Senin, 28 Februari 2011

"BAYI RAMBUT KERITING?"

"Apabila anda menginginkan anak ("bayi") ber"rambut keriting", meskipun sebenarnya anda (suami-istri) tidak ber"rambut keriting", maka anda dapat mengikuti petunjuk-petunjuk di bawah ini."

Apabila anda sedang hamil, maka sering-seringlah anda makan daging kerang. Waktu bayi lahir, memang "rambut" perut masih halus, namun begitu empat puluh hari "rambut" perut dicukur, waktu tumbuh lagi "rambut" "bayi" akan menjadi ikal dan "keriting". Jumlah daging kerang yang dimakan tidak dibatasi, asal sesering dan sebanyak mungkin yang bisa kita mampu memakannya. Kalau terlalu banyak memakan daging kerang, umumnya akan membuat mual, karena cukup amis. Namun jumlah 10-20 daging kerang tiap kali makan itu sudah mencukupi, asal setiap minggu selama hamil memakannya satu kali. Insya'Allah "bayi" anda akan memiliki "rambut" yang "keriting".

Silahkan anda mencobanya apabila anda mengidamkan punya "bayi" yang memiliki "rambut keriting".

Jumat, 25 Februari 2011

"SISTEM EKONOMI ISLAM"

"Sistem Ekonomi Islam" terdiri atas hubungan unit-unit dan pelaku-pelaku "ekonomi" dalam "sistem" itu. "Sistem" ini mempunyai struktur dan dan dalam struktur ini unit-unit serta pelaku "ekonomi" bekerja dan berhubungan satu sama lain dalam putaran lengkap".


Dalam strutktur "sistem ekonomi Islam" terdapat sembilan institusi yang pokok, dengan pengertian bahwa institusi adalah serangkaian norma, aturan tingkah laku atau cara berpikir yang sudah mantap, misalnya hak milik, perusahaan, rumah tangga, pemerintah, uang, pajak pendapatan, perencanaan, serikat kerja, pembentukan keuntungan, gotong royong dan sebagainya.


Sembilan institusi dalam struktur "sistem ekonomi Islam" tersebut adalah:
1. Milik mutlak; yakni bahwa segala sesuatu itu dimiliki oleh Allah secara mutlak, karena Allah adalah Khalik, dan karenanya menjadi Pemilik Mutlak.

2. Milik relatif; Allah sebagai Pemilik mutlak melimpahkan dan mempercayakan  kepada kita untuk memiliki secara relatif segala sesuatu untuk dimanfaatkan guna kehidupan kita bersama. Hal ini adalah amanah. Milik relatif dibagi menjadi dua:
a. Pemilikan relatif untuk kepentingan kolektif, misalnya wakaf; dan
b. Milik relatif untuk kepentingan individu, misalnya 'buku saya'.

3. Usaha Swasta; yakni usaha kita dengan mempergunakan pemilikan relatif yang individual itu untuk mencari keuntungan, dengan catatan bahwa membungakan uang sama sekali dilarang.

4. Pasar; baik pasar benda dan jasa untuk konsumsi maupun pasar jasa produksi dan pasar benda modal. Pasar ini berfungsi untuk mengkoordinasikan alokasi sumber di antara berbagai kegiatan "ekonomi", menyesuaikan produksi, konsumsi dan sumber-sumber kepada satu dan lain unit atau pelaku "ekonomi".

5. Tradisi; yakni adat kebiasaan masyarakat yang disampaikan dari generasi ke generasi berikutnya. Tradisi ini berbentuk pola hubungan antara unit-unit dan para pelaku "ekonomi" yang dapat diterima oleh mereka.Dalam per"ekonomi"an modern, meskipun makin menipis namun tidak dapat dihilangkan sama sekali, tradisi ini dapat berbentuk antara lain amal shaleh, pertukaran dan pemberian, tolong-menolong, gotong-royong, sopan-santun, kerja sama guna mengurangi persaingan, persaudaraan dan sebagainya. Dalam "Islam" tradisi demikian ini sangat kuat. Bukan untuk memperlemah per"ekonomi"an, namun justru sebaliknya; dan ditambah lagi bahwa barang dan jasa harus halal, tidak sekedar ditanggung halal, dan tidak merusak lingkungan, karena "Islam" tidak menolak innovasi teknologi dan adanya produk baru.

6. Perataan pendapatan dan kekayaan secara otomatis; terutama dalam "Islam", karena ketaqwaannya, dibayarkan zakat harta, sadakah, infaq dan disamping itu masih ada kewajiban membayar berbagai pajak, supaya harta tidak berkisar di antara  yang kaya saja.

7. Dorongan bekerja keras untuk mendapatkan rezki yang halal bagi kehidupan di dunia yang baik sebagai bekal kehidupan di akhirat yang baik pula. Hal ini berlaku bagi unit-unit maupun para pelaku "ekonomi" yang "Islam".

8. Badan-badan atau Organisasi-organisasi; misalnya organisasi pemerintah, organisasi "ekonomi", sosial, pendidikan, kebudayaan, keagamaan dan sebagainya. Badan atau organisasi ini mempunyai mekanisme pengurusan kebutuhan dan persoalan masing-masing; mekanisme ini disebut birokrasi. Birokrasi ini mempunyai tingkat-tingkat kewenangan, peraturan-peraturan yang nampak 'impersonal', pembagian kerja, pemilihan pelamar untuk menjadi karyawan sesuai dengan persyaratan, promosi dan sebagainya.

9. Kekuasaan; kekuasaan ini berasal dari pemilikan faktor-faktor produksi dan kekayaan. Pada dasarnya kekuasaan ini berasal dari Yang Maha Kuasa yang kemudian melimpahkannya kepada manusia. karena manusia telah diberi kebebasan yang bertanggung-jawab, karena pemilikan itupun berasal dari Tuhan. Oleh karena itu kekuasaan inipun relatif pula. Dengan demikian, di pihak lain, kekuasaan ini menimbulkan kepentingan-kepentingan yang seringkali bertentangan satu sama lainnya.


Dari sembilan institusi dalam struktur "sistem ekonomi Islam" itu lima diantaranya terdapat secara implisit dalam model tersebut. Lima institusi  dalam struktur "sistem ekonomi Islam" itu adalah: milik mutlak, tradisi, perataan pendapatan secara otomatis, dorongan kerja keras dan kekuasaan.

Dari empat institusi lainnya timbullah sepuluh institusi; dari milik relatif individual timbul pertama rumah tangga wajib zakat dan rumah tangga penerima zakat sebagai nomor dua; dari usaha swasta timbul ketiga perusahaan barang konsumsi dan keempat perasaan benda produksi; dari pasar timbul nomor lima pasar barang konsumsi dan pasar benda-benda produksi sebagai nomor enam serta pasar jasa produksi sebagai nomor tujuh; dari organisasi timbul pemerintah sebagai nomor delapan, baitul mal sebagai nomor sembilan, dan nomor sepuluh badan sosial.

Jadi kesepuluh institusi dalam struktur "sistem ekonomi Islam" itu adalah:
1. Rumah tangga wajib zakat;
2. Rumah tangga penerima zakat;
3. Perusahaan barang konsumsi;
4. Perusahaan benda produksi;
5. Pasar barang konsumsi;
6. Pasar benda-benda produksi;
7. Pasar jasa produksi;
8. Pemerintah;
9. Baitul mal; dan
10.Badan sosial.


 Dari sepuluh institusi, kecuali rumah tangga penerima zakat, baitul mal dan badan sosial, tujuh institusi lainnya merupakan institusi yang ada dalam "sistem ekonomi" modern.

(Sumber: Sepercik Pemikiran Tentang "Ekonomi Islam", disunting oleh M. Natsir Arsyad.).

Kamis, 17 Februari 2011

"DEFINISI ILMU"

"Definisi ilmu" menurut Dr. Ir. Hidajat Nataatmadja, dalam tulisannya yang berjudul "Beberapa Konsepsi Dasar Mengenai Ekonomi Islam", bahwa ternyata konsepsi kita mengenai "ilmu" perlu didudukkan kembali."

Hal ini karena arti kata "ilmu" sebagaimana yang kita pergunakan sehari-hari ternyata tidak sejalan dengan ajaran Islam. "Definisi" mengenai "ilmu" seperti yang dikatakan oleh Dr. Ir. Hidajat Nataatmadja, "Ilmu" adalah mu'jizat Illahiyah yang bisa diberikan kepada manusia yang dikehendakinya, sehingga dengan mu'jizat itu manusia bisa mengenal dirinya dan obyek-obyek di sekitarnya dan dengan demikian bisa berperan sebagai master di bumi (Khalifatullah), yang berarti turut mengelola obyek-obyek dan manusia di sekitarnya dalam arti menjaga kelestariannya serta mensyukuri segala rahmat Illahi yang tersedia baginya.


Dari "definisi" tadi muncul sifat-sifat "ilmu" sebagai berikut:
1. "Ilmu" itu sendiri adalah gaib.
2. "Ilmu" hanya Allah yang punya.
3. Manusia hanya mempunyai hak pakai.
4. Manusia tidak bisa memberikan "ilmu" kepada orang lain.
5. "Ilmu" tidak bisa didefinisikan secara rasional.
6. "Ilmu" tidak bisa melekat di buku.
7. "Ilmu" juga tidak bisa melekat di kepala sebagai hapalan, karena tempat "ilmu" hanyalah satu, yakni hati sebagai kias manifestasi keperiadaban Ruh.


Selanjutnya, dalam bukunya "Krisis Global "Ilmu" Pengetahuan dan Penyembuhannya (Iqra, 1982), Dr. Ir. Hidajat Nataatmadja membedakan mengenai "Ilmu" Subyektif dan "Ilmu" Obyektif. "Ilmu" Obyektif berimpit dengan sains, yakni "ilmu" mengenai benda-benda. Sedangkan "Ilmu" Subyektif dapat dipandang sebagai "ilmu" agama dalam arti yang murni, "ilmu" mengenai manusia sebagai makhluk spiritual. Namun telah diungkapkan juga bahwa agama dalam arti luas juga mengandung ajaran dasar mengenai "ilmu" obyektif, yakni menentukan paradigma "ilmu" obyektif yang harus diterapkan supaya "ilmu" obyektif itu tidak menyimpang dari ajaran yang hak. Agama tidak lain adalah wahyu Illahiyah yang mengajarkan bagaimana manusia mengaktualisasikan fitrahnya sejalan dengan kehendak Illahi.
Sebenarnya "ilmu" itu banyak sekali ragamnya, misalnya "ilmu" seni budaya, "ilmu" ramal, dan sebagainya. Namun yang menjadi ajang dalam tulisan ini adalah sains, "ilmu" obyektif, dihubungkan dengan ajaran agama. Karena dalam hal itulah kita menghadapi kerancuan yang sangat membingungkan kita semua, sehingga perilaku manusia-manusia yang mengaku beriman ternyata terlalu sering mengecewakan kita sendiri.


Untuk memperoleh "ilmu" yang hak, adalah dengan menjalankan syariat agama dan berjuang untuk mengamalkan syariat ke"ilmu"an itu di dunia nyata. Apabila kedua tindakan itu dilaksanakan, Insya'Allah, kita akan memperoleh dua hikmah ijtihad yang telah dijanjikan, yakni hikmah bagi si pemegang "ilmu" dan hikmah bagi orang-orang lainnya. Itulah ciri dari "ilmu" Islam yang hak, "ilmu" yang diridhai Allah. 
"Ilmu" batil pun dapat sangat menguntungkan bagi si pemegang "ilmu", seperti "ilmu" paling yang dapat mendatangkan kekayaan yang berlimpah-limpah bagi sang maling. Namun ciri dari "ilmu" batil adalah munculnya kesengsaraan bagi orang lain. Demikian pula seandainya kita termasuk manusia yang pandai dan berkuasa, maka hikmah "ilmu" batil akan sangat besar bagi kita. Namun perlu diketahui bahwa hikmah itu merupakan kesengsaraan bagi manusia lain, atau bagi kelestarian lingkungan.
"Ilmu" merupakan salah satu dari Asma'ul Husna yang menyata di hati. Al-Qur'an mengajarkan bahwa Nama Allah yang Pertama adalah Rahman-Rahim, yang dalam dunia rasa menjelma dalam bentuk Cinta mutmainnah. Karena itu timbulnya "ilmu" selalu dibarengi dengan munculnya cinta di hati. Oleh karena itu Einstein menyatakan bahwa Syarat kreativitas, yakni syarat manusia ber"ilmu", adalah rasa simpati terhadap obyek-obyek yang kita amati. Einstein juga yakin bahwa kreativitas akan muncul di 'titik  pusat gravitasi kesadaran emosional'. Ya itulah Cinta. Karena itu bekerjalah karena Allah, dengan Asma'ul Husna di hati. Karena itu sembahyanglah 24 jam sehari, yakni bagaimana menerapkan ajaran sembahyang selama kita melaksanakan segala tugas kita. Itulah arti kaum Muslimin sejati.


Membina kreativitas sebagaimana dikiaskan di atas, dalam arti verbal, sungguh tidak sulit, sungguh sangat sederhana sekali. Namun perlu diketahui bahwa aktuasi dari ritus kreativitas yang sederhana itu bukan main sulitnya. Itulah jalan jihad yang harus kita tempuh, supaya kita benar-benar mendapat restu Allah untuk diberi "ilmu".

(Sumber: Sepercik Pemikiran Tentang Ekonomi Islam, Sebuah bunga rampai yang disunting oleh M. Natsir Arsyad).

"Ilmu" ibarat pisau, yang anda gunakan untuk memasak atau untuk membunuh orang.

Hanya sesungguhnya Tuhan kamu adalah Allah yang tiada Tuhan melainkan Dia. "Ilmu"-Nya meliputi segala sesuatu. (Al-Qur'an, Surat Thaahaa, Ayat 98).

Dia mengetahui apa yang di hadapan mereka dan apa yang di belakang mereka, sedang "ilmu" mereka tidak dapat meliputi "ilmu"-Nya. (Al-Qur'an, Surat Thaahaa, Ayat 110).

Maha Tinggi Allah, Raja Yang Benar. Dan janganlah engkau tergesa-gesa membaca Qur'an sebelum selesai diwahyukan kepada engkau, dan katakanlah: "Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku "ilmu". (Al-Qur'an, Surat Thaahaa, Ayat 114).

Orang yang memudahkan jalan untuk menuntut "ilmu", Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga. Sesungguhnya para malaikat membentangkan sayapnya (kepada orang yang menuntut "ilmu") karena senang kepada orang yang mencari "ilmu". (Hadis Riwayat At-Tirmidzi).  

Rasulullah SAW. bersabda:
"Tidaklah seseorang mendapatkan sesuatu yang lebih berharga dari pada  "ilmu" karena "ilmu" mengantarkan pemiliknya kepada petunjuk dan mencegahnya dari kebinasaan. Seseorang tidak dapat lurus agamanya sebelum lurus akalnya". (ath-Thabrani)

Rabu, 16 Februari 2011

"APA ITU DOSA?"

"Kapan "dosa" pertama kali terjadi dan dilakukan manusia? Tentu kita akan langsung teringat pada sebuah kisah yang diabadikan dalam Al-Qur'an; yaitu kisah pengusiran Adam dan Hawa dari surga."


Hadits Riwayat Muslim menjelaskan, "Dari Nawwas bin Sam'an ra berkata, Rasulullah bersabda 'Kebaikan adalah akhlak terpuji, sedangkan "dosa" adalah apa yang meresahkan jiwamu dan engkau tidak suka jika diketahui manusia'".


Hadits Hasan yang diriwayatkan dari dua musnad Imam Ahmad bin Hanbal dan Ad-Darimi dengan sanad hasan, hadits Arbain ke-27, menjelaskan bahwa Wabishah bin Ma'bad ra berkata, saya mendatangi Rasulullah SAW, lalu beliau bersabda: "Engkau datang untuk menanyakan kebaikan? Saya menjawab, "Ya, benar". Beliau bersabda, 'Tanyakan pada hatimu sendiri! Kebaikan adalah apa yang jiwa dan hati tenang karenanya, sedangkan "dosa" adalah sesuatu yang menimbulkan keraguan dalam jiwa dan rasa gundah dalam dada, meskipun orang-orang memberi fatwa kepadamu dan mereka membenarkannya'.

Jadi indikator "dosa" itu sangatlah jelas. Kalau hati seseorang tidak nyaman dengan sesuatu perbuatan dan menimbulkan kegundahan dalam hatinya, maka perbuatan itu adalah "dosa".

"Dosa" dapat dikategorikan ke dalam dua macam berdasarkan kadar beratnya, yaitu "dosa" besar dan "dosa" kecil. Pembagian "dosa" tidak hanya berdasarkan "dosa" besar dan kecil saja, namun ada juga kategori pembagian "dosa" yang lain, misalnya berdasarkan obyek "dosa", yaitu "dosa" langsung kepada Allah dan "dosa" kepada manusia.

Hadits Riwayat Bukhari Muslim, menjelaskan: "Tidakkah aku ceritakan kepadamu tentang "dosa"-"dosa" yang besar (3X). Mereka menjawab, 'Ya, wahai Rasulullah', Beliau bersabda, 'Yaitu menyekutukan Allah, durhaka pada orang tua -- pada waktu itu beliau bersandar kemudian duduk, kemudian bersabda -- demikian juga persaksian palsu dan ucapan palsu'. Beliau selalu mengulang-ulangnya sehingga kami berkata, Andaikan beliau diam'"

Hadits Riwayat Bukhari Muslim, menjelaskan "Beliau bersabda, 'Jauhilah tujuh perkara yang menghancurkan (7 "dosa" besar)'. Mereka berkata, 'Apa saja, wahai Rasulullah? 'Beliau bersabda, 'Menyekutukan Allah, sihir, membunuh, memakan riba', makan harta anak yatim, berpaling dari medan perang dan menuduh keji wanita mukminat baik-baik'."

Ada 10 macam "dosa" besar:

1. Syirik/mempersekutukan Allah.
2. Sihir.
3.Durhaka kepada orangtua.
4.Lari dari medan perang.
5. Bersumpah palsu.
6. Membunuh.
7. Berzina.
8.Memakan riba'
9. Memakan harta anak yatim
10.Miras dan judi.

Macam-macam "dosa" kecil:

1. Dengki.
2. Iri.
3.Takabur.
4.Sombong.
5. Ujub.
6. Bergunjing.

Tanpa sadar, "dosa" kecil dapat menjelma menjadi "dosa" besar. Ibarat kotoran yang menempel di dinding kaca. Awalnya hanya sedikit dan tidak kelihatan. Namun hari berikutnya menjadi lebih tebal, hari berikutnya kaca tersebut sedikit gelap, kemudian semakin lama semakin gelap. Ada sejumlah sebab yang membuat "dosa" kecil berubah menjadi "dosa" besar, antara lain:

1. Dilakukan terus menerus.
2. Meremehkan "dosa" kecil.
3. Merasa gembira dengan "dosa" kecil dan memujinya.
4. Meremehkan dan menyepelekan kemurkaan Allah.
5. Membeberkan "dosa"nya di hadapan banyak orang.
6. "Dosa" kecil yang dilakukan oleh orang alim yang menjadi panutan atau teladan.

Kebiasaan-kebiasaan Positif Untuk Menjaga Diri dari "Dosa":
1. Kebiasaan Istighfar.
2. Berjabat tangan.
3. Mencari Lingkungan Yang Baik.
4. Evaluasi diri.
5. Shalat Malam.


(Sumber: Orang Ber"dosa" rindukan Surga, oleh Syailendra Putra).

Selasa, 15 Februari 2011

"KHUSYUK DALAM SHALAT"

"Sangat penting bagi setiap muslim memperhatikan hal-hal  yang dapat mendatangkan ke"khusyuk"an di dalam "shalat".


Menurut Syaikh Muhammad bin Shalih al-Munajjid, ada 18 hal yang mesti diketahui dan dilaksanakan supaya ke"khusyuk"an dapat terwujud, yaitu:

1. Berdiri sepenuhnya untuk "shalat".
2. Thuma'ninah.
3. Mengingat mati di saat "shalat".
4. Menghayati makna bacaan "shalat".
5. Membaca Surat sambil berhenti pada setiap ayat.
6. Membaca Al-Qur'an dengan tartil serta membaguskan bacaan.
7. Meyakini bahwa Allah akan mengabulkan permintaannya saat hamba sedang "shalat".
8. Meletakkan sitrah (tabir pembatas).
9. Meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri di atas dada.
10.Melihat ke arah tempat sujud.
11.Membaca Surat-surat Al-Qur'an atau do'a-do'a secara bergantian.
12.Menggerak-gerakkan jari telunjuk.
13.Membaca ayat-ayat sajadah.
14.Memohon perlindungan kepada Allah dari godaan syaitan.
15.Membayangkan ke"khusyuk"an para ulama Salafus Saleh saat mereka "shalat".
16.Bersungguh-sungguh dalam berdo'a (pada saat disyariatkannya berdo'a) dalam "shalat", khususnya pada waktu sujud.
17.Mengetahui keistimewaan-keistimewaan "khusyuk" dalam "shalat".


Selanjutnya, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Munajjid menjelaskan bahwa setelah berupaya mewujudkan sebab-sebab yang dapat mewujudkan ke"khusyuk"an perlu upaya yang sungguh-sungguh untuk menepis berbagai penghalang ke"khusyuk"an, antara lain:

1. Berdzikir setelah "shalat".
2. Menghilangkan sesuatu yang mengganggu di tempat "shalat".
3. Menghindari "shalat" dengan pakaian bergambar dan bertulis atau yang sejenisnya.
4. Menghindari "shalat" di dekat makanan yang disukai.
5. Menghindari "shalat" dalam keadaan menahan buang air kecil maupun besar.
6. Menghindari "shalat" dalam kondisi mengantuk.
7. Jangan "shalat" di belakang orang yang sedang bercakap-cakap ataupun tidur.
8. Tidak menyibukkan diri dengan membersihkan debu.
9. Tidak boleh mengganggu orang "shalat" dengan mengeraskan bacaan Al-Qur'an.
10.Tidak menoleh ke kiri dan ke kanan ketika "shalat".
11.Tidak mengarahkan pandangan ke langit.
12.Jangan meludah ke depan ketika sedang "shalat".
13.Berusaha sebisa mungkin untuk tidak menguap.
14.Tidak bertolak pinggang ketika "shalat".
15.Tidak menjulurkan pakaian hingga menyentuh tanah.
16. Tidak mencontoh gerakan atau tingkah laku binatang.


Ke"khusyuk"an merupakan hal pertama yang akan diangkat dari bumi ini, sementara kita hidup di akhir zaman.Gambaran Huzaifah dalam Kitab Madarijus Salikin oleh Ibnu Qayyim, dijelaskan bahwa: "Pertama kali akan hilang dari agamamu adalah "khusyuk" dan hal terakhir yang akan hilang dari agamamu adalah "shalat". Betapa banyak orang "shalat" tetapi tiada kebaikan padanya. Hampir saja engkau memasuki masjid sementara tidak mendapatkan diantara mereka orang yang "khusyuk".


Imam Ahmad meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW, mengingatkan orang-orang yang tidak "khusyuk" dalam "shalat" dengan sabda beliau: "Yang pertama kali diangkat dari ummat ini adalah ke"khusyuk"an (dalam "shalat") sehingga tidak terlihat lagi orang yang "khusyuk". Maka dari itu tidak ada jalan lain bagi kita, selain harus mengerti dan memahami setiap lafal yang kita ucapkan dalam "shalat". Belum terlambat untuk belajar, karena memang tidak ada kata-kata terlambat dalam belajar.


Menurut Al-Gazali, upaya menumbuhkan "khusyuk" dapat ditempuh dengan usaha sebagai berikut:

1. Hudlur al-Qalb (Pemusatan Pikiran).
Yang dimaksudkan dengan pemusatan pikiran disini adalah memalingkan pikiran dari segala yang lain dan memfokuskannya kepada apa yang sedang dihadapi, sehingga pikiran, perbuatan dan ucapan menjadi sejalan.

2. Tafahhum (Pemahaman).
Maksudnya mengerti dan memahami apa yang dibaca dalam "shalat". Tafahhum ini berada di balik pemusatan pikiran, karena kadang-kadang pikiran dapat dipusatkan kepada ucapan, namun tidak terpusatkan kepada pemahaman atau pengertian dari apa yang diucapkan.

3. Ta'zhim (Mengagungkan Allah).
Yakni mengagungkan Allah dengan segala sifat-sifat keagungan dan kebesarannya. Cara ini adalah yang ada di balik kehadiran hati dan pemahaman atas maknanya. Hal ini merupakan kondisi hati dan dapat tumbuh dengan adanya dua pengetahuan dan kesadaran, yaitu:
a. Kesadaran akan keagungan dan kebesaran Allah SWT dan inilah yang termasuk salah satu dari berbagai pokok keimanan.
b. Kesadaran dan pengetahuan akan kehinaan diri sendiri serta kerendahannya. Juga mengenali benar-benar bahwa dirinya adalah semata-mata seorang hamba Allah yang dapat ditaklukkan dan diperintah sekehendak Yang Maha Menciptakannya dan sikuasai sepenuhnya oleh Tuhannya.

4. Haibah (Kagum dan Takut akan Kebesaran Allah).
Haibah adalah rasa gentar dan sangat takut karena kagum akan kebesaran Allah. Ini adalah keadaan jiwa dan ini dapat tumbuh dengan kesadaran akan kekuasaan Allah, kebesaran kerajaan-Nya, keberlangsungan kehendak-Nya. Semakin banyak ilmu dan pengenalan seorang kepada Allah, maka pasti akan semakin banyak pula ketakutan dan ketaqwaannya.

5. Raja' (Penuh Harap Akan Ampunan dan Rahmat Allah).
Yakni sangat ingin atau harap kepada pahala yang akan dikaruniakan oleh Allah SWT dan disamping itu sebagai imbangannya ialah takut sekali akan siksa-Nya, sehingga tidak lalai untuk melaksanakan sesuatu yang telah diperintahkan.

6. Haya' (Rasa Malu dan Merasa Hina).
Haya' bersumber dari rasa hina dan rasa berdosa karena telah menyia-nyiakan segala perintah Allah. Seorang hamba apabila tidak menyadari bahwa ia telah melalaikan perintah Allah atau berbuat dosa tidak akan pernah merasa malu.


"Shalat" itu sesungguhnya sangat berat bagi jiwa, kecuali bagi orang yang hatinya "khusyuk" dan bersungguh-sungguh untuk mencapai kedekatan posisi kepada Allah, karena menyibukkan diri dalam ibadah "shalat" berarti berpindah dari dunia yang penuh hiruk pikuk dan kegamangan menuju ke alam yang paling tinggi. Dan tentunya hal ini akan menghasilkan kenikmatan dan kebahagiaan yang sempurna.

Puncak ke"khusyuk"an adalah ketundukan dan kepatuhan seluruh anggota badan, pikiran dan bisikan hati secara keseluruhan menuju ke hadhirat Illahi. Kualitas dan nilai "shalat" terkait erat dengan ke"khusyuk"an. Diantara ulama ada yang memandang bahwa "khusyuk" termasuk salah satu syarat sahnya "shalat". Sedangkan ulama yang lainnya berpendapat bahwa "khusyuk" dalam "shalat" hukumnya wajib. Sementara sebagian besar ulama fiqih memandang "khusyuk" itu sunah.


(Sumber: Bagaimana berkomunikasi dengan Allah, oleh Muhammad Hamdi, MS.).

"ANAK GELANDANGAN"

"Lingkungan keluarga yang ditandai oleh kondisi kemiskinan menghasilkan masalah "anak gelandangan". Proses sosialisasi yang berlangsung dalam lingkungan yang 'serba tidak' menyebabkan beberapa ciri khas pada "anak-anak gelandangan".

Beberapa ciri psikologis "anak gelandangan", antara lain:

1. "Anak gelandangan" cepat tersinggung perasaannya. Digoda oleh temannya sendiri menyebabkan mereka sangat marah dan emosional, sering beraksi di luar dugaan dan secara proporsional jauh melebihi penyebab kemarahannya.

2. "Anak gelandangan" lekas putus asa dan cepat mutung, kemudian nekad tanpa dapat dipengaruhi secara mudah oleh orang lain yang ingin membantunya.

3. Tidak berbeda dengan "anak-anak" pada umumnya, "anak gelandangan" juga menginginkan kasih sayang. Hanya karena mereka tidak pernah atau hampir tidak mempunyai pengalaman yang nyata mengenai kasih sayang, maka mereka menjadi liar, atau tidak merasa terikat kepada siapapun, atau pada aturan-aturan yang berlaku umum. Namun dengan caranya sendiri, "anak gelandangan" dapat menunjukkan rasa keterikatannya pada orang lain yang mereka senangi.

4. "Anak gelandangan" biasanya tidak mau tatap muka, dalam arti apabila "anak gelandangan" diajak bicara, tidak mau melihat orang lain secara terbuka. Sebaliknya hal ini diperlukan, karena hal ini merupakan suatu taktik bagi pengasuh untuk menguji kejujuran si "anak".

5. Sesuai dengan taraf perkembangannya yang masih kanak-kanak, "anak gelandangan" sangat labil. Namun keadaan ini sulit berubah walaupun "anak gelandangan" telah bertambah umur, atau walaupun "anak gelandangan" telah diberi pengalaman yang lebih positif umpamanya dengan memiliki keterampilan khusus supaya dapat memperoleh pekerjaan yang nyata. Ternyata bahwa pada permulaan "anak gelandangan" sangat antusias, namun cepat muncul pula sifat lain seperti malas, kemudian sering mbolos dari pekerjaan masih mudah berpengaruh terhadap dirinya. Keadaan ini seringkali menyebabkan "anak gelandangan" tidak dapat bertahan dalam suatu pekerjaan yang menuntut disiplin tertentu dalam pola tingkah lakunya.
6. "Anak gelandangan" memiliki suatu keterampilan, namun keterampilan ini tidak selalu sesuai apabila diukur dengan ukuran normatif pada umumnya. Faktor teladan dan penguatan dari orang lain memegang peranan bagi terbentuknya perilaku yang khas bagi "anak gelandangan", meskipun dengan ukuran normatif kita mungkin sekali tidak sesuai.


Setiap usaha penanggulangan masalah "gelandangan" pada dasarnya nerupakan usaha menanamkan norma-norma sosial yang menurut ukuran umum perlu dianut oleh seseorang sebagai anggota masyarakat.

Kondisi hidup "gelandangan" yang sangat berkaitan erat dengan kemiskinan menyebabkan cara hidup, pola perilaku serta terbentuknya kebiasaan-kebiasaan yang tidak mudah diubah. Berkaitan dengan hal tersebut maka setiap usaha penanggulangan harus dimulai dengan suatu tahap persiapan yang baik supaya program penanggulangan dapat disesuaikan dengan keadaan khusus dari kelompok "gelandangan" yang akan ditangani.

Mengingat bahwa dalam menyusun suatu program penanggulangan harus diketahui lebih dahulu kekhususan dari kelompok yang hendak ditangani, maka yang pertama-tama harus dikembangkan adalah kemampuan dari orang-orang yang menjadi pengasuh supaya mereka dapat mengidentifikasi ciri-ciri khas dari kelompok yang akan menjadi tanggung-jawabnya. Diharapkan bahwa pengalaman dengan berbagai kelompok khusus akhirnya dapat dijadikan landasan untuk membuat strategi umum dan terpadu bagi masalah "gelandangan" umumnya.

Mendirikan tempat penampungan (atau panti sosial) memang perlu, karena program tertentu yang akan dilaksanakan harus dapat diawasi dan dimonitor. Namun demikian yang lebih penting, adalah adanya sejumlah staf pengasuh yang menaruh 'hati' pada masalah "gelandangan", yang sekaligus berarti bahwa mempunyai keterampilan teknis saja tidaklah cukup. Para pengasuh harus juga siap mental untuk 'mau ditipu', 'mau dimanipulasi', dan juga berarti harus memiliki sifat sabar dan mau kurban perasaan. Ciri lain yang diperlukan adalah harus peka terhadap situasi sesaat yang dapat timbul dalam bentuk yang berbeda-beda dan perlu segera ditangani. Hal ini berarti bahwa mendirikan panti sosial tanpa terlebih dahulu menemukan orang-orang yang menghayati mission-nya merupakan penghamburan uang, energi dan pikiran.
Penampungan "anak gelandangan" dengan program pendidikan yang direncanakan secara baik dapat dijadikan usaha permulaan untuk mengembangkan suatu metode menemukan "anak-anak" berpotensi (berbakat) diantara keluarga miskin. Apabila hal ini secara sadar telah dilakukan sejak awal, maka sebagai konsekwensi harus pula dipikirkan latihan apa yang harus diberikan kepada para pengasuh "anak gelandangan" supaya mereka memenuhi harapan.

(Sumber: "Gelandangan" Pandangan Ilmuwan Sosial, LP3ES)

Senin, 14 Februari 2011

"BERSIH DAN RAPI (KETIKA HENDAK SHALAT)"

"Shalat seorang hamba tidak akan diterima kecuali jika jiwa dan badannya "bersih" dari hadas dan najis, pakaiannya "bersih", dan tempat yang dipergunakan untuk shalatpun dalam keadaan "bersih".


Allah telah berfirman dalam Al-Dur'an Surat Al-A'raf Ayat 31: "Wahai anak-anak Adam, pakailah pakaian yang indah di setiap (memasuki) masjid."

Menurut Abu al-Fida' Ibnu Kasir, bahwa "Ayat itu mengandung pengertian bahwa dianjurkan untuk "rapi" dan berhias setiap kali akan melakukan shalat, terutama ketika menghadiri shalat Jum'at dan shalat Id. Diantara cara berhias dan berdandan adalah dengan berharum-haruman, bersiwak atau menggosok gigi, karena siwak termasuk sesuatu yang dapat menyempurnakan ke"rapi"an. Sedangkan pakaian yang paling baik, adalah pakaian adalah putih..."

Yang dimaksud denganberhias dan berdandan adalah pakaian yang pantas, "rapi", "bersih", sopan dan bagus termasuk di dalamnya dengan menggunakan parfum dan harum-haruman. Minimal pakaian yang mencegah seseorang dari hal yang menjadikannya sangat buruk di tengah orang banyak, yaitu pakaian yang dapat menutup auratnya. Pakaian seperti itulah yang wajib dipakai untuk sahnya shalat dan thawaf. Berdasarkan pada ayat ini, mayoritas ulama berpendapat bahwa wajib menutup aurat dalam shalat, dalam setiap keadaan walaupun dia shalat sendirian di tempat sunyi.

Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa memakai perhiasan setiap beribadah shalat ke masjid wajib, yang disesuaikan dengan 'urf (kebiasaan) suatu masyarakat ketika menghadiri pertemuan dan keramaian. Hal ini sebagaimana Hadits Riwayat ath-Thabrani dan al-Baihaqi: "Sesungguhnya Allah 'azza wa jalla lebih berhak/patut engkau berhias diri untuk-Nya."

Para wanita tidak diperintah untuk berhias dan berharum-haruman ke masjid, yaitu berhias dalam arti sebagaimana kebiasaan wanita pada umumnya (sangat banyak hadits yang menjelaskan tentang ini), seperti memakai gelang, kalung, cincin berlian, minyak wangi, lipstick, bedak dan lain-lain. Sekalipun demikian mereka tetap diperintahkan untuk berpakaian "rapi" dan "bersih", tidak mencolok ketika dipandang yang dapat menutupi seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan.

Hasan bin Ali apabila hendak shalat, ia memakai pakaian yang paling baik dari pakaiannya. Lalu ada yang bertanya kepadanya: "Mengapa anda melakukan ini?' Beliau menjawab: "Sungguh Allah SWT itu Maha Indah dan Dia menyukai keindahan, karena itu aku memakai yang paling indah untuk Tuhanku, sebab Dia telah berfirman: "Wahai anak-anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah setiap (memasuki) masjid."

Apabila seseorang hendak menghadap atasannya atau akan menemui seorang pembesar, tentu saja ia terlebih dahulu mem"bersih"kan badannya dari segala kotoran, atau sebagian badannya, memakai pakaian yang bagus dan "bersih", rambutnya disisir "rapi", dan bila perlu ia akan menyemprotkan minyak wangi, dengan harapan sang atasan atau pembesar berkenan menyambut dan menerimanya dengan baik. Begitu pula jika kita pergi memenuhi undangan menghadiri keramaian, pertemuan-pertemuan, ke pasar atau kemana saja, kita merasa malu dan segan apabila tidak mandi dan mem"bersih"kan badan terlebih dahulu. Kita akan merasa risih dan kikuk apabila bertemu dengan orang apabila kita berpakaian usang dan agak kumal.
Apabila seseorang berpakaian usang dan agak kumal, badannya berlumuran kotoran, pakaiannya tidak "rapi", atau hanya dengan memakai kain sarung dan baju dalam, atau berselendang kain sarung saja, lalu ia pergi menemui seseorang atau pergi ke tempat keramaian, secara lahiriah orang yang berakal akan mengatakan orang yang seperti ini tidak menghormati, menyepelekan atau menganggap enteng orang yang ditemuinya.

Dalam pergaulan sesama manusia saja sudah seperti ini cara, model dan tata keramanya, apalagi bila akan menghadap Allah Rabbul 'alamin, Allah Yang Maha Agung, Maha Mulia, Maha Indah yang kepada-Nya kita bermohon dan mengadukan segala hajat dan kekurangan kita.

Mungkinkah kita akan diterima dengan baik oleh Allah SWT, sementara kita sendiri tidak beradab dan bersopan santun ketika menghadap-Nya. Sungguh aneh dan mengherankan apabila kita begitu hormat, sopan, "rapi", "bersih", tertib dan patuhnya ketika bertemu dan menghadap manusia dibanding ketika bertemu dan menghadap Allah SWT.

Maka dari itu, Islam telah menempatkan suci ("bersih") sebagai syarat mendasar dan kunci untuk melaksanakan shalat sebagai ibadah dan ritual yang tertinggi. Shalat seorang hamba tidak akan diterima kecuali jika jiwa dan badannya "bersih" dari hadas dan najis, pakaiannya "bersih", dan tempat yang dipergunakan untuk shalatpun dalam keadaan "bersih". Belum lagi ke"bersih"an yang diwajibkan terhadap seluruh badan atau sebagian anggota badan. Ke"bersih"an yang wajib ini dalam Islam dilakukan dengan jalan berwudlu dan mandi. 

Sebagaimana dijelaskan dalam Hadits Riwayat Ibnu Majah, bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda: "Berlaku "bersih"lah kamu, karena sesungguhnya Islam itu "bersih".

Rasulullah SAW sangat menekankan masalah ke"bersih"an pakaian, badan, rumah dan pekarangan dan bahkan jalan. Lebih ditekankan lagi adalah ke"bersih"an gigi, muka, tangan dan anggota badan lainnya. Sebagaimana dijelaskan dalam Hadits Riwayat Ahmad dan At-Tirmidzi, dari Abu Bakar ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Menggosok gigi itu sebagai pem"bersih" bagi mulut dan merupakan pekerjaan yang diridhai Tuhan."

Bahkan orang yang sudah tidak bergigipun tetap dianjurkan oleh Rasulullah SAW supaya mem"bersih"kan mulut dengan jalan memasukkan jari ke mulutnya. 

Khusus untuk menggosok gigi ini, sangat ditekankan setiap kali berwudlu. Disamping itu menggosok gigi juga disunahkan ketika hendak shalat, akan membaca Al-Qur'an, bangun tidur dan sewaktu bau mulut berubah.
Begitupun memotong dan mem"bersih"kan bulu kemaluan, mencabut bulu ketiak, memotong kuku, me"rapi"kan atau memotong kumis juga disunahkan satu kali dalam seminggu, lebih baik dan utama tiap hari Jum'at. Paling lama sekali dalam 40 hari.  Sebagaimana dijelaskan dalam Hadits Riwayat Ahmad: "Anas ra. berkata: 'Rasulullah SAW memberi batas kepada kami untuk memendekkan kumis, mencukur bulu kemaluan, mencabut bulu ketiak, memotong kuku selama 40 hari."

Semua itu dilakukan demi menjaga dan menyempurnakan ke"bersih"an dan untuk menyenangkan hati. Sebab, dengan adanya bulu di badan akan menyebabkan seseorang akan terganggu dan merasa tidak tenang dan lebih jauh lagi akan menyebabkan pekerjaan yang dilakukan menjadi tidak sempurna.

Dapat disimpulkan bahwa:
1. Islam mengajari ummatnya untuk senantiasa "bersih" dan "rapi".
2. Kita diperintahkan untuk "rapi" dan "bersih" setiap kali melaksanakan shalat.
3. Keharusan mem"bersih"kan badan, pakaian dan lingkungan.
4. Disunahkan me"rapi"kan rambut, kumis, jenggot, memotong bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan, memotong kuku paling lambat sekali dalam 40 hari, sebaik-baiknya setiap Jum'at.
5. Disunahkan menggosok gigi, terutama sewaktu berwudlu, ketika akan shalat, ketika hendak membaca Al-Qur'an, bangun tidur dan sewaktu bau mulut berubah.
6. Tidak dibenarkan memakan makanan yang mengakibatkan mulut berbau, lebih-lebih lagi apabila akan menghadiri shalat berjama'ah.
7. Para wanita tidak dibenarkan memakai harum-haruman yang menyengat, pakaian yang menyolok mata, terutama sekali bila ke masjid.

(Sumber: Bagaimana berkomunikasi dengan Allah, oleh Muhammad Hamdi, MS.).

Minggu, 13 Februari 2011

"GELANDANGAN, PENGEMIS, TUNA SUSILA, DAN TUNA KARYA"

"Gelandangan" berbeda dengan pengemis, walaupun keduanya merupakan penyakit sosial. Seorang pengemis biasanya masih mempunyai rumah atau tempat tinggal, bahkan di antara pengemis ada yang memiliki sawah".


Seperti para pengemis yang mangkal di sekitar masjid-masjid besar menjelang shalat Jum'at atau shalat Tarawih sepanjang bulan Puasa, mereka kebanyakan datang dari daerah lain. Para pengemis mulai dari yang berumur 1 tahun yang  masih digendong hingga yang berumur kurang lebih 70 tahun. Diantara para pengemis itu, hanya ada  satu atau dua orang "gelandangan". Selebihnya adalah pengemis yang memiliki rumah.


Seseorang yang mempunyai rumah atau tempat tinggal dan pekerjaannya meminta-minta ini biasanya memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP), serta tidak jarang pengemis semacam ini memiliki badan yang sehat dan tegap, namun ada pula yang berpenyakit lepra. Ada pengemis yang sendirian ada pula yang berkelompok dua atau tiga orang. Pengemis ada yang bermukim di tempat penampungan, dan mereka keluar dari tempat penampungan dengan alasan mau berobat. Hal ini mereka lakukan karena sebenarnya mereka memiliki mata pencaharian tetap di daerahnya, misalnya berkebun, berjualan rokok, sebagai penarik becak dan sebagainya.
Meskipun di antara "gelandangan" wanita ada yang melakukan pekerjaan sebagai wanita tuna susila (WTS), namun mereka berbeda dengan WTS yang didaftar resmi oleh Dinas Sosial. WTS yang terdaftar itu memiliki tempat tinggal yang disediakan oleh seorang germo atau mucikari. 


"Gelandangan" wanita tuna susila, dapat dibawa atau dipanggil ke mana dan kapan saja oleh lelaki. Pada malam hari Wanita "Gelandangan" Tuna Susila (WGTS), berkeliaran di sekitar tempat pemukimannya, atau di daerah tertentu yang dianggap strategis atau banyak pasaran.


Ada resiko besar yang harus dihadapi oleh wanita "gelandangan" tuna susila ini karena rawan ditangkap oleh yang berwajib.Dari segi keleluasaan dan keamanan, nampaknya wanita "gelandangan" tuna susila lebih banyak terancam, misalnya penangkapan ataupun gangguan dari lelaki yang tidak mau bayar sesudah dilayani. Ancaman seperti itu biasa dialami oleh wanita "gelandangan" tuna susila yang tidak mempunyai pendamping.


Berbagai macam pekerjaan dilakukan oleh para "gelandangan", hanya saja apa yang dikerjakan itu tidak layak menurut kemanusiaan. Ada yang menyimpang dari norma undang-undang dan norma susila, ataupun dari kebiasaab masyarakat umum. Meskipun ada diantara mereka yang melakukan pekerjaan seperti yang biasa juga dilakukan oleh masyarakat umum seperti menarik becak, hal itu dilakukan secara temporer. Pekerjaan yang mereka lakukan itu merupakan kompensasi dari ketunakaryaan mereka. Para "gelandangan" ini tidak hanya tuna karya atau penganggur biasa yang mungkin mempunyai rumah, namun para "gelandangan" merangkap juga sebagai tuna wisma. Namun seorang tuna wisma bukanlah "gelandangan", kalau dia mempunyai pekerjaan tetap dan layak.


Diantara para "gelandangan" ada juga yang terserang penyakit jiwa maupun penyakit yang biasa menyerang warga masyarakat pada umumnya. Selain itu ada "gelandangan" yang tuna netra. Penyakit lain yang biasa menjangkit di kalangan "gelandangan" adalah penyakit batuk atau TBC, borok, panu, kadas dan sejenisnya.


Diantara "gelandangan" banyak yang makan apa saja yang ia anggap dapat dimakan, misalnya di tong-tong sampah dan juga di termpat-tempat pembuangan sampah. Selain itu ada yang makan di tempat penjualan barang bekas atau membeli nasi bungkus yang sangat murah di warung. Ada juga diantara "gelandangan" yang makan nasi hasil masakan sendiri.


Walaupun di dalam masyarakat "gelandangan" terdapat berbagai suku dan ada keragaman tingkat usia, namun dalam pergaulan dan pembentukan kelompok ada rasa persatuan yang tidak terikat oleh perbedaan suku atau perbedaan kelompok usia. Namun sebaliknya perasaan senasib dan sepenanggungan lebih menonjol.


Sebagaimana halnya warga masyarakat normal dan sebagai manusia yang memerlukan makan dan minum, "gelandangan" melakukan usaha-usaha atau pekerjaan yang sesuai dengan bakat dan kemauan mereka masing-masing. Pekerjaan yang dilakukan oleh "gelandangan" antara lain: mengemis, mencari barang bekas, sebagai wanita tuna susila, mencuri atau mencopet dan sebagainya.


Untuk mengetahui di mana "gelandangan" melakukan operasi atau melakukan pekerjaannya, cukup sulit ditentukan secara pasti. Namun dapat duisampaikan disini tempat-tempat dimana "gelandangan" melakukan pekerjaan itu. Misalnya mereka yang pekerjaannya mencari barang bekas, mereka biasanya berkelana mendatangi tempat-tempat pembuangan sampah, bahkan juga sering mendatangi halaman rumah-rumah penduduk.


Faktor-faktor terjadinya "gelandangan" dapat dibedakan ke dalam faktor intern dan ekstern. Faktor intern meliputi: sifat malas, tidak mau bekerja, mental yang tidak kuat, adanya cacat-cacat fisik dan adanya cacat-cacat psikis (jiwa). Sedangkan faktor ekstern terdiri dari faktor ekonomi, geografi, sosial, pendidikan, psikologis, kultural, lingkungan dan agama.

Kamis, 10 Februari 2011

"IKHLAS.... IKHLAS.... IKHLAS....."

"Iblis sendiri yang mengatakan, bahwa ia tidak akan pernah menggoda hamba-hamba yang "ikhlas". Sebenarnya apa arti "ikhlas" yang sesungguhnya sehingga iblis pun tidak berani menggoda?"


Kita seringkali mencari definisi dan arti tentang "ikhlas" dengan logika yang terbatas. Seringkali memaksa supaya dirinya seakan-akan telah paham tentang "ikhlas", padahal kita tahu logika, akal, rasio sama seperti mata dan telinga kita yang mempunyai keterbatasan dalam memandang.

Mengapa kita mencari-cari dari sumber yang lain? Yang tidak ada ujung pangkalnya, padahal jelas-jelas di dalam Al-Qur'an Allah SWT telah membuat definisi dan arti yang  konkret tentang apa itu "IKHLAS", yakni di dalam firman Allah SWT dalam Al-Qur'an Surat Al-"Ikhlas" Ayat 1-4, yang artinya:
- Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa.
- Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.
- Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan.
- dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia."

Ternyata makna "ikhlas" secara definitif dan komprehensif spektrumnya begitu luas. Secara esensial arti "ikhlas" adalah bebas dari syirik, artinya seseorang yang akan melakukan sesuatu perbuatan/ibadah tidak boleh ada rekayasa, tendensi, intrik-intrik, motivasi atau niat yang lain kecuali semata-mata ditujukan kepada Allah SWT. Hal ini sebagaimana maqola Sayidina Ali yang berbunyi:
"Ya Allah aku mengabdi kepada-Mu bukan karena aku takut kepada neraka-Mu, bukan pula aku rakus terhadap surga-Mu, melainkan aku mengabdi kepada-Mu, karena memang Engkau pantas untuk kuabdi."

Betapa berartinya makna Suratul "Ikhlas", yang notabene terdapat kalimat Al-"Ikhlas". Sehingga pada ayat terakhir surat ini harus berkesimpulan bahwa Allah tidak ingin dibagi cintanya kepada hambanaya, Allah akan merasa cemburu manakala ciptaanNya dicintai secara berlebihan.


Ciri-ciri orang "ikhlas":
1. Memberi sesuatu dengan perasaan ringan dan tanpa beban di hati.
2. Ketika tangan terjulur memberi kepada yang diberi, dalam hati berkata: "Ini milik Allah dan saya harus mengembalikan kepada-Nya melalui kamu."
3. Ketika memberi tidak mengharap imbalan atau ucapan terima kasih, yang penting bagi yang diberi merasa bahagia.
4. Tidak mau diperlihatkan orang apalagi disorot media, karena tugas iblis selain menjegal dan menggugurkan amal-amal saleh, juga ia sangat sabar menunggu kapan hamba-hamba yang "ikhlas" gugur amalnya dengan cara dipuja atau diungkit-ungkit.
5. Tidak pernah kecewa walau ternyata amal salehnya berimbas kepada ujian dan cobaan yang menyakitkan.
6. Tidak pernah resah dan gelisah dan tidak pernah bangga dengan keberhasilan, dan tidak pernah merasa sedikitpun sedih bila mengalami kegagalan, sebab yang dicari hanyalah ridha Allah SWT.
7. Beramal karena Ikhsan, Lillah, Billah, Minallah dan Ilallah.


Hadits Qudsi ada yang menyebutkan bahwa "Ikhlas" merupakan rahasia Allah, "Jawabnya suatu rahasia dari rahasia-Ku kata Allah, Aku mempercayakannya kepada hati siapa yang Aku cintai di antara hamba-Ku". (Misykatul Anwar Hadits Ke-32 Ibnu Arabi).

(Sumber: Hakekat "Ikhlas" dan Indahnya Sabar, oleh KH MD Sirojudin).

"DAMPAK POSITIF SHOLAT DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI"

"Setiap hari kita "sholat" di atas sajadah bermunajat dan bermohon kepada Allah, ruku' dan sujud, seharusnya membawa dampak positif dalam kehidupan sehari-hari."


Seharusnya, "sholat" yang kita lakukan dapat terimplementasikan dalam bentuk nyata kehidupan, alias dimanifestasikan dalam setiap gerak dan nafas, maka seharusnya dapat membawa karakter kesabaran, sehingga kesabarannya tidak terkalahkan oleh nafsu yang membara.
Dampak positif "sholat" dalam kehidupan sehari-hari:
1. Setiap orang yang "sholat" seharusnya sadar akan  takdir yang datang dari Allah. Hal ini sebagaimana difirmankan Allah dalam Al-Qur'an Surat Al-Anam Ayat 59: 'Tidak sehelai daunpun yang jatuh dari tangkainya melainkan sepengetahuan Dia (Allah)'.

2. "Sholat" dapat dijadikan sebagai penolong bagi orang yang beriman dalam bersikap dalam kehidupan sehari-harinya. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Surat Al-Baqarah Ayat 153: 'Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan "sholat" sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.'

3. Orang yang melakukan "sholat", apabila dikecewakan oleh sesuatu peristiwa, seharusnya segera berkata Innalillahi Wa Innailaihi Roji'un - Aku dari Allah dan akan kembali kepadanya.'; sebagaimana firman Allah dalam Surat Al-Baqarah Ayat 155.
4. Dan segera mengucapkan Lahaula Wala Kuuwata Illa Billah Hil Aliyyil Adzim -- 'Tidak ada yang memiliki kekuatan kecuali yang maha tinggi dan maha agung'; sebagaimana firman Allah dalam Surat Al-Kahfi Ayat 39.
5. Orang yang mendirikan "sholat" harus mempunyai dampak dari atsarissujud sebagaimana dijelaskan dalam Surat Al-Fath Ayat 29: '... kalian lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaanNya, tanda-tanda mereka terlihat pada muka mereka dari bekas sujud.'

6.Yang dimaksud bekas sujud adalah merujuk kepada Surat Al-Mukminun Ayat 1-5: 'Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang yang khusyuk dalam "sholat"nya dan orang-orang yang menjauhkan diri dari yang tidak berguna dan orang-orang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya'.

7. Orang-orang yang mendirikan "sholat" harus mampu dan mau meninggalkan perbuatan-perbuatan keji dan munkar, marah-marah yang bukan pada tempatnya sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah dalam Surat Al-Ankabut Ayat 45: 'Sesungguhnya "sholat" itu mencegah perbuatan-perbuatan keji dan munkar.'

8. Allah memfitrahkan manusia bersifat keluh kesah, namun bagi orang-orang yang mendirikan "sholat" dan sanggup menjaganya Insya'Allah akan terjaga, sebagaimana firman Allah dalam Surat Al-Ma'arij Ayat 19: 'Sesungguhnya manusia itu bersifat keluh kesah lagi kikir, apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir, kecuali orang-orang yang mengerjakan "sholat", yang mereka itu melanggengkan "sholat"nya'.

9. Orang yang "sholat" harus memperdalam Aqidah dan akhlaq, terutama akhlaq kepada Allah, dan puncaknya akhlaq manusia kepada Al-Khaliq adalah selalu bersikap khusnudhan kepada Allah. Apapun yang dianugrahkan kepada manusia adalah pilihan Allah yang terbaik, sehingga kita harus bersikap Qonaah (menerima) dan harus selalu mensyukuri anugrah itu tanpa memperhitungkan besar kecilnya anugrah Allah.

Selasa, 08 Februari 2011

"AJI SAKA - PENCIPTA HURUF JAWA"

"Aji Saka" menciptakan "huruf Jawa"  untuk mengabadikan kesetiaan dua abdi dalam melaksanakan tugas yang telah diamanahkan."


"Aji Saka" adalah seorang pertapa yang masih muda yang berasal dari Hindustan. Pada suatu hari "Aji Saka" disertai dua orang abdinya pergi melawat ke Tanah "Jawa". "Aji Saka" bersama dua abdinya menjelajahi masuk kota dan desa. Kedatangan "Aji Saka" di Tanah "Jawa" bermaksud menyebarkan ilmu pengetahuan.


Suatu ketika "Aji Saka" bersama kedua abdinya ke negeri Medang, tetapi dalam perjalanannya mereka bertiga singgah ke pegunungan Kendeng. "Aji Saka" berkata kepada Sembada (salah satu abdinya): 'Sembada besok saya akan ke Medang, dan keris "aji"ku ini saya tinggal disini. Kupercayakan keris "aji"ku kepadamu. Siapapun yang datang meminta, jangan kau beri. Bila aku memerlukan akan saya ambil sendiri. Ingatlah pesanku!'

Selesai berbicara, berangkatlah "Aji Saka" ke negeri Medang seorang diri. "Aji Saka" tiba di desa terpencil di negeri Medang. "Aji Saka" bertamu ke rumah seorang janda tua bernama Mbok Rondo Sengkeran. "Aji Saka" menjelaskan kepada Mbok Rondo Sengkeran, bahwa ia ingin mengabdi kepada Sang Prabu negeri Medang. Namun oleh Mbok Rondo Sengkeran dilarang dan diingatkan, karena Sang Prabu adalah seorang raja yang gemar makan daging manusia. Penduduk banyak mengungsi karena takut. Mbok Rondo Sengkeran masih hidup karena usianya sudah tua, dagingnya sudah alot sehingga Sang Prabu tidak mau memakannya. Meskipun dilarang, "Aji Saka" tetap ingin mengabdi kepada Sang Prabu. Begituloah akhirnya untuk sementara "Aji Saka" tinggal di rumah Mbok Rondo Sengkeran.

"Aji Saka" adalah seorang pertapa yang sakti. Ketika para penduduk ketakutan berlari mengungsi, "Aji Saka" meminta para penduduk itu tinggal bersamanya di rumah Mbok Rondo Sengkeran. Mbok Rondo Sengkeran menganatar "Aji Saka" menghadap Patih (yang setiap harinya mencarikan mangsa untuk Sang Prabu). Di hadapan Patih, "Aji Saka" mengutarakan maksudnya, ingin mengabdi kepada Sang Prabu. Sang Patih melihat "Aji Saka" tertegun karena sikap baiknya. Memang "Aji Saka" seorang pemuda yang bijaksana dan tampan.

Sang Patih berkata: 'Baiklah! Engkau akan kuhadapkan kepada Sang Prabu. Engkau harus tahu tugasmu nanti. Karena tidak mudah mengabdi kepada Sang Baginda Raja Medang.'

"Aji Saka" menjawab: 'Hamba tidak gentar berhadapan dengan Sang Baginda! Hamba tetap pada pendirian semula, yaitu akan mengabdi kepada Sang Prabu. Apabila hamba tidak mati apakah hamba dapat minta sebidang tanah seluas sorban (ikat kepala) ini?' 

Singkat cerita, Sang Patih menyanggupi permintaan "Aji Saka". Lalu diajaklah "Aji Saka" ke istana. Sewaktu makan, "Aji Saka" mengubah dirinya menjadi seorang anak yang cantik. Sang Prabu sangat senang melihatnya. Anak yang cantik tadi ditimangnya. Saat menimang tersebut, Sang Prabu bernafsu untuk melahapnya. Tetapi "Aji Saka" yang sakti dengan cekatan memegang bibir atas dan bibir bawah, lalu disobeklah mulut Sang Prabu (raja Medang) itu sampai meninggal. Setelah peristiwa tewasnya Sang Baginda, "Aji Saka" berubah wujud seperti semula.  "Aji Saka" pergi ke rumah Patih memberitahu bahwa Sang Baginda telah mati terbunut. Senanglah hati Sang Patih mendengar laporan "Aji Saka".
Kemudian "Aji Saka" menagih janji kepada Sang Patih. Ikat kepalanya dilepas dibentangkan di atas tanah. Ikat kepala semakin melebar, meluas hingga meliputi desa dan kota, hutan, gunung, lembah ngarai. Akhirnya selureuh kerajaan Medang menjadi milik "Aji Saka". Sang Patih tidak dapat berbuat apa-apa. Rakyat Medang merasa lega karena raja yang gemar makan daging manusia telah tewas. Rakyat berterima kasih kepada "Aji Saka" yang telah membebaskan rakyat dari kebengisan rajanya. Akhirnya, "Aji SAka" dinobatkan sebagai raja di Medang. 

Penduduk yang mengungsi ke daerah lain kembali ke rumah mereka masing-masing. Mereka mulai mengolah sawah menanami ladang. Sungguh  menjadi tempat yang ramai. Di bawah pemerintahan Raja "Aji Saka", negara Medang mengalami masa kejayaan. Rakyat hidup dengan tenteram. Teringatlah "Aji Saka" akan kerisnya. Dipanggilnya Dora, katanya: 'Hai, Dora, pergilah kau ke pegunungan Kendeng! Ambillah kerisku! Katakan bahwa aku sedang sibuk!' Jawab Dora: 'Ya, tuanku! Hamba siap, berangkat!'

Pergilah Dora ke pegunungan Kendeng!. Sesampai di tempat, Dora memberi salam kepada Sembada. Dan keduanya asyik berdialog melepaskan rindu. Kemudian Dora menyampaikan maksud kedatangannya, diutus "Aji Saka" untuk mengambil keris milik tuannya itu. Mendengar maksud kedatangan Dora, dengan tegas Sembada menolaknya. Kedua abdi tersebut saling mempertahankan perintah "Aji Saka" keduanya tidak mau mengalah. Akhirnya terjadilah baku hantam di antara keduanya. Kedua abdi tersebut, Dora dan Sembada adu kekuatan, adu kepandaian, dan adu kesaktian. Memang kedua abdi tersebut sama-sama sakti. Kedua-duanya sama-sama unggul. Adu kesaktian kedua abdi itu mengakibatkan keduanya tewas. Mereka masing-masing mempertahankan perintah tuannya. Lebih baik mati dar pada mengkhianati perintah tuannya.

Utusan "Aji Saka" lama tak datang. "Aji Saka" khawatir dan cemas menanti kedatangan abdi yang setia, Dora dan Sembada tak kunjung datang. Akhirnya "Aji Saka" meninggalkan istana pergi ke pegunungan Kendeng untuk menyusul Dora dan Sembada. Setelah sampai di pegunungan Kendeng, terkejutlah "Aji Saka" melihat mayat Dora dan Sembada tergeletak di tanah.

Ingatlah "Aji Saka" apa yang pernah dipesankan kepada Sembada. Dora dan Sembada, kedua abdi kesayangannya tewas demi tugas yang diembannya. Kematian mereka berdua sebagai bukti kesetiaan dan kepatuhan terhadap tuannya. Dengan kematian dua abdi setia, "Aji Saka" menciptakan "huruf-huruf " untuk mengabadikan kesetiaan dua abdi dalam melaksanakan tugas. "Huruf Jawa" tersebut dikenal dengan Carakan.

Susunan "huruf Jawa" tersebut sebagai berikut:
- Hana caraka = ada utusan.
- Data sawala = pada bertengkar.
- Padha jayanya = sama saktinya.
- Maga bathanga = mati bersama.
























Itulah tadi kisah terciptanya "huruf Jawa" yang diciptakan oleh "Aji Saka".

Senin, 07 Februari 2011

"PELAYANAN PENCATATAN DAN PENERBITAN KUTIPAN AKTA PENGAKUAN ANAK"

"Pengakuan anak" adalah "pengakuan" secara hukum dari seorang bapak terhadap "anak"nya yang lahir di luar perkawinan yang sah atas perswetujuan ibu kandung "anak" tersebut."


Instansi yang bertanggung-jawab dalam pengurusan surat pencatatan dan penerbitan kutipan  "akta pengakuan anak" adalah Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, sebagai berikut:
1. Petugas registrasi bertanggung-jawab pada pengisian formulir, proses verifikasi dan validasi data. Petugas juga bertanggung-jawab merekam data "pengakuan anak" dalam database kependudukan.
2. Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil bertanggung-jawab pada pemeriksaan akhir, perswetujuan formulir untuk kemudian membuat catatan pinggir pada register "akta" Kelahiran dan Kutipan "Akta" Kelahiran. Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil bertanggung-jawab menerbitkan Kutipan "Pengakuan Anak".


Persyaratan yang diperlukan untuk memproses "akta pengakuan anak" antara lain:
1. Surat Pengantar dari RT/RW dan diketahui Kepala Desa/Lurah.
2. Surat "Pengakuan Anak" dari ayah biologis yang disetujui oleh ibu kandung "anak" tersebut.
3. Kutipan "Akta" Kelahiran.
4. Foto copy KK dan KTP ayah biologis dan ibu kandung.

Prosedur pengurusan pencatatan dan penerbitan "akta pengakuan anak" di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, sebagai berikut:
1. Petugas memberikan formulir kepada pemohon untuk diisi disertai dengan persyaratan.
2. Petugas menerima dan meneliti permohonan dan persyaratan.
3. Kepala Dinas mencatat pada Register "Pengakuan Anak" kemudian membuat catatan pinggir pada register "akta" kelahiran dan Kutipan "Akta" Kelahiran.
4. Petugas merekam data "pengakuan anak" dalam database kependudukan.


Pengurusan pencatatan dan penerbitan kutipan "akta pengakuan anak" dilaksanakan selama 2 (dua) hari kerja di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil.

"PELAYANAN PENCATATAN DAN PENERBITAN KUTIPAN AKTA PENGESAHAN ANAK"

"Pengesahan anak" adalah "pengesahan" status hukum seorang "anak" yang lahir di luar ikatan perkawinan yang "sah", menjadi "anak" "sah" sepasang suami istri".


Instansi yang bertanggung-jawab melaksanakan pencatatqan dan penerbitan "Akta Pengesahan Anak" adalah Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, yakni:
1. Petugas registrasi bertanggung-jawaqb pada pengisian formulir, proses verifikasi dan validasi data.
2. Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil bertanggung-jawab pada pemeriksaan akhir, persetujuan formulir untuk kemudian mencatat pada Register "akta" Kelahiran dan Kutipan "akta" Kelahiran.


Persyaratan yang diperlukan untuk memproses "akta pengesahan anak" antara lain:
1. Surat Pengantar dari RT/RW dan diketahui Kepala Desa/Lurah.
2. Kutipan "Akta" Kelahiran.
3. Foto copy Kutipan "Akta" Perkawinan.
4. Foto copy KK dan KTP pemohon.

Prosedur pengurusan "Akta Pengesahan Anak" adalah:
Di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil:     
a. Petugas memberikan formulir kepada pemohon untuk diisi disertai dengan persyaratan.
b. Petugas menerima dan meneliti permohonan dan persyaratan.
c. Kepala Dinas mencatat pada Register "akta" kelahiran dan Kutipan "Akta" Kelahiran.
d. Melaksanakan sidang perkawinan untuk mensahkan "akta".

Minggu, 06 Februari 2011

"OBAT SAKIT JANTUNG"

"Jantung" merupakan pusat peredaran darah. Jadi boleh juga dikatakan bahwa "jantung" adalah  merupakan pusat hidup."


Bagi orang yang menderita penyakit "jantung" dapat disamakan dengan sebelah kakinya berpijak di atas kuburan. Bagi penderita penyakit "jantung" apabila sampai mengalami pembengkakan pada "jantung"nya, maka akan mengalami rasa nyeri dan sakit pada "jantung"nya. Apabila ada orang yang mengalami sedemikian rupa, dapat mencoba resep sebagai berikut:


Bahan-bahan ramuan:
1. 3 lembar daun sirih yang bertemu kedudukan ruasnya (Bahasa Jawa: Temu rose).
2. 3 bungkul sedang bawang merah.
3. 4 buah biji buah kemukus (7 jodoh).
4. 1 sendok kecil jintan putih.

Cara membuatnya:
1. Daun sirih, bawang merah dan kemukus dicuci bersih, sedangkan jintan putih tidak perlu dicuci.
2. Lalu tumbuklah keempat bahan ini sampai halus.
3. Kemudian bubuhilah dengan air 4 sendok makan.
4. Lalu disaring.


Minumlah air dari ramuan tersebut dua kali sehari, pagi dan sore. Insya'Allah  penyakit "jantung" tersebut akan sembuh. Lakukan secara rutin.

"MENYEMBUHKAN TBC ATAU TUBERCOLUSA"

"Tubercolusa" atau yang biasa disebut "TBC" merupakan penyakit khusus yang penderitanya sering disinyalir dan diasingkan di tempat khusus."


Penyakit "Tubercolusa" merupakan penyakit yang berbahaya dan menyiksa bagi sang penderita. Untuk menyembuhkan penyakit "Tubercolusa", supaya penderita dapat lebih segar dan gemuk, apabila mempergunakan pengobatan tradisional, sebagai berikut:
1. Bahan-bahan ramuan yang akan dibuat adalah sekepak pucuk daun anom, sejenis pare yang kulitnya berbintik-bintik dan tidak terlalu sulit diperoleh. Adas pulosari satu cangkir dan gula aren dua sendok makan.
2. Daun pare anom dengan adas pulosari dicampur dengan sepanci air.
3. Rebuslah di atas api yang dinyalakan kecil saja, biarkan sampai mendidih.
4. Panci harus ditutup rapat waktu merebus kedua macam ramuan itu, biarkan kurang lebih setengah jam, sampai airnya berkurang jadi tersisa seperempat panci, baru diangkat dari atas api.
5. Campurkan gula aren sambil diaduk-aduk sampai rata sampai air rebusan tersebut menjadi dingin.
6. Minumkan pagi, siang dan malam hari setiap kali satu gelas belimbingan kepada penderita "Tubercolusa" tersebut.

Apabila setiap hari penderita "Tubercolusa" meminum teratur dan tertib ramuan ini, niscaya paru-parunya akan jauh lebih sehat dan penyakit "Tubercolusa" nya dapat disembuhkan, juga tubuhnya akan lebih sehat dan segar dalam waktu tiga bulan sudah dapat dilihat perkembangan yang menggembirakan berkat meminum ramuan tradisional ini.