Sabtu, 16 Januari 2010

"PERANGKAP (MATA RANTAI) KEMISKINAN"

"Perangkap kemiskinan" mempunyai pengertian yang jauh lebih kompleks dari pada "kemiskinan" itu sendiri."



" Kemiskinan" hanya merupakan salah satu dimensi dari "perangkap kemiskinan". Menurut Robert Chambers, selain "kemiskinan" itu sendiri, unsur-unsur yang terkandung dalam "perangkap kemiskinan" adalah kerentanan, kelemahan jasmani, ketidak-berdayaan dan derajad isolasi.


"Kemiskinan", merupakan faktor yang paling menentukan dibandingkan faktor-faktor lainnya. "Kemiskinan" mengakibatkan kelemahan jasmani karena kekurangan makan, yang pada gilirannya menghasilkan ukuran tubuh yang lebih kecil, kekurangan gizi menjadikan daya tahan tubuh rendah dan mudah terserang penyakit, padahal tidak ada uang untuk berobat; orangpun tersisih, karena tidak mampu membiayai sekolah, membeli pesawat radio atau sepeda, menyediakan ongkos untuk mencari kerja; orang menjadi rentan terhadap keadaan darurat atau kebutuhan mendesak karena tidak mempunyai kekayaan; dan menjadi tidak berdaya karena kehilangan kesejahteraan dan mempunyai kedudukan yang rendah; orang miskin, tidak mempunyai suara.


Kelemahan jasmani suatu rumah tangga mendorong orang ke arah "kemiskinan"; tingkat produktivitas rendah; tidak mampu bekerja lebih lama; dan sebagainya. Tubuh yang lemah juga sering membuat seseorang tersisih karena tidak ada waktu atau tidak kuat mengikuti pertemuan-pertemuan untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan baru yang bermanfaat. Jasmani yang lemah memperpanjang kerentanan seseorang karena terbatasnya kemampuan untuk mengatasi krisis. Tubuh yang lemah menjadikan orang merasa tidak berdaya, karena kekurangan tenaga dan waktu untuk berorganisasi dan berpolitik; orang yang kelaparan dan sakit-sakitan tidak akan berani berbuat macam-macam.


Isolasi (karena tidak berpendidikan, tempat tinggal yang jauh terpencil atau di luar jangkauan komunikasi), menopang "kemiskinan". Bantuan sulit menjangkau mereka; orang yang buta huruf menjauhkan mereka dari informasi yang mempunyai nilai ekonomi serta menutup kemungkinan masuk dalam daftar penerima kredit. Isolasi bergandengan dengan kelemahan jasmani; rumah tangga yang hidup jauh terpencil mungkin ditinggal pergi oleh anggota keluarga dewasa untuk mencari kerja ke kota atau desa lain. Isolasi memperkuat kerentanan. Isolasi berarti kurang hubungan dengan para pemimpin politik atau bantuan hukum, serta tidak tahu apa yang dilakukan penguasa.


Kerentanan adalah salah satu mata rantai yang paling banyak mempunyai jalinan. Faktor ini berkaitan dengan "kemiskinan" karena orang terpaksa menjual atau menggadaikan kekayaan; berkaitan dengan kelemahan jasmani untuk menangani keadaan darurat; waktu dan tenaga ditukarkan dengan uang; kaitannya dengan isolasi berupa sikap menyingkirkan diri baik secara fisik (menyingkir ke tempat yang jauh) maupun secara sosial (menjauhi pergaulan), serta ketergantungan terhadap majikan atau orang yang dijadikan gantungan hidupnya.


Ketidakberdayaan mendorong proses pemiskinan dalam berbagai bentuk, antara lain yang terpenting adalah pemerasan oleh kaum yang lebih kuat. Orang yang tidak berdaya menempatkan dirinya selalu pada pihak yang dirugikan. Faktor inipun mendorong kelemahan jasmani, karena waktu dan tenaga dicurahkan untuk memperoleh akses. Isolasi berkaitan dengan ketidakberdayaan melalui ketidakmampuan mereka menarik bantuan pemerintah. Orang yang tidak berdaya juga membuat orang miskin lebih rentan terhadap tuntutan untuk membayar hutang, terhadap ancaman hukuman atau denda, atau terhadap penyalah-gunaan wewenang yang merugikan dirinya.


Kelima mata rantai di atas oleh Robert Chambers disebut lingkaran setan, sindrom "kemiskinan" atau "perangkap kemiskinan". Antara unsur yang satu dengan unsur yang lain saling mempengaruhi.

"PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA DAN KEMISKINAN"

"Pembangunan masyarakat desa" pada hakekatnya bertujuan meningkatkan taraf hidup "masyarakat" secara keseluruhan agar lebih baik, lebih menyenangkan dan mengenakkan warga "masyarakat" dari keadaan sebelumnya."

Mencapai kesejahteraan, itulah yang menjadi tujuannya.



"Pembangunan masyarakat desa" dan tujuannya selalu dikaitkan dengan masalah "kemiskinan", yang dialami oleh sebagian "masyarakat" dalam kategori "masyarakat desa", dan lebih khusus lagi "masyarakat" nelayan dan petani kecil."


Hambatan dalam pelaksanaan "pembangunan masyarakat desa" di negara-negara Dunia Ketiga, antara lain adalah keadaan penduduk yang sangat "miskin", kebodohan dan pengalaman-pengalaman mereka yang serba menyusahkan dan menyedihkan di masa lampau, menyebabkan para petani dan nelayan pada umumnya dicekam rasa takut, menjadi apatis, berserah diri pada nasib (yang jelek), tidak ada keberanian untuk mencapai prestasi secara individu, tidak ada keberanian menanggung resiko untuk merubah nasib mereka yang bagaikan berada di dalam rawa-rawa yang memerlukan pertolongan dari luar untuk menariknya.


Sebenarnya, apa yang dinamakan "miskin" di manapun akan memperlihatkan wajah atau raut muka yang sama. Mereka yang hidup "miskin" di perkotaan, memiliki atribut ke"miskin"an yang tidaklah berbeda dengan sobat-sobat mereka di pe"desa"an. Hanya ada sedikit kelainan dalam hal hubungan-hubungan sosial-ekonomi. Dan lingkungan hidupnya barangkali memberi kekhasan bagi ke"miskin"an di perkotaan. Antara lain dapat disebutkan adanya heterogenitas kelompok "miskin", hubungan sosial-ekonomi yang relatif 'ketat' dari pada di pe"desa"an dan ke"miskin"an di perkotaan, ini seringkali berkaitan erat dengan kriminalitas dari perilaku kekerasan dalam "masyarakat" kota.



Dapat dikatakan bahwa dalam era "pembangunan" Indonesia dewasa ini hampir semua program-program "pembangunan" sektoral adalah menuju kepada menghilangkan atau setidak-tidaknya mengurangi tingkat "kemiskinan". Artinya, laju pertumbuhan sebagai akibat "pembangunan" itu, pasti akan berdampak positif bagi pengurangan "kemiskinan" tahap demi tahap.



Dalam tahap-tahap "pembangunan" sebelum 1980, pelaksanaan "pembangunan" masih dapat menoleransi tingkat "kemiskinan" yang tinggi. Misalnya, lebih dari 30 % jumlah penduduk masih ada di bawah garis "kemiskinan".



Dalam sikap toleransi itu, trilogi "pembangunan" unsur pemerataan "pembangunan" dan hasil-hasil "pembangunan" belum memperoleh urutan prioritas pertama. Tetapi, dalam "pembangunan" dewasa ini, yang sudah melewati jangka waktu 29 tahun lebih, unsur pemerataan sudah waktunya dan sepantasnya memperoleh perhatian utama dan penanganan yang sungguh-sungguh.



Di Indonesia pada tahun 1980-an, tingkat "kemiskinan" di daerah perkotaan relatif lebih tinggi dari pada tingkat "kemiskinan" di daerah pe"desa"an. Gejala ini adalah kebalikan dari kenyataan dalam tahun 1970-an, yang menunjukkan tingkat "kemiskinan" di daerah pe"desa"an lebih tinggi dari pada tingkat "kemiskinan" di daerah perkotaan.



Pada tahun 1976, prosentase penduduk "miskin" di daerah pe"desa"an 40,4 % sedangkan di daerah perkotaan 38,8 % dari masing-masing jumlah penduduknya. Sebaliknya, pada tahun 1987 prosentase penduduk "miskin" daerah pe"desa"an 16,4 % dan di daerah perkotaan 20,1 %. Daerah perkotaan, yang pada umumnya laju "pembangunan"nya, jauh lebih pesat, mempunyai tingkat "kemiskinan" yang relatif lebih tinggi dari pada daerah pe"desa"an.



Tingginya tingkat "kemiskinan" di daerah perkotaan, yang relatif lebih tinggi dari pada daerah pe"desa"an, antara lain disebabkan oleh makin derasnya arus migrasi penduduk "miskin" dari pe"desa"an ke daerah perkotaan. Arus migrasi yang makin besar ini didorong oleh beberapa kesenjangan sosial ekonomi antara kota dan "desa". Makin besar perbedaan laju perkembangan/"pembangunan" antara kota dan "desa", serta makin kurang meratanya "pembangunan" antara kota dan "desa" menyebabkan kesenjangan ekonomi dua wilayah itu makin besar. Perkembangan dan



"pembangunan" di daerah perkotaan tidak mempunyai kaitan dan sering tidak secara sadar dikaitkan dengan perkembangan dan "pembangunan" daerah pe"desa"an. Terjadi suatu disintegrasi antara dua wilayah yang berdampingan.



Sejalan dengan arus migrasi ke daerah perkotaan itu, tumbuhlah berbagai kegiatan ekonomi yang terkelompokkan dalam sektor informasi yang hidup berdampingan dengan sektor formal di daerah perkotaan. Kehadiran sektor informal bersama-sama dengan sektor formal di perkotaan akan memberikan gambaran yang berbeda dalam kehidupan sosial ekonomi perkotaan, bila dibandingkan dengan pola kehidupan pe"desa"an.


Migrasi ke daerah perkotaan tadi, terjadi karena ketidak-berhasilan pelaksanaan "pembangunan" di pe"desa"an. Penduduk desa merasa tidak puas hidup di "desa", sehingga mereka ingin menikmati hidup di kota, mencari pengalaman bekerja di kota padahal mereka tidak mempunyai keterampilan apa-apa.



Menurut Drs. N. Daldjoeni, migrasi ke daerah perkotaan ini akan mengakibatkan terlampau besarnya proporsi penduduk secara nasional atau regional yang bertumpuk undung di perkotaan. Hal ini akan menimbulkan masalah misalnya: terbatasnya industri modern menyajikan pekerjaan kepada migran, terlalu luasnya cakupan kegiatan ekonomi sektor informal, serta meratanya pengangguran yang terselubung di perkotaan.



Mengingat permasalahan-permasalahan di atas, maka "pembangunan masyarakat desa" perlu lebih ditingkatkan lagi, sehingga permasalahan-permasalahan tersebut tidak akan berlarut-larut dan semakin parah.


"PERSPEKTIF TENTANG KEMISKINAN"

"Kemiskinan" kultural bukanlah bawaan, melainkan akibat dari ketidak-mampuan menghadapi "kemiskinan" yang berkepanjangan."


Menurut Abdul Syani, "kemiskinan" dapat diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang atau keluarga yang tidak mempunyai kemampuan untuk menghidupi dirinya atau keluarganya sendiri, seperti layaknya kehidupan orang lain, kelompok lain atau anggota-anggota "masyarakat" pada umumnya.


Penganut teori fungsional, Herbert Gans, menilai "kemiskinan" mempunyai fungsi dalam suatu sosial sistem, yaitu fungsi ekonomi, sosial, kultural dan politik.


Fungsi ekonomi dari "kemiskinan" meliputi:

a. Menyediakan tenaga untuk pekerjaan kotor dalam" masyarakat".


b. Menimbulkan dana-dana sosial (finds).


c. Membuka lapangan kerja baru karena dikehendaki oleh orang "miskin".


d. Pemanfaatan barang bekas yang tak dimanfaatkan oleh orang kaya.


Fungsi sosial dari "kemiskinan" meliputi:

a. "Kemiskinan" menguatkan norma-norma sosial utama dalam "masyarakat".


b. Menimbulkan altruisme terutama terhadap orang-orang "miskin" yang sangat memerlukan santunan.


c. Si kaya dapat merasakan kesusahan hidup miskin tanpa perlu mengalaminya sendiri dengan membayangkan kehidupan si "miskin".


d. Orang miskin menyediakan ukuran kemajuan (Rod) bagi kelas yang lain.


e. Membantu kelompok lain yang sedang berusaha sebagai anak tangganya.


f. "Kemiskinan" menyediakan alasan untuk munculnya kalangan orang kaya yang membantu orang miskin dengan berbagai badan amal.


Fungsi kultural dari "kemiskinan" meliputi:

a. "Kemiskinan" menyediakan tenaga fisik yang diperlukan untuk pembangunan monumen-monumen kebudayaan.


b. Kultur orang "miskin" sering diterima pula oleh strata sosial yang berada di atas mereka.



Fungsi Politik dari "kemiskinan" meliputi:

a. Orang miskin berjasa sebagai kelompok gelisah atau menjadi musuh bagi kelompok politik tertentu.


b. Pokok isu mengenai perubahan dan pertumbuhan dalam "masyarakat" (terutama di AS) selalu diletakkan di atas masalah bagaimana membantu orang "miskin".


c. "Kemiskinan" menyebabkan sistem politik (di AS) menjadi lebih centrist dan lebih stabis.


Meskipun Gans mengemukakan sejumlah fungsi "kemiskinan", tapi itu tidak berarti bahwa ia setuju dengan institusi tersebut.


Implikasi dari pendapat Gans ini adalah bahwa jika orang ingin menyingkirkan "kemiskinan", maka orang harus mampu mencari alternatif untuk orang "miskin" berupa aneka macam fungsi baru. Alternatif yang diusulkan oleh Gans adalah otomatisasi. Otomatisasi dapat menggantikan fungsi si "miskin" yang semula mengerjakan pekerjaan kotor, utnuk kemudian dapat dialihkan kepada fungsi yang lain yang memberikan upah yang lebih tinggi.


Gans menyimpulkan adanya tiga alasan yang menyebabkan "kemiskinan" itu tetap berlangsung dalam "masyarakat":

a. "Kemiskinan" masih tetap fungsional terhadap berbagai unit dalam "masyarakat".


b. Belum adanya alternatif lain atau baru untuk berbagai pelaksanaan fungsi bagi orang "miskin".


c. Alternatif yang ada masih saja lebih mahal dari pada imbalan kesenangan yang diberikannya.


"Kemiskinan" akan lenyap melalui dua syarat:

a. Bila "kemiskinan" itu sudah sedemikian tidak berfungsi lagi bagi kemakmuran.


b. Bila orang "miskin" berusaha sekuat tenaga untuk mengubah sistem yang dominan dalam stratifikasi sosial.


"Kemiskinan" antara lain ditandai dengan keterbatasan/kurangnya kemampuan ekonomi, keterampilan, pendidikan, rendahnya tingkat kesehatan, rendahnya keadaan gizi keluarga, terbatasnya lapangan dan kesempatan kerja.


Apabila kondisi-kondisi tersebut dilihat dari pola hubungan sebab akibat, maka orang "miskin" adalah mereka yang serba kurang mampu dan terbelit di dalam lingkaran ketidak-berdayaan. Rendahnya pendapatan mengakibatkan rendahnya pendidikan dan kesehatan sehingga mempengaruhi produktivitas. Masalah mereka yang paling menonjol berkisar pada keterbatasan kemampuan memenuhi kebutuhan dasar manusia.

Menurut Soetandyo Wignjosoebroto, bahwa orang yang mengalami "kemiskinan" tidaklah akan banyak berdaya. Jangankan utnuk mengembangkan diri (jasmani maupun rohani), untuk bertahan menegakkan hidup fisiknya pada taraf yang subsisten saja terkadang tidak mampu. Kian "miskin" dan kian diper"miskin" hidup seseorang akan kian rendah dan menurun pulalah tingkat keberdayaannya. Kebeerdayaan ini merupakan fungsi kebudayaan. Artinya, berdaya tidaknya seseorang dalam kehidupan ber"masyarakat"nya itu dalam kenyataan akan banyak ditentukan dan dipengaruhi oleh determinan-determinan sosial budayanya (seperti misalnya posisi, status dan wawasan yang dipunyainya); dan sebaliknya, semua fasilitas sosial budaya yang teraih dan dapat didayagunakan olehnya itu akan pula menentukan keberdayaannya kelak di dalam pengembangan dirinya di tengah "masyarakat". Ini merupakan suatu lingkaran setan, dimana orang-orang "miskin" yang tak berdaya acapkali terjebak di dalamnya, dan karena itu sulit melepaskan diri dari nasib buruknya itu. Maka, dari itu lahirlah sinyalemen yang menyatakan bahwa "kemiskinan": itu menghasilkan "kemiskinan", dan bahwa seseorang yang miskin itu "miskin" karena miskin.


Sedangkan menurut Ramlan Surbakti, "kemiskinan" ditinjau dari sifatnya dibedakan menjadi "kemiskinan" absolut dan "kemiskinan" relatif. "kemiskinan" suka rela dan "kemiskinan" terpaksa.


"Kemiskinan" absolut muncul dari nilai-nilai kemanusiaan (menyangkut harkat dan martabat manusia), sedanagkan "kemiskinan" relatif lebih menyangkut persepsi diri sebagai orang miskin karena adanya kesenjangan yang lebar dalam pemikiran dan/atau penguasaan harta benda dan dalam cara dan kecepatan memperolehnya. "Kemiskinan" absolut maupun "kemiskinan" relatif merupakan "kemiskinan" karena terpaksa. "Kemiskinan" sukarela lebih merupakan pilihan pandangan hidup yang dianggap lebih ideal. Para agamawan ataupun penghayat kebatinan yang lebih mementingkan dunia spiritual dari pada dunia wadah termasuk orang-orang yang memiliki pandangan hidup seperti ini. Dari faktor penyebabnya, "kemiskinan" dibedakan menjadi "kemiskinan" kultural, "kemiskinan" sumber daya ekonomi, dan "kemiskinan" struktural. Perasaan marjinalitas yang kuat, fatalisme, putus asa, ketergantungan dan inferioritas, kecurigaan dan apatisme merupakan sejumlah ciri-ciri kepribadian disfungsional yang timbul sebagai respon terhadap deprivasi ekonomi.


"Kemiskinan" kultural bukanlah bawaan, melainkan akibat dari ketidak-mampuan menghadapi "kemiskinan" yang berkepanjangan. "Kemiskinan" bukanlah sebab melainkan akibat. Sikap-sikap seperti ini diabadikan melalui proses sosialisasi dari generasi ke generasi.


"Kemiskinan" sumber daya ekonomi melihat akar "kemiskinan" terletak pada ketidak-punyaan sumber daya ekonomi, seperti tanah dan modal, pendidikan dan keterampilan, karena pertambahan penduduk yang pesat tidak seiring dengan sumber daya ekonomi yang tersedia. Akibatnya tidak hanya semakin banyak petani gurem dan buruh tani tetapi juga surplus tenaga kerja.


"Kemiskinan" struktural merupakan "kemiskinan" yang dibuat oleh manusia yang memiliki kekuasaan ekonomi dan politik. Perampasan dan akumulasi sumber daya ekonomi ini dilakukan oleh elit ekonomi dan politik yang tingga di kota dan atau di negara lain baik melalui mekanisasi dan komersialisasi pertanian di pedesaan maupun industrialisasi yang menggunakan teknologi padat modal. Perampasan dan akumulasi seperti ini tidak hanya dibenarkan tetapi juga dilaksanakan melalui kebijakan politik yang diputuskan dan diselenggarakan pemerintah. Akibatnya hanya sekelompok kecil orang pemilik sumber daya ekonomi dan atau orang-orang yang memiliki akses terhadap penggunaan sumber daya ekonomi politik saja yang beruntung menikmatinya. Sebagian "masyarakat" lainnya tidak hanya tak memiliki akses pada penggunaan sumber daya ekonomi tetapi juga akses pada kekuasaan politik. Disebut "kemiskinan" struktural karena yang membuat sebagian "masyarakat' miskin adalah bukan orang per orang melainkan struktural ekonomi dan politik yang tak hanya berifat eksploitatif terhadap pihak yang kurang memiliki sumber daya tetapi juga hanya berpihak kepada orang-orang yang memiliki akses ekonomi dan politik.


Kalau melihat begitu kompleksnya permasalahan "kemiskinan" ini, tidaj hanya akan mencegah kita membuat program yang asal ada program (supaya dianggap sudah memiliki komitmen dan telah bertindak) tetapi juga akan membuat kita rendah hati untuk berbagi tugas diantara pemerintah dan unsur-unsur "masyarakat" (seperti Lembaga Swadaya "Masyarakat"/LSM dan orang "miskin" sendiri) untuk menangani permasalahan ini.