Minggu, 12 Juni 2011

"KONSEPSI NELAYAN DAN KEMISKINAN"

"Nelayan" adalah orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam penangkapan ikan/binatang air lainnya/tanaman air."

Dari status penguasaan kapital, "Nelayan" dapat dibagi menjadi "Nelayan" tradisional dan "Nelayan" buruh. "Nelayan" tradisional secara umum merupakan kelompok sosial yang paling terpuruk kesejahteraannya, sementara kondisi ini sangat dekat dengan tekanan ekonomi, pendapatan yang tidak menentu sehingga menyebabkan rendahnya perolehan rumah tangga dari aktivitas sebagai "Nelayan". Hal ini dapat disebabkan oleh faktor-faktor baik positif maupun negatif.

Faktor-faktor yang paling mendasar sebagai indikator dari "kemiskinan" "Nelayan", adalah:

a. Keterbatasan modal untuk mengembangkan usaha.
Hal ini disebabkanoleh tanggung keluarga yang tinggi. Selain biaya kehidupan "Nelayan" yang banyak, hal ini diperburuk lagi dengan jumlah anak yang mereka miliki. Selain itu sumber pendapatan diperoleh dari satu orang. Keadaan ini dimungkinkan oleh usia anak yang relatif masih kecil ataupun tidak adanya keinginan dari anggota keluarga lainnya menjadi "Nelayan". Keterbatasan modal dalam mengembangkan usahanya disebabkan tidak dimilikinya akses ke pelayanan kredit. Selain kurangnya informasi mengenai pengajuan kredit juga disebabkan ketidakmampuan "Nelayan" dalam memenuhi persyaratan dan ketentuan yang diajukan oleh pihak pemberi kredit.

b. Tingkat pendidikan rendah.
Tingkat pendidikan sumber daya manusia yang rendah merupakan salah satu permasalahan yang juga dapat menyebabkan nilai tambah mengapa "Nelayan" "miskin". Biaya pendidikan yang tinggi, lokasi sekolah yang jauh dari tempat tinggal merupakan alasan bagi "Nelayan" untuk memilih tidak bersekolah. Selain itu "Nelayan" merasa tidak memerlukan pendidikan formal karena sebagian besar waktunya lebih banyak dihabiskan di laut.


Pendapatan "Nelayan" produsen sebagai pelaku utama sudah selayaknya jika barang yang sulit didapat dan besar permintaan maka harganya tinggi. Konsekwensinya produsen akan memiliki pendapatan yang tinggi dan penghidupan yang sejahtera. Namun fakta menunjukkan bahwa "Nelayan" termasuk kelompok "miskin" di semua negara. Bahkan atribut bagi mereka adalah ter"miskin" dari yang "miskin" (the poorest of the poor). "Kemiskinan" itu terjadi karena nilai tukar "Nelayan" yang rendah yang disebabkan komoditas yang mereka hasilkan dibayar murah. Menurut Pomeroy dan Williams, bahwa keberhasilan manajemen sumber daya perikanan lebih bergantung pada keterlibatan atau partisipasi pemegang kepentingan (stakeholder). Jika "Nelayan" adalah salah satu pemegang kepentingan tersebut, biarkanlah "Nelayan" memutuskan sendiri keinginan dan tujuannya. Jika keinginannya untuk meningkatkan pendapatan, hal tersebut harus ditempatkan sebagai salah satu tujuan pengelolaan sumber daya perikanan.

Faktor-faktor yang menyebabkan pendapatan "Nelayan" rendah antara lain adalah unit penangkapan yang terbatas yang disebabkan penguasaan teknologi yang rendah, skala usaha/modak yang dimiliki kecil dan masih bersifat tradisional, kemampuan "Nelayan" dalam memanfaatkan peluang usaha dan mengatasi tantangan lingkungan yang rendah disebabkan masyarakat yang masih bergantung pada musim penangkapan, dalam penentuan fishing ground "Nelayan" yang mempunyai ijin untuk melakukan operasi di tempat tersebut akan memperoleh hasil yang banyak, tetapi bagi "Nelayan" yang tidak memiliki akses ke lokasi yang produktif tersebut selain hasil tangkapan yang tidak maksimal juga biaya operasi yang tinggi. Eksternalitas  teknologi terjadi karena "Nelayan" cenderung melakukan penangkapan ikan pada lokasi yang sama atau setidaknya saling berdekatan satu dengan yang lain sehingga terjadi pertemuan antara alat tangkap ikan yang digunakan yang menjurus pada kerusakan atau perusakan.
Faktor lainnya adalah law enforcement yang tidak berpihak kepada "Nelayan", diantaranya terjadinya ego sektoral, regulasi yang tidak mendukung, terbatasnya peran kelembagaan baik pemerintah maupun non pemerintah, penetapan bahan baku (ikan) yang kurang adil, belum ditetapkannya undang-undang anti monopoli, pembagian keuntungan yang tidak proporsional dan kebijakan ekonomi secara mikro yang lebih banyak memberikan kerugian di pihak "Nelayan" dibandingkan memberikan keuntungan.

Namun apabila kita melihat pada pemenuhan sarana dan prasarana, ternyata aspek ini tidak memberikan kontribusi yang berarti. Terjadinya overfished pada suatu perairan yang menyebabkan rendahnya nilai produksi disebabkan oleh b erkurangnya stok ikan, karena pada saat "Nelayan" mengambil ikan dari laut tanpa memperhitungkan akibat pengambilan ikan tersebut menyebabkan "Nelayan" lain mengalami kerugian karena berkurangnya ikan, di lain pihak masih banyak "Nelayan" yang menggunakan alat tangkap yang tidak selektif, terjadinya open acses di perairan tersebut, adanya usaha penambahan terhadap unit penangkapan serta terjadinya eksploitasi ekonomi yang melebihi carrying capacity. Dalam perhitungan ekonomi peningkatan biaya penangkapan ikan karena mengecilnya stok ikan di laut tidak hanya berpengaruh pada "Nelayan" yang menangkap ikan, tetapi juga "Nelayan" tidak menyadari adanya biaya marjinal akibat aktivitas penangkapan ikan yang dilakukannya, "Nelayan" secara keseluruhan cenderung menempatkan terlalu banyak modal atau kapital pada perikanan. Hal ini berarti eksternalitas cenderung mengarah pada eksploitasi sumber daya.

Faktor lain yang menyebabkan pendapatan"Nelayan" rendah adalah harga jual ikan yang juga rendah. Penetapan harga dasar ikan, "Nelayan" atau pengusaha perikanan memiliki insentif untuk berusaha. Respon "Nelayan" terhadap tingginya nilai jual ikan dapat meningkatkan upaya penangkapan atau melakukan investasi tambahan untuk memperbesar armada kapal atau unit penangkapan. Sebaliknya jika harga ikan terus melemah dan tidak ada kebijakan pemerintah untuk mencegah ataupun berupaya agar harga tersebut tetap dapat memberikan keuntungan kepada "Nelayan" ataupun pengusaha perikanan, maka hal ini akan mengakibatkan menurunnya minat "Nelayan" ataupun pengusaha ikan untuk melakukan pengembangan usahanya.

Menurut Puma, salah satu permasalahan mendasar bagi pembangunan kelautan dan perikanan, khususnya yang bergerak dalam skala mikro dan kecil adalah sulitnya akses permodalan dari lembaga keuangan/perbankan formal. Akibatnya "Nelayan" seringkali terjerat oleh renteneer yang menawarkan pinjaman dengan cepat dan mudah namun diimbangi dengan tingkat bunga yang tinggi. Keterbatasan modal ini diperburuk dengan sistem penjualan yang cenderung dimonopoli oleh para tengkulak. Akibatnya "Nelayan" tidak memiliki bargaining power yang memadai sehingga pendapatan yang diperoleh habis untuk bayar hutang dan makan. Lingkaran "kemiskinan" ini selalu berputar dan menyebabkan di sektor kelautan dan perikanan lekat dengan "kemiskinan".

Peran lembaga perbankan dalam penyaluran kredit komersial untuk membantu pengembangan usaha kecil dan menengah tidak efektif. Hal ini disebabkan kecenderungan bank-bank umum mendanai sektor-sektor usaha yang bergerak dalam bidang industri pengolahan hasil laut serta pedagang besar hasil laut yang belum menyentuh pada "Nelayan" secara individu. Hal ini disebabkan oleh kebijakan Prudential Banking serta persyaratan pada pemberian kredit yang ditetapkan oleh otoritas moneter yang memberikan batasan gerak bagi perbankan umum untuk dapat menjangkau masyarakat "miskin" khususnya masyarakat "miskin" yang ada di daerah pesisir. Keterbatasan yang selama ini cukup dominan dalam pemberian kredit kepada masyarakat/pelaku ekonomi di daerah pesisir adalah penyedia jaminan yang merupakan syarat pemberian kredit oleh bank umum. Fasilitas kredit yang diberikan untuk membantu kelancaran usaha lebih dikenal dengan kredit produktif, yaitu kredit yang diberikan perbankan guna membantu para pengusaha untuk memperlancar dan meningkatkan kegiatan usahanya yang terdiri dari kredit investasi dan kredit modal kerja. 
Perilaku ekonomi rumah tangga "Nelayan", beberapa alasan yang menjadikan perilaku ekonomi "Nelayan" yang buruk adalah budaya boros, dimana pendapatan hari ini dihabiskan pada hari yang sama pula, tidak ada kesadaran untuk memiliki tabungan, dan pola konsumsi yang cenderung tidak teratur.

Tidak ada alternatif livehood, dengan segala bentuk keterbatasannya sehingga "Nelayan" tidak mampu memiliki mata pencaharian lain, keterbatasan tersebut antara lain tidak memiliki keahlian lain selain menjadi "Nelayan", terbatasnya peluang kerja bagi mereka dan kemampuan melihat peluang kerja yang rendah.


Menurut Kusnadi, sebab-sebab pokok yang menimbulkan "kemiskinan"  "Nelayan":
a. Belum adanya kebijakan dan aplikasi pembangunan kawasan pesisir dan masyarakat "Nelayan" yang terintegrasi atau terpadu di antara para pelaku pembangunan.

b. Rendahnya konsistensi kuantitas produksi (hasil tangkap) sehingga aktivitas sosial ekonomi perikanan di desa-desa "Nelayan" berlangsung terus.

c, Masalah isolasi geografis desa "Nelayan", sehingga menyulitkan keluar masuk barang, jasa, kapital dan manusia. Berimplikasi melambatkan dinamika sosial, ekonomi dan budaya masyarakat "Nelayan".

d. Keterbatasan modal usaha atau investasi sehingga menyulitkan "Nelayan" meningkatkan kegiatan ekonomi perikanannya.

e. Adanya relasi sosial ekonomi eksploitatif dengan pemilik perahu dan pedagang perantara (tengkulak) dalam kehidupan masyarakat "Nelayan".

f. Rendahnya tingkat pendapatan rumah tangga "Nelayan", berdampak sulitnya peningkatan skala usaha dan perbaikan kualitas hidup.

g. Kesejahteraan sosial "Nelayan" yang rendah sehingga mempengaruhi mobilitas sosial mereka.

h. Lemah karsa (Prof Herman Soewardi).

Para pakar ekonomi sumber daya melihat "kemiskinan" masyarakat pesisir, khususnya "Nelayan" lebih banyak disebabkan karena faktor-faktor sosial ekonomi yang terkait karakteristik sumber daya serta teknologi yang digunakan. Faktor-faktor yang dimaksud membuat "Nelayan" tetap dalam "kemiskinan"nya.

Menurut Smith dan Anderson, bahwa kekakuan aset perikanan (fixity and rigidity of fishing assets) adalah alasan utama mengapa "Nelayan" tetap tinggal atau bergelut dengan "kemiskinan" dan sepertinya tidak ada upaya mereka untuk keluar dari "kemiskinan" itu. Kekauan aset tersebut adalah karena sifat aset perikanan yang begitu rupa sehingga sulit untuk dilikuidasi atau diubah bentuk dan fungsinya untuk digunakan bagi kepentingan lain. Akibatnya pada saat produktivitas aset tersebut rendah, "Nelayan" tidak mampu untuk mengalih fungsikan atau melikuidasi aset tersebut. Karena itu, meskipun rendah produktivitas, "Nelayan" tetap melakukan operasi penangkapan ikan yang sesungguhnya tidak lagi efisien secara ekonomis.

Argumen lain, yaitu menurut Subade dan Abdullah, bahwa "Nelayan" tetap tinggal pada industri perikanan karena rendahnya opportunity cost "Nelayan". Opportunity cost "Nelayan", menurut definisi adalah kemungkinan atau alternatif kegiatan atau usaha ekonomi lain yang terbaik yang dapat diperoleh selain menangkap ikan. Dengan kata lain, opportunity cost adalah kemungkinan lain yang bisa dikerjakan "Nelayan" bila saja mereka tidak menangkap ikan. Bila opportunity cost rendah maka "Nelayan" cenderung tetap melaksanakan usahanya meskipun usaha tersebut tidak lagi menguntungkan dan efisien.

Ada juga argumen yang mengatakan bahwa opportunity cost "Nelayan". khususnya di negara berkembang, sangat kecil dan cenderung mendekati nihil. Bila demikian maka "Nelayan" tidak punya pilihan lain sebagai mata pencahariannya. Dengan demikian apa yang terjadi, "Nelayan" tetap bekerja sebagai "Nelayan" karena hanya itu yang bisa dikerjakan.

Menurut Panayotou, bahwa "Nelayan" tetap mau tinggal dalam "kemiskinan" karena kehendaknya untuk menjalani kehidupan itu (preference for a particular way of life). Pendapat ini dikalimatkan oleh Subade dan Abdullah dengan menekankan bahwa "Nelayan" lebih senang memiliki kepuasan hidup yang bisa diperolehnya dari menangkap ikan da bukan berlaku sebagai pelaku yang semata-mata berorientasi pada peningkatan pendapatan. Karena way of life yang demikian maka apapun yang terjadi dengan keadaannya, hal tersebut tidak dianggap sebagai masalahbaginya. Way of life sangat sukar diubah. Karena itu maka meskipun menurut pandangan orang lain "Nelayan" hidup dalam "kemiskinan", bagi "Nelayan" itu bukan "kemiskinan" dan bisa saja mereka merasa bahagia dengan kehidupan itu.