Minggu, 18 November 2012

"MASALAH REMAJA DI SEKOLAH"

"Remaja" yang masih "sekolah" di SLTP/ SLTA selalu mendapat banyak hambatan atau "masalah" yang biasanya muncul dalam bentuk perilaku".

Di "sekolah" merupakan sebagian besar waktu keberadaan "remaja". Kesulitan dalam hampir semua "masalah" hidup seringkali dimanifestasikan sebagai "masalah"-"masalah" "sekolah". "Masalah"-"masalah" "sekolah" selama tahun-tahun "remaja" kemungkinan hasil dari pemberontakan dan suatu keinginan untuk bebas. Sangat jarang, disebabkan gangguan kesehatan jiwa, seperti kegelisahan atau depresi. Penggunaan zat-zat, kekerasan dan konflik keluarga juga menjadi penyebab umum "masalah"-"masalah" "sekolah". Kadangkala, penempatan akademis yang tidak sesuai-terutama sekali pada "remaja" yang mengalami ketidakmampuan belajar atau keterlambatan mental ringan yang tidak segera diketahui di dalam hidup-menyebabkan "masalah"-"masalah" "sekolah". Umumnya, remaja dengan "masalah"-"masalah" "sekolah" yang signifikan harus menjalani tes pengetahuan dan evaluasi kesehatan mental. "Masalah"-"masalah" yang khusus diobati bila diperlukan, dan dukungan umum dan dorongan dilakukan. "Masalah"-"masalah" yang mulai terjadi di lingkungan anak-anak, seperti kurang perhatian/gangguan hiperaktif (ADHD) dan gangguan belajar, bisa berlanjut untuk menyebabkan "masalah"-"masalah" "sekolah" pada "remaja". Berikut ada lima daftar "masalah" yang selalu dihadapi para "remaja" di "sekolah".
 

1. Perilaku Ber"masalah" (problem behavior). "Masalah" perilaku yang dialami "remaja" di "sekolah" dapat dikatakan masih dalam kategori wajar jika tidak merugikan dirinya sendiri dan orang lain. Dampak perilaku ber"masalah" yang dilakukan "remaja" akan menghambat dirinya dalam proses sosialisasinya dengan "remaja" lain, dengan guru, dan dengan masyarakat. Perilaku malu dalam mengikuti berbagai aktvitas yang digelar "sekolah" misalnya, termasuk dalam kategori perilaku ber"masalah" yang menyebabkan seorang "remaja" mengalami kekurangan pengalaman. Jadi problem behaviour akan merugikan secara tidak langsung pada seorang "remaja" di "sekolah" akibat perilakunya sendiri.

2. Perilaku menyimpang (behaviour disorder). Perilaku menyimpang pada "remaja" merupakan perilaku yang kacau yang menyebabkan seorang "remaja" kelihatan gugup (nervous) dan perilakunya tidak terkontrol (uncontrol). Memang diakui bahwa tidak semua "remaja" mengalami behaviour disorder. Seorang "remaja" mengalami hal ini jika ia tidak tenang, unhappiness dan menyebabkan hilangnya konsentrasi diri. Perilaku menyimpang pada "remaja" akan mengakibatkan munculnya tindakan tidak terkontrol yang mengarah pada tindakan kejahatan. Penyebab behaviour disorder lebih banyak karena persoalan psikologis yang selalu menghantui dirinya.

3. Penyesuaian diri yang salah (behaviour maladjustment). Perilaku yang tidak sesuai yang dilakukan "remaja" biasanya didorong oleh keinginan mencari jalan pintas dalam menyelesaikan sesuatu tanpa mendefinisikan secara cermat akibatnya. Perilaku menyontek, bolos, dan melangar peraturan "sekolah" merupakan contoh penyesuaian diri yang salah pada "remaja" di "sekolah" menegah (SLTP/SLTA).

4. Perilaku tidak dapat membedakan benar-salah (conduct disorder). Kecenderungan pada sebagian "remaja" adalah tidak mampu membedakan antara perilaku benar dan salah. Wujud dari conduct disorder adalah munculnya cara pikir dan perilaku yang kacau dan sering menyimpang dari aturan yang berlaku di "sekolah". Penyebabnya, karena sejak kecil orangtua tidak bisa membedakan perilaku yang benar dan salah pada anak. Wajarnya, orang tua harus mampu memberikan hukuman (punisment) pada anak saat ia memunculkan perilaku yang salah dan memberikan pujian atau hadiah (reward) saat anak memunculkan perilaku yang baik atau benar. Seorang "remaja" di "sekolah" dikategorikan dalam conduct disorder apabila ia memunculkan perikau anti sosial baik secara verbal maupun secara non verbal seperti melawan aturan, tidak sopan terhadap guru, dan mempermainkan temannya . Selain itu, conduct disordser juga dikategorikan pada "remaja" yang berperilaku oppositional deviant disorder yaitu perilaku oposisi yang ditunjukkan "remaja" yang menjurus ke unsur permusuhan yang akan merugikan orang lain.

5. Attention Deficit Hyperactivity disorder, yaitu anak yang mengalami defisiensi dalam perhatian dan tidak dapat menerima impul-impuls sehingga gerakan-gerakannya tidak dapat terkontrol dan menjadi hyperactif. "Remaja" di "sekolah" yang hyperactif biasanya mengalami kesulitan dalam memusatkan perhatian sehingga tidak dapat menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan kepadanya atau tidak dapat berhasil dalam menyelesaikan tugasnya. Jika diajak berbicara, "remaja" yang hyperactif tersebut tidak memperhatikan lawan bicaranya. Selain itu, anak hyperactif sangat mudah terpengaruh oleh stimulus yang datang dari luar serta mengalami kesulitan dalam bermain bersama dengan temannya.

Peranan Lembaga Pendidikan Untuk tidak segera mengadili dan menuduh "remaja" sebagai sumber segala "masalah" dalam kehidupan di masyarakat, barangkali baik kalau setiap lembaga pendidikan (keluarga, "sekolah", dan masyarakat) mencoba merefleksikan peranan masing-masing.

PERTAMA, Lembaga keluarga adalah lembaga pendidikan yang utama dan pertama. Kehidupan keluarga yang kering, terpecah-pecah (broken home), dan tidak harmonis akan menyebabkan anak tidak kerasan tinggal di rumah. Anak tidak merasa aman dan tidak mengalami perkembangan emosional yang seimbang. Akibatnya, anak mencari bentuk ketentraman di luar keluarga, misalnya gabung dalam group gang, kelompok preman dan lain-lain. Banyak keluarga yang tidak mau tahu dengan perkembangan anak-anaknya dan menyerahkan seluruh proses pendidikan anak kepada "sekolah". Kiranya keliru jika ada pendapat yang mengatakan bahwa tercukupnya kebutuhan-kebutuhan materiil menjadi jaminan berlangsungnya perkembangan kepribadian yang optimal bagi para "remaja".

KEDUA, Bagaimana pembinaan moral dalam lembaga keluarga, "sekolah", dan masyarakat. Kontras tajam antara ajaran dan teladan nyata dari orang tua, guru di "sekolah", dan tokoh-tokoh panutan di masyarakat akan memberikan pengaruh yang besar kepada sikap, perilaku, dan moralitas para "remaja". Kurang adanya pembinaan moral yang nyata dan pudarnya keteladanan para orangtua ataupun pendidik di "sekolah" menjadi faktor kunci dalam proses perkembangan kepribadian "remaja". Secara psikologis, kehidupan "remaja" adalah kehidupan mencari idola. Mereka mendambakan sosok orang yang dapat dijadikan panutan. Segi pembinaan moral menjadi terlupakan pada saat orang tua ataupun pendidik hanya memperhatikan segi intelektual. Pendidikan di "sekolah" terkadang terjerumus pada formalitas pemenuhan kurikulum pendidikan, mengejar bahan ajaran, sehingga melupakan segi pembinaan kepribadian penanaman nilai-nilai pendidikan moral dan pembentukan sikap.

KETIGA, Bagaimana kehidupan sosial ekonomi keluarga dan masyarakat apakah mendukung optimalisasi perkembangan "remaja" atau tidak. Saat ini, banyak anak-anak di kota-kota besar seperti Jakarta sudah merasakan kemewahan yang berlebihan. Segala keinginannya dapat dipenuhi oleh orangtuanya. Kondisi semacam ini sering melupakan unsur-unsur yang berkaitan dengan kedewasaan anak. Pemenuhan kebutuhan materiil selalu tidak disesuaikan dengan kondisi dan usia perkembangan anak. Akibatnya, anak cenderung menjadi sok malas, sombong, dan suka meremehkan orang lain.

Keempat, Bagaimana lembaga pendidikan di sekolah dalam memberikan bobot yang proposional antara perkembangan kognisi, afeksi, dan psikomotor anak. Akhir-akhir ini banyak dirasakan beban tuntutan sekolah yang terlampau berat kepada para peserta didik. Siswa tidak hanya belajar di sekolah, tetapi juga dipaksa oleh orangtua untuk mengikuti kegiatan ekstrakurikuler di sekolah dan mengikuti les tambahan di luar sekolah. Faktor kelelahan, kemampuan fisik dan kemampuan inteligensi yang terbatas pada seorang anak sering tidak diperhitungkan oleh orangtua. Akibatnya, anak-anak menjadi kecapaian dan over acting, dan mengalami pelampiasan kegembiraan yang berlebihan pada saat mereka selesai menghadapi suasana yang menegangkan dan menekan dalam kehidupan di sekolah.

KELIMA, Bagaimana pengaruh tayangan media massa baik media cetak maupun elektronik yang acapkali menonjolkan unsur kekerasan dan diwarnai oleh berbagai kebrutalan. Pengaruh-pengaruh tersebut maka munculah kelompok-kelompok "remaja", gang-gang yang berpakaian serem dan bertingkah laku menakutkan yang hampir pasti membuat masyarakat prihatin dan ngeri terhadap tindakan-tindakan mereka. Para "remaja" tidak dipersatukan oleh suatu identitas yang ideal. Mereka hanya himpunan anak-anak remaja atau pemuda-pemudi, yang malahan memperjuangkan sesuatu yang tidak berharga (hura-hura), kelompok yang hanya mengisi kekosongan emosional tanpa tujuan jelas.

SOLUSI.

Siswa-siswi SLTP/SLTA adalah siswa-siswi yang berada dalam golongan usia "remaja", usia mencari identitas dan eksistensi diri dalam kehidupan di masyarakat. Dalam proses pencarian identitas itu, peran aktif dari ketiga lembaga pendidikan akan banyak membantu melancarkan pencapaian kepribadian yang dewasa bagi para "remaja". Ada beberapa hal kunci yang bisa dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan.

PERTAMA, memberikan kesempatan untuk mengadakan dialog untuk menyiapkan jalan bagi tindakan bersama. Sikap mau berdialog antara orangtua, pendidik di "sekolah", dan masyarakat dengan "remaja" pada umumnya adalah kesempatan yang diinginkan para "remaja". Dalam hati sanubari para "remaja" tersimpan kebutuhan akan nasihat, pengalaman, dan kekuatan atau dorongan dari orang tua. Tetapi sering kerinduan itu menjadi macet bila melihat realitas mereka dalam keluarga, di "sekolah" ataupun dalam lingkungan masyarakat yang tidak memungkinkan karena antara lain begitu otoriter dan begitu bersikap monologis. Menyadari kekurangan ini, lembaga-lembaga pendidikan perlu membuka kesempatan untuk mengadakan dialog dengan para "remaja", kaum muda dan anak-anak, entah dalam lingkungan keluarga, "sekolah" maupun masyarakat.

KEDUA, menjalin pergaulan yang tulus. Dewasa ini jumlah orang tua yang bertindak otoriter terhadap anak-anak mereka sudah jauh berkurang. Namun muncul kecenderungan yang sebaliknya, yaitu sikap memanjakan anak secara berlebihan. Banyak orang tua yang tidak berani mengatakan tidak terhadap anak-anak mereka supaya tidak dicap sebagai orangtua yang tidak mempercayai anak-anaknya, untuk tidak dianggap sebagai orangtua kolot, konservatif dan ketinggalan jaman.

KETIGA, memberikan pendampingan, perhatian dan cinta sejati. Ada begitu banyak orangtua yang mengira bahwa mereka telah mencintai anak-anaknya. Sayang sekali bahwa egoisme mereka sendiri menghalang-halangi kemampuan mereka untuk mencintai anak secara sempurna. “Saya telah memberikan segala-galanya”, itulah keluhan seorang ibu yang merasa kecewa karena anak-anaknya yang ugal-ugalan di "sekolah" dan di masyarakat. Anak saya anak yang tidak tahu berterima kasih, katanya. Yang perlu dipahami bahwa setiap individu memerlukan rasa aman dan merasakan dirinya dicintai. Sejak lahir satu kebutuhan pokok yang yang pertama-tama dirasakan manusia adalah kebutuhan akan “kasih sayang” yang dalam masa perkembangan selanjutnya di usia remaja, kasih sayang, rasa aman, dan perasaan dicintai sangat dibutuhkan oleh para "remaja". Dengan usaha-usaha dan perlakuan-perlakuan yang memberikan perhatian, cinta yang tulus, dan sikap mau berdialog, maka para "remaja" akan mendapatkan rasa aman, serta memiliki keberanian untuk terbuka dalam mengungkapkan pendapatnya. Lewat kondisi dan suasana hidup dalam keluarga, lingkungan "sekolah", ataupun lingkungan masyarakat seperti di atas itulah para "remaja" akan merasa terdampingi dan mengalami perkembangan kepribadian yang optimal dan tidak terkungkung dalam perasaan dan tekanan-tekanan batin yang mencekam. Dengan begitu gaya hidup yang mereka tampilkan benar-benar merupakan proses untuk menemukan identitas diri mereka sendiri yang sebenarnya.

Nasib bangsa ke depan berada di pundak generasi "remaja" saat ini. Masa depan bangsa ini adalah siapa "remaja" dan pemuda saat ini. Tugas para orangtua dan guru adalah mendidiknya dengan penuh kasih sayang dan cinta. Orangtua dan guru, masing-masing harus berusaha seikhlas mungkin dalam mendidik. Juga diharapkan semakin banyak mendoakan anak-anak mereka, meski mereka tidak lahir dari kita. Hanya kepada Allah, Dzat penggenggam ruh semua manusia, Dzat yang Maha Menggerakkan ruhani manusia. Dzat yang banyak tahu jiwa manusia. Dan…..hanya kepada Allah kita banyak berharap, semoga memberi pengetahuan yang bermanfaat, memberi pengetahuan yang membuat para pelajar semakin dekat kepada Yang Maha Pinter.     

Sumber:
1. komunitassosial-hsr.wetpaint.com/.../Permasalahan+siswa+di+sekolah
2. blog.umy.ac.id/suyantoalhikmah/.../permasalahan-remaja-di-sekolah/
3. yudykartolo.wordpress.com/.../masalah-dan-solusi-remaja-disekolah/
4. memeichan.blogspot.com/2010/05/masalah-remaja-di-sekolah.html
5. adityariski.blogspot.com