Jumat, 14 Mei 2010

"UNSUR DAN FUNGSI KEBUDAYAAN BAGI MASYARAKAT".

"Kebudayaan" setiap bangsa atau "masyarakat" terdiri dari unsur-unsur besar maupun unsur-unsur kecil yang merupakan bagian dari suatu kebulatan yang bersifat sebagai kesatuan."



UNSUR UNSUR "KEBUDAYAAN".


Beberapa orang sarjana telah mencoba merumuskan unsur-unsur pokok "kebudayaan". Para antropolog yang membahas persoalan tersebut secara lebih detail, belum mempunyai kesamaan pandangan yang dapat diterima.


Antropolog C. Kluckhohn di dalam sebuah karyanya yang berjudul Universal Categories of Culture telah menguraikan ulasan para sarjana mengenai unsur-unsur "kebudayaan".


Unsur-unsur pokok atau besar "kebudayaan", yang lazim disebut Cultural Universals. Dari istilahnya saja ini dapat menunjukkan bahwa unsur-unsur tersebut bersifat universal, yaitu dapat dijumpai pada setiap "kebudayaan" di manapun di dunia ini.



Tujuh unsur "kebudayaan" yang dianggap sebagai cultural universals disini adalah:


1. Peralatan dan perlengkapan hidup manusia (pakaian, perumahan, alat-alat rumah tangga, senjata, alat-alat produksi, transport dan sebagainya).


2. Mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi (pertanian, peternakan, sistem produksi, sistem distribusi dan sebagainya).


3. Sistem ke"masyarakat"an (sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum, sistem perkawinan).


4. Bahasa (lisan maupun tertulis).


5. Kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak dan sebagainya).


6. Sistem pengetahuan.


7. Religi (sistem kepercayaan).



FUNGSI "KEBUDAYAAN" BAGI "MASYARAKAT".


"Kebudayaan" mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan "masyarakat". "Masyarakat" memiliki kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi dalam menjalani kehidupannya. Kebutuhan-kebutuhan "masyarakat" tersebut sebagian besar dipenuhi oleh "kebudayaan" yang bersumber pada "masyarakat" itu sendiri. Mengapa sebagian besar? ..... Karena kemampuan manusia terbatas sehingga kemampuan "kebudayaan" yang merupakan hasil ciptaannya juga terbatas di dalam memenuhi segala kebutuhan.


Hasil karya "masyarakat" melahirkan teknologi atau "kebudayaan" kebendaan yang mempunyai kegunaan utama di dalam melindungi "masyarakat" terhadap lingkungan dalamnya. Teknologi pada hakikatnya meliputi paling sedikit tujuh unsur, yaitu:


1. Alat-alat produktif.


2. Senjata.


3. Wadah.


4. Makanan dan minuman.


5. Pakaian dan perhiasan.


6. Tempat berlindung dan perumahan.


7. Alat-alat transport.



Dalam rangka melindungi diri terhadap lingkungan alam, pada taraf permulaan manusia bersikap menyerah dan semata-mata bertindak di dalam batas-batas untuk melindungi dirinya. Taraf seperti ini masih dijumpai pada "masyarakat" yang sampai sekarang ini masih rendah taraf "kebudayaan"nya. Taraf teknologi mereka belum mencapai tingkatan kemungkinan-kemungkinan untuk memanfaatkan dan menguasai lingkungan alamnya.


"Masyarakat" yang sudah kompleks yang taraf "kebudayaan"nya lebih tinggi, kondisinya sudah berlainan dengan taraf permulaan. Hasil karya manusia yaitu teknologi, memberikan kemungkinan-kemungkinan yang sangat luas untuk memanfaatkan hasil-hasil alam dan apabila memungkinkan ---- akan menguasai alam. Perkembangan teknologi di negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Jerman dan sebagainya, merupakan contoh di mana "masyarakat"nya tidak lagi pasif menghadapi tantangan alam sekitarnya.


Karsa "masyarakat" mewujudkan norma dan nilai-nilai sosial yang sangat perlu untuk mengadakan tata tertib dalam pergaulan ke"masyarakat"an. Karsa merupakan daya upaya manusia untuk melindungi diri terhadap kekuatan-kekuatan lain yang ada di dalam "masyarakat". Untuk menghadapi kekuatan-kekuatan yang buruk, manusia terpaksa melindungi diri dengan cara menciptakan kaidah-kaidah yang pada hakikatnya merupakan petunjuk-petunjuk tentang bagaimana manusia harus bertindak dan berlaku di dalam pergaulan hidup.


"Kebudayaan" mengatur supaya manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat menentukan sikapnya kalau mereka berhubungan dengan orang lain. Setiap orang --- bagaimanapun hidupnya, akan selalu menciptakan kebiasaan bagi dirinya sendiri. --- Kebiasaan (habit) merupakan suatu perilaku pribadi --- yang berarti kebiasaan orang seorang itu berbeda dari kebiasaan orang lain, walaupun mereka hidup dalam satu rumah. Kebiasaan menunjuk pada suatu gejala bahwa seseorang di dalam tindakan-tindakannya selalu ingin melakukan hal-hal yang teratur baginya.



KEBIASAAN (HABIT), ADAT ISTIADAT (CUSTOM) DAN POLA POLA PERILAKU (PATTERNS OF BEHAVIOR).


Kebiasaan-kebiasaan yang yang akan diakui dan dilakukan pula oleh orang-orang lain yang se"masyarakat". --- Bahkan karena begitu mendalamnya pengakuan --- akan dijadikan patokan bagi orang lain --- bahkan mungkin akan dijadikan peraturan. Peraturan yang dijadikan dasar bagi hubungan antara orang-orang tertentu sehingga tingkah laku atau tindakan masing-masing dapat diatur menimbulkan norma atau kaidah. --- Kaidah yang timbul dari "masyarakat" sesuai dengan kebutuhannya pada suatu saat lazimnya dinamakan adat istiadat (custom).


Di samping custom, ada kaidah-kaidah yang dinamakan peraturan (hukum), yang biasanya sengaja dibuat dan mempunyai sanksi tegas. Peraturan bertujuan membawa suatu keserasian dan memperhatikan hal-hal yang bersangkut-paut dengan keadaan lahiriah maupun batiniah manusia. Peraturan (hukum) dibuat oleh negara atau badan-badan negara yang diberi wewenang, seperti MPR, DPR di Indonesia, pemerintah dan sebagainya. Ada yang bersifat tertulis dan tidak tertulis, di mana yang terakhir di Indonesia dinamakan hukum adat.


Di dalam setiap "masyarakat" terdapat pola-pola perilaku atau patterns of behavior --- yaitu merupakan cara-cara "masyarakat" bertindak atau berkelakuan yang sama dan harus diikuti oleh semua anggota "masyarakat" tersebut.


Pola-pola perilaku berbeda dengan kebiasaan. Kebiasaan merupakan cara bertindak seseorang anggota "masyarakat" yang kemudian diakui dan mungkin diikuti oleh orang lain. Pola perilaku dan norma-norma yang dilakukan dan dilaksanakan pada khususnya apabila seseorang berhubungan dengan orang-orang lain --- dinamakan social organization. Kebiasaan tidak perlu dilakukan seseorang di dalam berhubungan dengan orang lain.


Khusus dalam mengatur hubungan antar manusia, "kebudayaan" dinamakan pula struktur normatif atau menurut Ralph Linton, designs for lifing (garis-garis atau petunjuk dalam hidup) --- Yang dapat diartikan bahwa "kebudayaan" adalah suatu garis-garis pokok tentang perilaku atau blueprint for behavior, yang menetapkan peraturan-peraturan mengenai apa yang seharusnya dilakukan, apa yang dilarang dan sebagainya.


Kaidah-kaidah "kebudayaan" berarti peraturan tentang tingkah laku atau tindakan yang harus dilakukan dalam suatu keadaan tertentu --- yang mencakup tujuan "kebudayaan" maupun cara-cara yang dianggap baik untuk mencapai tujuan tersebut. Kaidah-kaidah "kebudayaan" mencakup peraturan-peraturan yang beraneka warna yang mencakup bidang yang sangat luas. Namun --- untuk kepentingan penelitian "masyarakat", secara sosiologis dapat dibatasi pada empat hal sebagai berikut:


1. Kaidah-kaidah yang dipergunakan secara luas dalam suatu kelompok manusia tertentu.


2. Kekuasaan yang memperlakukan kaidah-kaidah tersebut.


3. Unsur-unsur formal kaidah itu.


4. Hubungannya dengan ketentuan-ketentuan hidup lainnya.



Berlakunya kaidah dalam suatu kelompok manusia sangat tergantung pada kekuatan kaidah tersebut sebagai petunjuk tentang bagaimana seseorang harus berlaku --- Yaitu sampai seberapa jauh kaidah-kaidah tersebut diterima oleh anggota kelompok sebagai petunjuk perilaku yang pantas.


Jika manusia sudah dapat mempertahankan diri dan beradaptasi dengan alam, juga telah dapat hidup dengan manusia-manusia lain dalam suasana damai, maka timbullah keinginan manusia untuk menciptakan sesuatu untuk menyatakan perasaan dan keinginannya kepada orang lain, yang juga merupakan fungsi "kebudayaan". Misalnya kesenian yang dapat berupa seni suara, seni musik, seni tari, seni lukis dan sebagainya. Hal ini bertujuan, disamping untuk mengatur hubungan antar manusia, juga untuk mewujudkan perasaan-perasaan seseorang. Dengan demikian --- Fungsi "kebudayaan" sangat besar bagi manusia, yaitu untuk melindungi diri terhadap alam, mengatur hubungan antar manusia dan sebagai wadah segenap perasaan manusia.

(Sumber: Sosiologi Suatu Pengantar, Oleh Soerjono Soekanto).



"KEKUATAN CINTA ABADI - AGAPE"

"Benarkah anggapan bahwa "cinta" merupakan sebuah hasrat yang dipicu oleh suatu perasaan tertarik pada apa yang kita lihat, kita dengar atau kita sentuh?"



Barangkali memang itulah "cinta" yang selama ini banyak kita praktekkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Kita dibuat kesal dan marah apabila yang kita "cinta"i tidak memberikan apa yang kita inginkan. Padahal ini bukanlah merupakan "cinta" yang sesungguhnya. "Cinta" semacam ini bukanlah "agape".


"Cinta" yang penuh hasrat, nafsu (birahi), hanya akan membawa kita pada kehancuran akibat hilangnya energi kesucian "cinta". "Cinta" semacam ini yang kita praktekkan, sebaiknya segera kita buang jauh jauh dari jiwa kita.



"CINTA" TANPA PAMRIH - "AGAPE".


"Cinta" merupakan kata yang sudah biasa dibicarakan manusia sejak jaman dahulu kala.... Namun tentang kualitas "cinta", hanya minoritas orang yang mampu untuk mengungkapkannya. Telah berjuta-juta puisi ditulis untuk mengucapkan kata "cinta", namun belum mewakili arti dari "cinta" yang sesungguhnya. "Cinta" sendiri sangat sulit didefinisikan.


"Agape" adalah kata dalam bahasa Yunani, yang artinya Memberi Tanpa Pamrih. "Cinta" tanpa pamrih itulah "agape". Jenis "cinta" semacam inilah yang abadi dan tidak lekang dimangsa jaman. "Cinta" semacam ini akan tumbuh dan terus tumbuh meski dibenci ataupun dicaci maki.


"Agape" mengajarkan kepada kita sebuah ketulusan dalam menjalin hubungan, memberi tanpa pamrih, penuh kelimpahan dan kasih sayang yang tidak didasarkan oleh apapun, hanya men"cinta"i dengan tulus tanpa berharap apapun. Sulit memang, namun "agape" akan membawa berkah dalam hidup ini.....


"Agape" akan mengantarkan kita pada kebahagiaan yang tidak berbatas, karena mampu memberi dengan tulus. Tidak ada dendam, kebencian ataupun sesal dalam memberi. Hidup akan lebih berenergi dan akan menyebarkan kebaikan pada yang lain tanpa mengharap apapun dari yang kita beri.


"Cinta" tidak berbatas adalah "cinta" yang bersifat total dan konstan terhadap siapapun, tanpa terkecuali. "Cinta" Allah yang tidak berbatas barangkali merupakan kenyataan yang paling mendasar; Sedangkan "cinta" yang lain hanyalah pemahaman singkat manusia dan makhluk fana lainnya. Semua agama di dunia telah mengajarkan kepada kita bagaimana cara men"cinta"i dan mengabdikan diri.


"Cinta" yang berada di tingkat tertinggi dan tidak memiliki batasan, tidak pernah menuntut balasan apapun. "Cinta" yang tidak berbatas men"cinta"i dengan cara yang sederhana, atas nama "cinta". Ia tidak peduli dengan apa atau siapa ia men"cinta"i dan tidak mempersoalkan apakah "cinta"nya akan berbalas atau hanya bertepuk sebelah tangan.



"CINTA" SEBAGAI KEKUATAN SUCI.


"Cinta" tidak berbatas dapat dianggap sebagai kekuatan suci karena dapat memberikan jalan yang benar dan bermakna menuju suatu tempat dimana kita mampu melepaskan jubah pertarungan antara diri kita sendiri dan orang lain. Sebuah pertarungan yang seringkali menjadi akar dari segala kekacauan dan penderitaan umat manusia. Hidup ini sebenarnya memiliki keindahan alami yang tidak terbayangkan yang hanya akan bersinar dengan sangat terang saat kita membuang jauh segala pikiran sempit dan prasangka.


Kita barangkali dapat melihat "cinta" dalam perbuatan orang lain saat mereka mengekspresikan energi yang ada dalam diri mereka untuk melayani orang lain. "Cinta" adalah kekuatan tersimpan yang apabila dibiarkan untuk boleh diekspresikan dalam hidup seseorang, maka ia akan dapat merubah disharmoni, menyembuhkan penyakit, merubah kondisi negatif menjadi positif dalam kesatuan yang harmonis. "Cinta" akan selalu membawa dampak positif. ...... Namun jangan mencampuradukkan antara sentimen dan simpati dengan "cinta".


"Cinta"lah yang mendorong kita untuk melakukan segala sesuatu. Aktivitas yang kita lakukan adalah menifestasi dari satu kata ..... "CINTA".


Ketika hati kita dipenuhi oleh "cinta", kita tidak akan bersikap kritis atau mudah tersinggung, namun kita akan menjadi seseorang yang sangat menarik dan menyenangkan.


Dengan "cinta" yang tidak bertepi seseorang dapat masuk ke dalam dimensi kesatuan spiritualitas, keseluruhan dan penuh kedewasaan. "Cinta" yang dewasa dapat menjadi jalan dari pengaruh spiritual yang memecah tembok pemisah antara kita dengan yang lain. Spiritualitas "cinta" yang dewasa dapat menyatukan kita lebih dekat dengan Allah SWT dan dengan mereka yang berada di sekitar kita. Sesungguhnya dunia kita akan menjadi tempat yang lebih baik ketika kekuatan "cinta" menggantikan "cinta" akan kekuatan. Dapat dikatakan bahwa tidak ada kekuatan dalam alam semesta ini yang lebih besar dari pada "cinta", dan tidak ada kegiatan yang lebih penting kecuali men"cinta"i.



MEREALISASIKAN "AGAPE" -- "CINTA" TIDAK BERBATAS.


"Agape" adalah cinta pada sesama, memberi tanpa mengharapkan balasan. Ini adalah "cinta" yang tumbuh ketika kita memberikannya pada orang lain. "Agape" merupakan "cinta" yang tidak egois, memberikan dirinya tanpa mengharapkan balasan apapun.


Jauh lebih penting kita belajar bagaimana memberikan "cinta" dari pada menerimanya. Dunia seisinya bisa saja men"cinta"i kita dan kita masih tetap sedih. Tantangan terbesar bukanlah mendapatkan "cinta" melainkan memberikannya. Dan spirit kita yang diberikan berada di dalamnya.


Meski "cinta" tak berbatas ini mungkin sulit dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari, sebenarnya sifatnya sangat sederhana dan biasa, yakni dengan rendah hati membuka diri sekaligus bersikap ramah pada setiap orang dengan tanpa syarat.


Kita sering melihat dengan jelas "cinta" yang tidak berbatas dalam permulaan dan akhir --- Pada kelahiran, kematian dan ketika pertama kali jatuh "cinta". Semua itu adalah waktu kita sedikit di bawah pengaruh pola-pola persepsi yang biasanya dan sudah terkondisikan.


Untuk menjaga hati tetap terbuka bukan berarti kita mengesampingkan semua kehati-hatian.


Ketika kita melakukan "agape", akan menjadi mudah bagi kita untuk men"cinta"i musuh kita, untuk bertoleransi kepada mereka yang menjengkelkan kita, dan untuk menemukan dalam diri setiap orang yang kita temui, sesuatu untuk kita hargai.



PERBEDAAN "CINTA" SUCI DAN "CINTA" MANUSIAWI.


1. "Cinta" suci didasarkan pada kesadaran spiritual akan kesatuan dan keutuhan seluruh umat manusia, sementara itu "cinta" manusiawi sepertinya difokuskan pada kebutuhan dan hasrat individu yang personal.


2. "Cinta" suci menanggapi dengan perasaan, sedangkan "cinta" manusiawi seringkali bergerak dari kekurangan perasaan.


3. "Cinta" suci dapat mengambil inisiatif yang penuh kasih, sedangkan "cinta" manusiawi dapat menjadi agresif ketika menginginkan "cinta" yang lain.


4. "Cinta" suci tidak berbatas dan menghasilkan kesabaran, pemaafan, toleransi, pemberian dan rasa syukur serta do'a; sedangkan "cinta" manusiawi dapat sebaliknya.


5. "Cinta" suci tidak meminta sesuatu dalam berhubungan, tidak mengharap imbalan; sedangkan "cinta" manusiawi kebanyakan sebaliknya.


"Agape" - "cinta" suci menuntut bahwa kita harus memberikan kebebasan kepada prang lain untuk membalas atau tidak membalas terhadap "cinta" kita.


"Cinta" suci dapat menemukan jalan untuk menyesuaikan, menyembuhkan atau memberikan solusi terhadap persoalan-persoalan atau situasi apapun.


Orang yang menjalankan "agape" menjadi lebih baik setiap waktu. Mereka menjadi baik hati, lebih sabar, lebih toleran dan peka.......


Sesungguhnya Allah men"cinta"i kita, melebihi apapun yang pernah kita bayangkan.......


(Sumber: agape "Cinta" Abadi Yang Tak Terbatas--Kekuatan Kreatif Abadi Yang Diberkahi, Oleh Sir John Templeton).


"Cinta" suci.........
"Cinta" abadi.........
Dambaan semua insan......
Untuk menumbuhkan perdamaian.....
Masih adakah dalam kehidupan fana....