada fudhuulul maal (harta yang melebihi kebutuhan) dan fudhuulul kalam.” [Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, juz 1, hlm. 339]


Diriwayatkan, bahwa ada seseorang yang bermimpi bertemu dengan seorang alim besar. Kemudian orang alim itu ditanya tentang keadaannya, dia menjawab, “Aku diperiksa tentang satu kalimat yang dahulu aku ucapkan. Yaitu aku dahulu pernah mengatakan, ‘Manusia sangat membutuhkan hujan!’ Aku ditanya, ‘Tahukah engkau, bahwa Aku (Allah) lebih mengetahui terhadap mashlahat hamba-hamba-Ku?” [Aafatul Lisaan, hlm. 160-161]


Diriwayatkan, bahwa seorang Salaf mengatakan, “Seorang mukmin itu menyedikitkan omongan dan memperbanyak amalan. Adapun orang munafik, dia memperbanyak omongan dan menyedikitkan amalan.”


Diriwayatkan, bahwa seorang Salaf mengatakan, “Selama aku belum berbicara dengan satu kalimat, maka aku menguasainya. Namun jika aku telah mengucapkannya, maka kalimat itu menguasaiku.”


Diriwayatkan, bahwa seorang Salaf mengatakan, “Diam adalah ibadah tanpa kelelahan, keindahan tanpa perhiasan, kewibawaan tanpa kekuasaan, Anda tidak perlu beralasan karenanya, dan dengannya aibmu tertutupi.” [Lihat Hashaaidul Alsun, hlm. 175-176]


Kesimpulannya adalah bahwa kita diperintahkan berbicara yang baik, dan diam dari keburukan. Jika berbicara hendaklah sesuai dengan keperluannya. Wallahul Musta’an.

BAHAYA LIDAH


Diantara bahaya "lidah" yang sukar dikawal manusia ialah : 
1.       Al-Ghibah (الغيبة) : Mengumpat iaitu menyebut tentang seseorang apa yang tidak disukainya tanpa diketahui.
2.       Al-Naminah (النميمة) : Mengadu domba iaitu memburukkan sebelah pihak di hadapan sebelah pihak lain bertujuan membangkitkan perasaan benci satu sama lain.
3.       Memfitnah iaitu mereka cerita yang tidak benar tentang seseorang bertujuan memburukkannya
4.       Memuji diri
5.       Berdebat hal yang tidak menguntungkan islam seperti memperdebatkan perkara-perkara sunat atau harus.
6.       Mengutuk/mempersenda/ menggelar dengan tujuan bergurau atau menyakitkan hati seseorang.

Hukum jenayah-jenayah "lidah" ini adalah haram dengan kesepakatan semua para ulama disebabkan banyak dan jelasnya dalil-dalil dari Al-Qur'an dan Al-Hadits yang mengharamkannya antaranya :
×@÷ƒur Èe@à6Ïj9 ;ot“yJèd >ot“yJ—9 ÇÊÈ [الهمزة:1]
Celakalah (pergi mati) bagi tiap-tiap pencaci, pengeji.

Telah diceritakan bahwa suatu hari seorang lelaki datang kepada Rasulullah SAW. seraya berkata, "Ya Rasulullah! Sungguh si fulanah itu terkenal banyak sembahyang, puasa, dan sedekahnya. Akan tetapi juga terkenal jahat "lidah"nya terhadap tetangga-tetangganya. ". Maka berkatalah Rasulullah SAW kepadanya, "Sungguh ia termasuk ahli neraka".
Kemudian lelaki itu berkata lagi, "Kalau si fulanah yang satu lagi terkenal sedikit sembahyang, puasa dan sedekahnya, akan tetapi ia tidak pernah menyakiti tetangganya." Maka Rasulullah SAW. berkata, " Sungguh ia termasuk ahli surga . " [HR. Muslim]

Walaupun seseorang itu ahli ibadah, banyak solat, puasa, tetapi apabila tidak mampu menjaga "lidah"nya dari memfitnah, berbohong dan hasad, amalannya tersebut hanya sia-sia.

KEUTAMAAN DIAM


Tidak ada cara yang lebih baik untuk "memelihara lidah" melainkan dengan diam. Nabi S.A.W bersabda :
من صمت نجا [رواه الترمذي]

"Barangsiapa yang diam, niscaya ia terlepas (dari bahaya)". [HR. At-Tirmizi]

من كان يؤمن بالله واليوم الأخر فليقل خيرا أو ليسكت [رواه البخاري ومسلم]
"Barangsiapa beriman dengan Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia berkata yang baik atau ia diam".

Imam Syafie menjelaskan bahawa maksud hadis diatas adalah apabila seseorang ingin berkata sesuatu hendaklah dia berfikir terlebih dahulu. Jika dirasakan ucapannya tidak akan membawa mudharat, maka berbicaralah. Tetapi, jika dia merasa ucapannya akan membawa mudharat atau ragu-ragu apakah ia akan membawa mudharat atau tidak, maka hendaklah dia tidak berbicara”.


Mungkin ada orang yang mampu "memelihara" diri dari minum arak, tapi bagaimana dengan "memelihara lidah"? Ucapan yang kita keluarkan tanpa peduli bakal menyakiti hati insan lain, berjanji tanpa tunai, mengkeji dalam marah tanpa sadar, menghukum tanpa nilai adalah antara perkara dosa yang akan dilakukan oleh "lidah" setiap waktu jika tidak dikawal dengan Iman. Oleh itu, bersama kita lafazkan Astaghfirullah al-‘aziim dan sentiasa bertaubat dan berdoa agar kita tidak tergolong dalam kalangan hamba yang dimurkai Allah hanya karena "lidah".

Ingatlah pada Hadis Rasulullah S.A.W yang memberi peringatan kepada kita :
إن العبد ليتكلم بالكلمة، ينزل بها في النار، أبعد ما بين المشرق والمغرب [رواه البخاري]
 
Sesungguhnya seorang hamba yang mengucapkan suatu perkataan yang tidak difikirkan apa kesannya akan membuatnya terjerumus ke dalam neraka yang dalamnya lebih jauh dari jarak timur dengan barat”.
Wallahua’lam Bishshowab… 
Sumber:
1. www.radioassunnah.com/menjaga-lidah-merupakan-k...
2. ilhamdarweesh.blogspot.com/.../memelihara-lidah.htm...
3. laely.widjajati.photos.facebook/Add-a-description.....
4. sugengfitriyono.blogspot.com/Sugeng-Fitriyono's-Site....
5. nizaringinbelajar.blogspot.com/Menjaga-Lisan-Ag....
6. intihidupwoedpress.com/Keselamatan-Manusia-Itu-Ada-Dalam....

0 komentar:


MusicPlaylistView Profile