Minggu, 03 April 2011

"MENGENAL LEBIH DEKAT PROFESI PEKERJAAN SOSIAL"

"Banyak orang yang belum tahu secara benar tentang "Profesi Pekerjaan Sosial" ("Social Work Profesional"). Saya banyak mendengar di masyarakat, bahwa "Pekerja Sosial" adalah orang-orang yang sangat sosial, dermawan serta orang-orang yang bekerja tanpa pamrih dan arti seluruh hidupnya hanya untuk mengabdi kepada sesama manusia."

Saya tidak menyalahkan tanggapan masyarakat awam terhadap "Profesi Pekerjaan Sosial" seperti tadi. Memang "Profesi Pekerjaan Sosial" seperti tanggapan masyarakat tadi adalah profil "Pekerjaan Sosial" yang belum diangkat menjadi suatu "Profesi" dan disiplin ilmu tersendiri pada saat itu sekitar abad 17-18. Waktu itu "Pekerjaan Sosial" dianggap sebagai "Pekerjaan" amal (Charity "Work"), persis seperti tanggapan masyarakat sekarang terhadap "Profesi Pekerjaan Sosial".

Di Indonesia baru sejak kemerdekaan "Pekerjaan Sosial" Modern secara ilmiah diterapkan, yang sebelum Indonesia merdeka telah diperkenalkan oleh penjajah.

Tidak saja di Indonesia, di negara-negara lainpun "Profesi Pekerjaan Sosial" mempunyai ciri-ciri tersendiri oleh karena perkembangan "profesi" ini sangat diwarnai oleh filsafat negara yang bersangkutan, namun pada umumnya "Profesi Pekerjaan Sosial" di berbagai negara mempunyai ciri-ciri yang sama, merupakan karakteristik umum dari "Profesi Pekerjaan Sosial", yaitu:

1. "Pekerjaan Sosial" adalah suatu usaha pertolongan (helping activity) supaya individu, keluarga, kelompok dapat mengatasi rintangan-rintangan yang dialami untuk mencapai tingkat hidup yang paling minim dalam kesejahteraan dan ekonomi.

2. "Pekerjaan Sosial" adalah suatu kegiatan "sosial" ("Social" activity) yang diselenggarakan tidak untuk kepentingan pribadi oleh pelaksana-pelaksana swasta akan tetapi di bawah tanggung-jawab organisasi baik dari pemerintah maupun dari swasta atau kerja sama kedua-duanya, yang diadakan untuk kepentingan anggota masyarakat yang membutuhkan bantuan.

3. "Pekerjaan Sosial" adalah aktivitas perantaraan (liaseon activity) agar individu, keluarga ataupun kelompok pathologis dapat menggunakan segala sumber yang dibutuhkan guna mengatasi masalahnya. (Hasil Penelitian PBB).


Sarjana Amerika, Walter A Friedlander mengatakan bahwa "Pekerjaan Sosial" adalah suatu pelayanan profesional berdasarkan ilmu pengetahuan dan keterampilan dalam hal kemanusiaan yang membantu individu atau kelompok untuk mencapai kepuasan dan kebebasan pribadi dan "sosial".
Kemudian di Indonesia, tercantum dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan "Sosial", bahwa "Pekerjaan Sosial" adalah keterampilan teknis yang dijadikan wahana untuk mencapai kesejahteraan "sosial".

Dari beberapa pengertian "Pekerjaan Sosial" diatas, maka dapat disimpulkan bahwa "Pekerjaan Sosial" adalah suatu layanan "profesi"onal yang berdasarkan ilmu pengetahuan dan keterampilan untuk membantu individu, keluarga, kelompok maupun masyarakat yang berada dalam keadaan pathologis atau semi pathologis baik bersifat fisik, psikologis maupun "sosial" dimana masalah tersebut tidak bisa diatasi sendiri tanpa bantuan layanan "Pekerjaan Sosial" dengan jalan memobilisir sumber-sumber yang ada pada diri klien sendiri ataupun yang ada di masyarakatnya sehingga individu, keluarga, kelompok dan masyarakat tersebut dapat keluar dari masalahnya dan akan mampu mengatasi masalah-masalahnya sendiri dan dapat berpartisipasi dalam pembangunan bangsa.
Secara tehnis, dapatlah kita melihat medan yang berbeda antara "Profesi Pekerjaan Sosial" dengan "Pekerjaan" Amal (Charity work) yang dilaksanakan oleh penganut agama. Contohnya apabila "Pekerjaan" Amal mengharuskan penganut agama memberikan uang atau barang kepada pengemis yang datang kepadanya meminta pertolongan agar pengemis tersebut tidak kelaparan dan telanjang, Sedangkan pada "Pekerjaan Sosial" hal tersebut di atas justru dilarang. Hal ini bukannya "Pekerjaan Sosial" bertentangan dengan ajaran agama, akan tetapi "Pekerjaan Sosial" menganggap pemberian pertolongan kepada klien secara langsung tanpa suatu proses penyelesaian selanjutnya adalah dapat menimbulkan masalah baru atau lebih memperberat masalah masalah yang ada. Hal ini bisa terjadi kepada pengemis yang dibantu oleh "Pekerjaan" Amal. dimana pengemis akan menjadi orang-orang malas dan tetap menggantungkan diri kepada orang lain. Bantuan secara kuratif memang dibutuhkan. akan tetapi harus dilanjutkan dengan layanan-layanan rehabilitatif sehingga nanti klien dapat keluar dari masalahnya.


"PEKERJAAN SOSIAL" DULU, SEKARANG DAN YANG AKAN DATANG.

Masa-masa pertumbuhan "Pekerjaan Sosial" ("Social Work") mulai dari kegiatan-kegiatan yang bersifat amal sampai dengan menjadi disiplin ilmu tersendiri, banyak mendapat sumbangan teori dari diplin ilmu lain, antara lain adalah Sosiologi, Antropologi. Ekonomi, Psikologi, Ilmu Politik, Filsafat, Paedagogie dan lain-lain. Dari sumbangan disiplin ilmu lain inilah muncul cara-cara ilmiah dari disiplin ilmu "Pekerjaan Sosial" di dalam menggarap sasarannya antara lain adalah metoda. Sebagai ilmu terapan, maka "Pekerjaan Sosial" sangat menonjol di bidang metoda dalam setiap terapannya. Penonjolan-penonjolan inilah yang mungkin menggolongkan "Pekerjaan Sosial" sebagai ilmu praktis oleh karena ilmu ini langsung diterapkan untuk melayani kebutuhan-kebutuhan masyarakat.
Pada perkembangan awal dari Ilmu "Pekerjaan Sosial", metoda yang digunakan adalah "Social" Case "Work", "Social" Group "Work", Community Organization. "Social" Case "Work" digunakan untuk menangani masalah-masalah yang tergolong masalah individual, yaitu hambatan-hambatan yang terjadi pada diri seseorang dalam hubungan dengan masyarakat atau sumber-sumber dalam masyarakat. "Social" Group "Work" digunakan untuk menangani masalah kelompok ataupun kelompok itu sendiri dibentuk untuk tujuan penyembuhan terhadap masalah yang diperkirakan dapat disembuhkan dengan menggunakan hubungan kelompok. Dengan demikian maka medan garapan dari metoda ini adalah kelompok itu sendiri dan individu dalam kelompok, Kemudian untuk memelihara, mempertahankan keseimbangan antara sumber kesejahteraan dan kebutuhan masyarakat ("Social" need) maka digunakan Community Organization.

Disamping itu untuk memperlancar penggunaan metoda di atas maka digunakan juga metoda-metoda pembantu seperti "Social Work" Administration, "Social Work" Research dan "Social" Action.

Kemudian pada perkembangan selanjutnya dari "Profesi Pekerjaan Sosial", dianggap membicarakan masalah yang terpisah antara masalah individu, masalah kelompok dan masalah community adalah kurang efektif, karena masalah "sosial" adalah kompleks dan saling berkaitan. Sulit kita pisahkan secara mandiri setiap masalah tersebut, hal ini disebabkan karena proses kehidupan seseorang selalu berkaitan antara kehidupan sebagai individu, sebagai kelompok dan sebagai masyarakat. Atas dasar pemikiran ini maka diupayakan peleburan terhadap ketiga metoda pokok di atas sehingga menghasilkan konsep metodologis integratif dalam mengatasi masalah "sosial", baik masalah individu, kelompok maupun masalah masyarakat.

Integrited metologis approach membuahkan tehnologi-tehnologi baru dalam sejarah perkembangan "Pekerjaan Sosial" sehingga approach permasalahan dianggap kuno dan hal yang kurang penting walaupun tetap masih digunakan. Disamping Integrited metologis approach, juga pendekatan untuk mengetahui sejauh mana potensi harapan dan hasrat yang ada pada klien. Dari sinilah klien disembuhkan (treatment).
"Profesi Pekerjaan Sosial" menangani masalah-masalah "sosial", maka setiap perubahan "sosial" dalam masyarakat adalah tantangan bagi "Pekerjaan Sosial". Semakin maju suatu negara, maka semakin banyak pula masalah "sosial" yang harus dihadapi dalam mencapai taraf kesejahteraan. Dari sinilah dituntut adanya "Pekerja-pekerja sosial" ("Social Worker") kualified, terampil yang selalu dapat mengembangkan teknologi-tehnologi baru guna menanggulangi tantangan yang ada dalam masyarakat. Ini adalah Profil "Profesi Pekerjaan Sosial" di waktu yang akan datang.

"PENINGKATAN PROFESIONALISME APARATUR NEGARA DALAM RANGKA MEWIRAUSAHAKAN BIROKRASI (REINVENTING GOVERNMENT)"

"Pembahasan tentang peningkatan "Profesionalisme Aparatur Negara" tidak dapat dilepaskan dari pembahasan tentang konfigurasi yang kita antisipasikan akan terjadi dalam Pembangunan Jangka Panjang serta norma-norma pembangunan yang menjadi acuan pembangunan."


Kompetensi "birokrasi" yang merefleksikan "profesionalisme" merupakan kualitas "birokrasi" yang dituntut untuk dapat memainkan preanannya secara optimal di dalam konfigurasi normatif maupun konfigurasi empiris.

Konfigurasi normatif pembangunan mewajibkan "aparatur negara" mencapai pertumbuhan ekonomi, mengentaskan orang miskin, disamping membangun manusia Indonesia dalam keutuhannya. Masalah yang relevan untuk dikaji adalah sosok "profesionalisme aparatur negara" yang bagaimana yang dituntut untuk mewujudkan nilai-nilai pembangunan nasional tersebut.

Faktor kedua yang harus dipertimbangkan di dalam peningkatan "profesionalisme aparatur negara" adalah konfigurasi obyektif, empiris serta antisipasi perkembangan konfigurasi tersebut dalam kurun waktu tertentu. Apabila kita amati bersama, masyarakat dan "negara" kita pada saat ini baru dalam proses transisional dari masyarakat agraris ke masyarakat industrial. Dan dalam proses transisi, masyarakat dan "negara" kita telah mencapai tahap struktur ekonomi yang berimbang sebagaimana diukur dari proporsi kontribusi masing-masing sektor dalam Produk Domestik Bruto.

Dari yang dikemukakan tadi, jelas bahwa "profesionalisme" yang dituntut oleh konfigurasi normatif maupun kondisi empiris, bersifat amat kompleks dan multi dimensional. "Aparatur Negara" haruslah memiliki kemampuan "profesional" untuk bukan saja mempertahankan dan meningkatkan ekonomi serta menciptakan iklim bagi perkembangan teknologi canggih, akan tetapi juga sekaligus harus mampu mendistribusikan output pembangunan secara adil dan merata, serta mengentaskan orang-orang miskin melalui strategi Empowerment (bukan penguasa tetapi lebih berperan sebagai fasilitator) dan self -reliant development (pembangunan yang bertumpu pada kekuatan masyarakat sendiri). Masalahnya adalah, kuslitas "profesional" apa yang diperlukan "aparatur negara" dalam melaksanakan fungsinya yang amat kompleks.

Secara umum dapat dirumuskan bahwa "profesionalisme Aparatur Negara" mencakup dua kutub, di satu kutub kemampuan untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi dan mengakselerasikan (mempercepat) proses transformasi menuju masyarakat industri, dan di kutub lain kemampuan untuk memecahkan masalah kemiskinan khususnya melalui proses Self-Reliant development dan human-centered development (pembangunan yang berpusat pada manusia). Sepintas lalu "profesionalisme" yang dituntut oleh pertumbuhan ekonomi dan akselerasi transformasi struktural akan bersifat kontradiktif dengan "profesionalisme" yang dituntut oleh pemerataan, pengentasan kemiskinan, human resource development (pembangunan sumber daya manusia). Akan tetapi pengalaman beberapa negara, seperti Taiwan, Korea Selatan dan Jepang membuktikan bahwa keduanya dapat bersifat komplementer, yang lebih menentukan adalah Style of development (model pembangunan) yang menjadi pilihan suatu negara.


"WIRAUSAHA" DALAM PERSEPSI.

Banyak yang berpikir bahwa "wirausaha" semata-mata adalah pria dan wanita yang menjalankan bisnis, tetapi arti sebenarnya dari kata "wirausaha" (enter preneur) jauh lebih luas. Kata ini diciptakan oleh J.B. Say (ahli ekonomi berkebangsaan Perancis), sekitar tahun 1800. Menurut Say. "Wirausaha" adalah orang yang mampu memindahkan berbagai sumber ekonomi dari suatu kegiatan berproduktivitas rendah ke kegiatan berproduksi lebih tinggi dan hasil yang lebih besar". Dengan kata lain, seorang "wirausaha" menggunakan sumber daya dengan cara baru untuk memaksimalkan produktivitas dan efektivitas. Definisi Say di atas juga berlaku bagi sektor swasta, pemerintah dan sukarelawan.

Banyak juga orang yang berasumsi bahwa "wirausaha" adalah Risk taker (pengambil resiko). Tetapi, sebagaimana hasil dari beberapa kajian yang teliti, para "wirausaha" tidak mencari resiko, akan tetapi mereka mencari peluang. 

Peter drucker, tokoh teori manajemen, mengatakan bahwa hampir setiap orang bisa menjadi "wirausaha", asalkan organisasinya disusun untuk mendorong ke"wirausaha"an. Sebaliknya, setiap "wirausaha" bisa berubah menjadi birokrat, andaikan organisasinya disusun untuk mendorong perilaku birokratis.

Jadi dapat disimpulkan bahwa setiap birokrat dapat menjadi "wirausaha" asalkan lembaga pemerintahan, sebagai wadah pelaku "birokrasi", mau dan mampu mengkondisikan atau menciptakan kualitas profesional birokrat (sebagai "aparatur negara") seperti yang dimiliki oleh para "wirausaha".


MENINGKATKAN "PROFESIONALISME APARATUR NEGARA" DALAM RANGKA ME"WIRAUSAHA"KAN "BIROKRASI".

Berdasarkan atas pemikiran di atas kita dapat menggariskan beberapa kualitas profesional yang dapat diwujudkan dalam rangka me"wirausaha"kan "birokrasi" untuk mengemban mandat pembangunan jangka panjang.

Kemampuan profesional yang dituntut dari diri seorang aparat yang relevan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan akselerasi transformasi adalah:
1. Enterpreneurial "profesionalim".
2. Mission driven "profesionalim".
3. Environmental scanning.
Enterpreneurial "profesionalim" (kemampuan profesional "wirausaha") ini ditandai oleh kemampuan untuk melihat peluang-peluang yang ada bagi pertumbuhan ekonomi, keberanian mengambil resiko dalam memanfaatkan peluang, dan kemampuan untuk menggeser alokasi sumber dari kegiatan yang berproduktivitas rendah menuju ke kegiatan yang berproduktivitas tinggi yang terbuka dalam peluang. Enterpreneurial "profesionalim" dapat dibentuk oleh struktur dan prosedur organisasi yang memberi peluang pada aparat untuk berkreasi dan berinovasi. Dengan cara menumbuhkan prakarsa, daya kreasi dan inovasi "aparatur negara" pada akhirnya akan mewujudkan konfigurasi yang kondusive bagi timbulnya Enterpreneurial "profesionalim" tersebut.

Kemampuan kedua yang erat kaitannya dengan "profesionalisme" pertama, adalah kemampuan untuk mengambil keputusan dan langkah-langkah yang perlu dengan mengacu pada misi yang ingin dicapai (Mission driven "profesionalim") dan tidak semata-mata mengacu pada peraturan yang berlaku (rule-driven "profesionalim"). Ketentuan dan peraturan memang diperlukan untuk membentuk perilaku organisasi para "aparatur negara", akan tetapi tidak mungkin ketentuan dan peraturan itu mencakup berbagai kasus dan situasi khusus. Dalam hal yang demikian, aparat sering kali harus mengambil keputusan dan langkah-langkah yang semata-mata mengacu pada misi yang hendak dicapai, yaitu pertumbuhan ekonomi dan akselerasi transformasi struktural.  Mission driven "profesionalim" ini akan mendukung terwujudnya "birokrasi" yang efisien, inovatif, lentur dan mempunyai ethos kerja yang tinggi, yang amat diperlukan bagi pertumbuhan ekonomi dan akselerasi transformasi.

Kemampuan profesional lain yang dituntut dari seorang "aparatur" adalah kemampuan Environmental scanning. Kemampuan profesional ini berkaitan dengan kemampuan mengidentifikasikan subyek-subyek yang mempunyai potensi memberikan berbagai input dan sumber bagi proses pembangunan. Environmental scanning ini harus ditindak-lanjuti dengan linkage building (menjalin hubungan) dalam dalam arti menjalin hubungan dan interaksi yang produktif dengan para subyek yang mempunyai potensi memberikan kontribusinya pada proses pembangunan. Melalui kemampuan profesional ini akan tercapai mobilisasi sumber yang optimal.
Di sisi lain, pembangunan nasional kita mempunyai dimensi pemerataan, pemberantasan kemiskinan dan pembangunan sumber daya manusia, hal ini menuntut kemampuan Social marketing dan Empowering "profesionalim". Kemampuan yang pertama ini adalah kemampuan untuk menjual inovasi dan memperluas wilayah penerimaan (Zone of acceptance) program-program yang diperuntukkan bagi kaum miskin. Pemerataan dan pengentasan orang miskin tidak seharusnya dicapai melalui deliveres development (pemberian bantuan) dan charity strategy (strategi kedermawanan), oleh karena kemampuan untuk mengadakan social marketing amat penting.

"Profesionalisme" lain yang dituntut "Aparatur Negara" adalah Empowering "profesionalim". Dalam hal ini para "Aparatur Negara" lebih memainkan peranan sebagai fasilitator atau meningkatkan kemampuan masyarakat untuk tumbuh berkembang dengan kekuatan sendiri (enabler). "Profesionalisme" yang demikian amat diperlukan dalam pengentasan kemiskinan melalui pembangunan dengan bertumpu pada kekuatan masyarakat sendiri (self-reliant development).

"Profesionalisme" di atas, tidak berarti meniadakan kebutuhan untuk mengembangkan tradisional managerial "profesionalism". "Profesionalisme" tadi merupakan kualitas yang diharapkan disamping (beyond) "profesionalisme" yang konvensional di dalam rangka me"wirausaha"kan "birokrasi" untuk mengemban amanat pembangunan jangka panjang.

Disamping itu perlu ditekankan bahwa "profesionalisme" tidak harus dikembangkan melalui pelatihan formal, akan tetapi melalui learning by doing (belajar sambil bekerja) di dalam konteks perubahan filsafat, tata nilai, struktur serta prosedur "birokrasi". Karenanya, "profesionalisme" dalam rangka me"wirausaha"kan "birokrasi" ini hanya dapat berkembang kalau ada kehendak pemerintah untuk mengubah filsafat "birokrasi", tata nilai, serta struktur dan prosedur "birokrasi".