Sabtu, 09 Januari 2010

"STRUKTUR SOSIAL PADA ORGANISASI SOSIAL MASYARAKAT"

"Pada hakekatnya "struktur sosial" berpengaruh terhadap tingkah laku manusia dan perubahan tingkah laku dalam menjawab rangsangan dari luar."



Pembahasan "struktur sosial" sangat erat hubungannya dengan sistem "sosial". Kalau sistem "sosial " lebih menitik beratkan pada sejumlah orang/kelompok dan kegiatannya yang mempunyai hubungan timbal-balik relatif tetap, sedang "struktur sosial" membahas pola hak dan kewajiban para pelaku dalam suatu sistem interaksi yang terwujud dari rangkaian-rangkaian hubungan sosial yang relatif stabil dalam suatu jangka waktu tertentu. Gunawan Wiradi menyatakan, bahwa "struktur sosial" terdiri atas seperangkat unsur yang mempunyai ciri-ciri tertentu dan seperangkat hubungan diantara unsur-unsur tersebut.



Hak dan status para pelaku dihubungkan dengan status dan peranan pelaku masing-masing, status dan peranan itu bersumber pada sistem penggolongan yang ada dalam kebudayaan "masyarakat" yang bersangkutan. Status dan peranan berlaku menurut masing-masing kesatuan sosial dan situasi interaksi sosial.



Sederhana atau kompleksnya "struktur sosial" suatu "masyarakat" tergantung dari keadaan "masyarakat". "Masyarakat" primitif atau terasing umumnya mempunyai "struktur sosial" yang sederhana dan terutama ditentukan oleh corak sistem kekerabatannya. Sedangkan pada "masyarakat" yang sudah maju, "struktur sosial" umumnya sangat kompleks, dan tidak hanya bersumber pada sistem kekerabatan, tetapi juga ditentukan oleh sistem ekonomi, sistem pelapisan sosial dan sebagainya yang merupakan kombinasi. (Sumber: Jabal Tarik Ibrahim).


PENGARUH "STRUTUR SOSIAL" TERHADAP DIFUSI INOVASI.

Menurut Rogers dan Schoemaker, anggota sistem "sosial" mempunyai perbedaan sedemikian rupa sehingga tercipta suatu "struktur sosial" di dalamnya. "Struktur sosial" disusun dari status dan posisi anggota dalam suatu sistem. Pada hakekatnya dalam suatu sistem "sosial" selalu terdapat "struktur sosial".


Pada hakekatnya "struktur sosial" berpengaruh terhadap tingkah laku manusia dan perubahan tingkah laku dalam menjawab rangsangan dari luar. "Struktur sosial" dapat merintangi atau memudahkan proses difusi, dan sebaliknya difusi dapat mengubah "struktur sosial" suatu "masyarakat".


"Struktur sosial" merintangi atau memudahkan cepatnya penyebaran ide baru dan pengadopsian inovasi melalui apa yang disebut efek sistem. Norma-norma "sosial" dan hirarki yang ada dalam suatu sistem "sosial" mempengaruhi perilaku anggota-anggotanya. Inovatif tidaknya seseorang dapat dipengaruhi oleh dua variabel, yaitu :

a. Variabel kepribadian seseorang, yakni komunikasi "sosial"nya, sikap-sikapnya, pendidikannya dan lain-lain.


b. Ciri-ciri sistem "sosial" yang melengkapinya, modern atau tradisional.


Dalam beberapa hal kita dapat menemui seseorang yang hidup di lingkungan "masyarakat" yang kolot, tetapi tetap menunjukkan kemoderatannya dalam kehidupan. Kasus seperti ini menunjukkan bahwa dia memang mempunyai hubungan sosial yang luas, punya sikap terbuka terhadap perubahan, atau mungkin dia terdidik walaupun sistem sosial di sekitarnya kolot. Kejadian ini menunjukkan bahwa variabel yang berpengaruh terhadap kemoderatannya adalah variabel kepribadian.



Sebaliknya seseorang berkepribadian kolot bila bergaul di lingkup sistem yang mempunyai ciri-ciri modern lambat laun akan bersifat moderat juga. Walaupun perilaku individu tadi tidak berubah seluruhnya. Bahkan bisa juga terjadi, di dalam suatu sistem "sosial" modern terdapat anggota-anggota "masyarakat" yang menolak pembaharuan-pembaharuan. (Sumber: Jabal Tarik Ibrahim).



"STRUTUR SOSIAL"" MASYARAKAT" INDONESIA.

Menurut Nasikun, "struktur sosial" "masyarakat" Indonesia ditandai oleh dua cirinya yang unit, yaitu :

a. Secara horizontal, "struktur sosial" "masyarakat" Indonesia ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan "sosial" berdasarkan perbedaan-perbedaan suku bangsa, perbedaan agama, adat serta perbedaan-perbedaan kedaerahan.


b. Secara vertikal, "struktur sosial" "masyarakat" Indonesia ditandai oleh adanya perbedaan yang cukup tajam. (Soleman B. Taneko, SH.).



Perbedaan suku bangsa, agama, adat dan kedaerahan seringkali disebut sebagai ciri "masyarakat" Indonesia yang bersifat majemuk. "Masyarakat " majemuk (plural societies) menurut Furnivall adalah suatu "masyarakat" yang terdiri atas dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain di dalam suatu kestuan politik. Sebagai "masyarakat" majemuk, "masyarakat" Indonesia disebut sebagai suatu type "masyarakat" daerah tropis dimana mereka yang berkuasa dan mereka yang dikuasai memiliki perbedaan ras. (Sumber: Nasikun, Drs.).


Bila disimpulkan dari konsepsi Furnivall, suatu "masyarakat" majemuk adalah suatu "masyarakat" dalam mana sistem nilai yang dianut oleh berbagai kesatuan "sosial" yang menjadi bagian-bagiannya adalah sedemikian rupa sehingga para anggota "masyarakat" kurang memiliki loyalitas terhadap "masyarakat" sebagai keseluruhan, kurang memiliki homogenitas kebudayaan atau bahkan kurang memiliki dasar-dasar untuk saling memahami satu sama lain.






Sedangkan menurut Clifford Geertz, "masyarakat" majemuk adalah merupakan "masyarakat" yang terbagi-bagi ke dalam sub-sub sistem yang kurang lebih berdiri sendiri yang masing-masing sub sistem terikat keadaan oleh ikatan-ikatan yang bersifat primordial.


Pierre L. Van dan Berghe, menyebutkan beberapa karakteristik sebagai sifat-sifat dasar dari suatu masyarakat majemuk, antara lain memiliki "struktur sosial" yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat non-komplementer.


"STRUKTUR SOSIAL" AGRARIS DI PEDESAAN JAWA.

"Masyarakat" pedesaan yang ditandai dengan kegiatan produksi pertanian, "struktur sosial"nya terbentuk berdasarkan pada "struktur sosial" agraris tertentu. "Struktur sosial" desa sebenarnya sangat kondisional, maka dari itu diperlukan kajian-kajian secara mikro.



Gunawan Wiradi, telah menarik beberapa ciri-ciri umum "struktur sosial" agraris pedesaan Jawa yang disimpulkan dari berbagai laporan penelitian, antara lain:

a. Pertanian di Jawa terdiri dari usaha tani yang luasnya sempit.


b. Pemilikan tanah cenderung sempit-sempit tetapi relatif merata bila dibanding luar Jawa maupun negara-negara berkembang lainnya.


c. Status/bentuk pemilikan tanah sangat beragam. Ada beberapa status pemilikan tanah, apakah itu berdasarkan hukum adat, kolonial maupun nasional.


d. Sebagian besar usaha tani terdiri dari usaha tani yang digarap oleh pemilik tanahnya sendiri.


e. Proporsi penggunaan tenaga kerja luar keluarga untuk kegiatan pra panen sangat besar (untuk kegiatan pemanenan lebih besar lagi).


f. Hampir semua tenaga kerja luar keluarga terdiri dari tenaga upahan/bayaran.


g. Terdapat jutaan keluarga tunakisma (orang yang tidak memiliki tanah).


h. Untuk semua lapisan "masyarakat " pedesaan, pendapatan yang berasal dari kegiatan non pertanian merupakan tambahan pendapatan yang sangat penting.


i. Hampir setiap rumah tangga di pedesaan Jawa hidup atas dasar yang disebut extrene occuptional multiplicity dengan suatu pembagian kerja yang sangat lentur diantara anggota-anggota rumah tangga. Pendapatan keluarga didapat dari berbagai sumber kehidupan pada saat-saat tertentu.


j. Terdapat kelembagaan hubungan kerja tradisional yang beragam dan rumit. (Sumber: Jabal Tarik Ibrahim).

"PENGERTIAN SISTEM SOSIAL (MENURUT SOSIOLOGI)"

"Sistem sosial" merupakan ciptaan dari manusia, dalam hal ini "sistem sosial" terjadi karena manusia adalah makhluk sosial. Ada beberapa hal yang membuat manusia menciptakan "sistem sosial", antara lain karena : ...... "




Istilah "sistem" berasal dari bahasa Yunani "Systema" yang mempunyai pengertian :

a. Suatu keseluruhan yang tersusun dari sekian banyak bagian.


b. Hubungan yang berlangsung diantara satuan-satuan atau komponen secara teratur.


Jadi, dengan kata lain istilah "systema" itu mengandung arti sehimpunan bagian atau komponen yang saling berhubungan secara teratur dan merupakan satu keseluruhan. (Sumber: Tatang M. Amirin, Drs.).


Sedangkan pengertian "sistem sosial", menurut Jabal Tarik Ibrahim dalam bukunya Sosiologi Pedesaan, adalah sejumlah kegiatan atau sejumlah orang yang mempunyai hubungan timbal balik relatif konstan. Hubungan sejumlah orang dan kegiatannya itu berlangsung terus menerus. Dari tiga hal di atas terdapat tiga hal pokok, yaitu :



a. Dalam setiap "sistem sosial" ada sejumlah orang dan kegiatannya.



b. Dalam sustu "sistem sosial", orang-orang dan atau kegiatan-kegiatan itu berhubungan secara timbal-balik.


c. Hubungan yang bersifat timbal-balik dalam suatu "sistem sosial" bersifat konstan.




Dari uraian tadi menunjukkan bahwa "sistem sosial" merupakan kesatuan yang terdiri dari bagian-bagian (elemen atau komponen), yaitu :

a. orang dan atau kelompok beserta kegiatannya.
b. Hubungan sosial, termasuk di dalamnya norma-norma, dan nilai-nilai yang mengatur hubungan antar orang atau kelompok tersebut.


"Sistem sosial" merupakan ciptaan dari manusia, dalam hal ini "sistem sosial" terjadi karena manusia adalah makhluk sosial. Ada beberapa hal yang membuat manusia menciptakan "sistem sosial", antara lain karena :

a. Manusia mempunyai kebutuhan dasar biologi tertentu seperti pangan, papan, sandang dan seks.


b. Untuk memuaskan kebutuhan ini, manusia tergantung pada organisasi-organisasi kemasyarakatan.


c. Kenyataan di atas menciptakan kebutuhan-kebutuhan lain, yaitu kebutuhan sistem pada diri individu.


d. Pada akhirnya manusia berusaha untuk memaksimumkan kepuasan dari kebutuhan dirinya.


"Sistem sosial" mempengaruhi perilaku manusia, karena di dalam suatu "sistem sosial" tercakup pula nilai-nilai dan norma-norma yang merupakan aturan perilaku anggota-anggota masyarakat. Dalam setiap "sistem sosial" pada tingkat-tingkat tertentu selalu mempertahankan batas-batas yang memisahkan dan membedakan dari lingkungannya ("sistem sosial" lainnya). Selain itu, di dalam "sistem sosial"



ditemukan juga mekanisme-mekanisme yang dipergunakan atau berfungsi mempertahankan "sistem sosial" tersebut. (Sumber: Jabal tarik Ibrahim).



MASYARAKAT DESA SEBAGAI "SISTEM SOSIAL"

Menurut Bouman, desa adalah salah satu bentuk dari kehidupan bersama sebanyak beberapa ribu orang, hampir semuanya saling mengenal; kebanyakan yang termasuk di dalamnya hidup dari pertanian, perikanan dan sebagainya, usaha-usaha yang dapat dipengaruhi oleh hukum dan kehendak alam. Di desa, terdapat ikatan-ikatan keluarga yang rapat, taat pada tradisi dan kaidah-kaidah "sosial".


Masyarakat desa merupakan "sistem sosial" yang komprehensif, artinya di dalam masyarakat desa terdapat semua bentuk pengorganisasian atau lembaga-lembaga yang diperlukan untuk kelangsungan hidup atau untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar manusia.


Di era globalisasi seperti sekarang ini, hanya ada beberapa masyarakat desa yang masih mempertahankan upaya pemenuhan kebutuhan hidup dari dalam masyarakat desa sendiri.


Dalam masyarakat desa, jumlah kelompok atau kesatuan-kesatuan "sosial" tidak hanya satu. Oleh karena itu seorang warga masyarakat dapat menjadi anggota berbagai kelompok atau kesatuan "sosial" yang ada. Misalnya atas dasar kekerabatan, tempat tinggal, agama, politik dan lain-lain. (Sumber: Jabal Tarik Ibrahim).



"UNSUR UNSUR SISTEM SOSIAL"

"Para agen pembaharu yang modernis maupun ilmuwan yang menganut teori modernisasi dalam pengembangan masyarakat membagi "sistem sosial" menjadi dua kutub besar, yaitu "sistem sosial" tradisional dan "sistem sosial" modern."



Suatu "Sistem Sosial" yang menjadi pusat perhatian berbagai ilmu "sosial", pada dasarnya merupakan wadah dari proses-proses interaksi "sosial". Secara struktural, suatu "sistem sosial" akan mempunyai unsur-unsur pokok dan unsur-unsur pokok ini merupakan bagian yang menyatu di dalam "sistem sosial".


Menurut Alvin L. Bertrand, unsur-unsur pokok "sistem sosial" adalah sebagai berikut :

1. Keyakinan (pengetahuan).


2. Perasaan (sentimen).


3. Tujuan, sasaran atau cita-cita.


4. Norma.


5. Kedudukan - peranan.


6. Tingkatan atau pangkat (rank).


7. Kekuasaan atau pengaruh (power).


8. Sanksi.


9. Sarana atau fasilitas.


10.Tekanan ketegangan (stress strain).


1. KEPERCAYAAN/KEYAKINAN (PENGETAHUAN).

Setiap "sistem sosial" mempunyai unsur-unsur kepercayaan/keyakinan-keyakinan tertentu yang dipeluk dan ditaati oleh para warganya. Mungkin juga terdapat aneka ragam keyakinan umum yang dipeluknya di dalam suatu "sistem sosial". Akan tetapi hal itu tidaklah begitu penting. Dalam kenyataannya kepercayaan/keyakinan itu tidak mesti benar. Yang penting, kepercayaan/keyakinan tersebut dianggap benar atau tepat oleh warga yang hidup di dalam "sistem sosial" yang bersangkutan.


Kepercayaan adalah faktor yang mendasar yang mempengaruhi kesatuan "sistem sosial". Kepercayaan merupakan pemahaman terhadap semua aspek alam semesta yang dianggap sebagai suatu kebenaran mutlak. (Sumber: Soleman B. Taneko, SH).


Ada beberapa faktor yang dapat menimbulkan kepercayaan, antara lain :

a. Penampilan atau penampakan atau keatraktifan.


b. Kompetensi atau kewenangan.


c. Penguasaan terhadap materi.


d. Popularitas.


e. Kepribadian. (Sumber: Kusnadi, Dr. Ir. Ms.)



2. PERASAAN (SENTIMEN).

Faktor dasar yang lain dari "sistem sosial" adalah perasaan. Perasaan adalah suatu keadaan kejiwaan manusia yang menyangkut keadaan sekelilingnya, baik yang bersifat alamiah maupun "sosial". (Sumber: Soleman B. Taneko, SH.).


Perasaan sangat membantu menjelaskan pola-pola perilaku yang tidak bisa dijelaskan dengan cara lain. Dalam soal perasaan ini misalnya, dapat menjelaskan tentang sebab seorang ayah akan menghadapi bahaya apapun untuk menyelamatkan anaknya.


Proses elemental yang secara langsung membentuk perasaan adalah komunikasi perasaan. Hasil komunikasi itu lalu membangkitkan perasaan, yang bila sampai pada tingkatan tertentu harus diakui.


3. TUJUAN ATAU SASARAN.

Tujuan atau sasaran dari suatu "sistem sosial", paling jelas dapat dilihat dari fungsi sistem-sistem itu sendiri. Misalnya, keturunan merupakan fungsi dari keluarga, pendidikan merupakan fungsi dari lembaga persekolahan dan sebagainya. Tujuan pada dasarnya juga merupakan cita-cita yang harus dicapai melalui proses perubahan atau dengan jalan mempertahankan sesuatu. (Sumber: Soleman B. Taneko, SH).


Tujuan mempunyai beberapa fungsi, antara lain:

a. Sebagai pedoman. Tujuan berfungsi sebagai pedoman atau arah terhadap apa yang ingin dicapai oleh suatu "sistem sosial". Sebagai pedoman, suatu tujuan harus jelas, realistis, terukur dan memperhatikan dimensi waktu.


b. Sebagai motivasi. Tujuan organisasi harus dapat memotivasi seluruh anggota yang terlibat dalam suatu "sistem sosial" untuk ikut berperan serta atau berpartisipasi dalam seluruh kegiatan organisasi. Tujuan harus mencerminkan aspirasi anggota, sehingga organisasi "sosial" tersebut mendapat dukungan dari seluruh anggota.


c. Sebagai alat evaluasi. Fungsi ketiga dari tujuan adalah untuk mengevaluasi suatu organisasi "sosial". Kalau akan mengevaluasi suatu "sistem sosial" harus dikaitkan dulu dengan tujuannya. Evaluasi dilakukan untuk melihat keberhasilan suatu "sistem sosial". Juga untuk mengantisipasi, apabila ada suatu hambatan tidak akan terlalu berlarut-larut atau akan dapat segera diatasi. Evaluasi dilakukan sebelum, selama dan setelah kegiatan berlangsung, dengan kata lain evaluasi dilakukan sejak dimulai suatu kegiatan sampai kapanpun. (Sumber: Kusnadi, Dr. Ir. MS.).



4. NORMA.

Norma-norma "sosial" dapat dikatakan merupakan patokan tingkah laku yang diwajibkan atau dibenarkan di dalam situasi-situasi tertentu. Norma-norma menggambarkan tata tertib atau aturan-aturan permainan, dengan kata lain, norma memberikan petunjuk standard untuk bertingkah laku dan di dalam menilai tingkah laku. Ketertiban atau keteraturan merupakan unsur-unsur universal di dalam semua kebudayaan. Norma atau kaidah merupakan pedoman untuk bersikap atau berperilaku secara pantas di dalam suatu "sistem sosial". Wujudnya termasuk :

a. Falkways, atau aturan di dalam melakukan usaha yang dibenarkan oleh umum, akan tetapi sebetulnya tidak memiliki status paksaan atau kekerasan.


b. Mores, atau segala tingkah laku yang menjadi keharusan, dimana setiap orang wajib melakukan, dan


c. Hukum, di dalamnya menjelaskan dan mewajibkan ditaatinya proses serta mengekang tingkah laku yang berada di luar ruang lingkup mores tersebut.


5. KEDUDUKAN-PERANAN.

Status dapat didefinisikan sebagai kedudukan di dalam "sistem sosial" yang tidak tergantung pada para pelaku tersebut, sedang peranan dapat dikatakan sebagai suatu bagian dari status yang terdiri dari sekumpulan norma-norma "sosial".


Semua "sistem sosial", di dalamnya mesti terdapat berbagai macam kedudukan atau status, seperti misalnya suami-istri, anak laki-laki atau perempuan. Kedudukan atau status seseorang menentukan sifat dan tingkatan kewajiban serta tanggung-jawabnya di dalam masyarakat.


Seorang individu dapat menduduki status tertentu melalui dua macam yang berlainan :

a. Status yang dapat diperoleh secara otomatis (ascribet statutes), dan


b. Status yang didapatkan melalui hasil usaha (achieved statutes). Itu diperoleh setelah seseorang berusaha atau minimal setelah ia menjatuhkan pilihannya terhadap sesuatu.


Di dalam masyarakat :

a. Sudah ditentukan peranan-peranan "sosial" yang mesti dimainkan oleh seseorang yang menduduki suatu status, dan


b. Dapat diramalkan tingkah laku individu-individu di dalam mengikuti pola yang dibenarkan sesuai dengan peranannya masing-masing sewaktu mereka berinteraksi di masyarakatnya.


Karena itu, yang disebut penampilan peranan status (status-role performance) adalah proses penunjukkan atau penampilan dari posisi status dan peranan sebagai unsur-unsur struktural di dalam "sistem sosial". Peranan-peranan "sosial" saling terpadu sedemikian rupa, sehingga saling tunjang menunjang secara timbal-balik hal menyangkut tugas hak dan kewajiban.




6. KEKUASAAN (POWER).

Kekuasaan dalam suatu "sistem sosial" seringkali dikelompokkan menjadi dua jenis utama, yaitu otoritatif dan non-otoritatif. Kekuasaan otoritatif selalu bersandar pada posisi status, sedangkan non-otoritatif seperti pemaksaan dan kemampuan mempengaruhi orang lain tidaklah implisit dikarenakan posisi-posisi status.


7. TINGKATAN ATAU PANGKAT.

Tingkat atau pangkat sebagai unsur dari "sistem sosial" dapat dipandang sebagai kepangkatan sosial (social standing). Pangkat tersebut tergantung pada posisi-posisi status dan hubungan-hubungan peranan. Ada kemungkinan ditentukan orang-orang yang mempunyai pangkat bermiripan. Akan tetapi tidak ada satu "sistem sosial" manapun yang sama orang-orangnya berpangkat sama untuk selama-lamanya.



8. SANKSI (SANCTION).


Istilah sanksi digunakan oleh sosiolog untuk menyatakan sistem ganjaran atau tindakan (rewards) dan hukuman (punishment) yang berlaku pada suatu "sistem sosial". Ganjaran dan hukuman tersebut ditetapkan oleh masyarakat untuk menjaga tingkah laku mereka supaya sesuai dengan norma-norma yang berlaku.



9. SARANA (FACILITY).

Secara luas, sarana itu dapat dikatakan semua cara atau jalan yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan sistem itu sendiri.

Bukan sifat dari sarana itu yang penting di dalam "sistem sosial", tetapi para sosiolog lebih memusatkan perhatiannya pada masalah penggunaan dari sarana-sarana itu sendiri. Penggunaan sarana tersebut dipandang sebagai suatu proses yang erat hubungannya dengan "sistem-sistem sosial".


10. TEKANAN - TEGANGAN.

Dalam "sistem sosial" akan terdapat unsur-unsur tekanan-ketegangan dan hal itu mengakibatkan perpecahan (disorganization). Dengan kata lain, tidak ada satupun "sistem sosial" yang secara seratus persen teratur atau terorganisasikan dengan sempurna.



Soerjono Soekanto memberikan contoh secara konkrit mengenai unsur-unsur dari "sistem sosial" tersebut dengan mengambil keluarga batih sebagai salah satu "sistem sosial" :

1. Adanya suatu keyakinan/kepercayaan, bahwa terbentuknya keluarga batih merupakan kodrat alamiah.


2. Adanya perasaan dan pikiran tertentu dari anggota keluarga batih terhadap anggota lainnya yang mungkin terwujud dalam rasa saling menghargai, bersaing dan seterusnya.


3. Tujuan adanya keluarga batih adalah antara lain agar manusia mengalami sosialisasi dan mendapatkan jaminan akan ketenteraman hidupnya.


4. Setiap keluarga batih mempunyai norma-norma yang mengatur hubungan antara suami dengan istri, anak-anak dengan ayah atau ibunya.


5. Setiap anggota keluarga batih mempunyai kedudukan dan peranan masing-masing baik sarana internal maupun eksternal.


6. Di dalam setiap keluarga batih lazimnya terdapat proses pengawasan tertentu, yang semula datang dari orang tua yang dipengaruhi oleh pengawasan yang ada dalam masyarakat.


7. Sanksi-sanksi tertentu juga dikembangkan di dalam keluarga batih, yang diterapkan kepada mereka yang berbuat benar atau salah.


8. Sarana-sarana tertentu juga ada pada setiap keluarga batih, umpamanya sarana untuk mengadakan pengawasan, sosialisasi dan seterusnya.


9. Suatu keluarga batih akan memelihara kelestarian hidup maupun kelangsungannya di dalam proses yang serasi.


10. Secara sadar dan terencana (walaupun kadang-kadang mungkin tidak demikian) keluarga-keluarga batih berusaha untuk mencapai tingkat kualitas hidup tertentu yang diserasikannya dengan kualitas lingkungan alam maupun lingkungan sosialnya. (Sumber: Soleman B. Taneko, SH.).


"SISTEM SOSIAL" TRADISIONAL DAN "SISTEM SOSIAL" MODERN.

Para agen pembaharu yang modernis maupun ilmuwan yang menganut teori modernisasi dalam pengembangan masyarakat membagi "sistem sosial" menjadi dua kutub besar, yaitu "sistem sosial" tradisional dan "sistem sosial" modern.


Menurut Rogers dan Schoemaker, ciri-ciri "sistem sosial" tradisional adalah :

a. Kurang berorientasi pada perubahan.


b. Kurang maju dalam teknologi atau masih sederhana.


c. Relatif rendah kemelek-hurupannya (tingkat buta hurup tinggi).


d. Sedikit sekali komunikasi yang dilakukan oleh anggota "sistem' dengan pihak lain.


e. Kurang mampu menempatkan diri atau melihat dirinya dalam peranan orang lain, terutama peranan orang di luar "sistem".


Sebaliknya "sistem sosial" modern menurut Rogers dan Schoemaker mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :

a. Pada umumnya mempunyai sikap positif terhadap perubahan.


b. Teknologinya sudah maju dengan "sistem " pembagian kerja yang kompleks.


c. Pendidikan dan ilmu pengetahuan dinilai tinggi.


d. Hubungan "sosial" lebih bersifat rasional dan bisnis dari pada bersifat emosional.


e. Pandangannya kosmopolit, karena anggota "sistem" sering berhubungan dengan orang luar, mudah memasukkan ide baru ke dalam "sistem sosial".


f. Anggota "sistem sosial" mampu berempati, dapat menghayati peranan orang lain yang betul-betul berbeda dengan dirinya sendiri.


Secara garis besar "sistem sosial" modern dicirikan oleh kemampuan "sistem sosial" itu untuk menyesuaikan diri dengan perubahan. Oleh karena itu kita sering menyebut orang tua yang sulit berubah dengan sebutan tradisional atau kolot, sebenarnya yang dimakseud adalah kelambanannya untuk berubah. Orang-orang yang fleksible terhadap perubahan-perubahan di sekitarnya disebut moderat.

"ORGANISASI SOSIAL PEDESAAN"

"Organisasi" dalam keadaan terbuka, menerima masukan misalnya nilai-nilai, sikap-sikap, pengaruh kelompok-kelompok lainnya dalam masyarakat, teknologi dan sebagainya. Onput ini diterima oleh "organisasi" sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan yang dimilikinya."




"Organisasi" sebagai sebuah komponen dengan berbagai peranan masing-masing anggotanya, dengan sendirinya memiliki permasalahan tersendiri. Perjalanan suatu "organisasi" ibarat perahu layar yang menyinggahi bandar dan pelabuhan, bukan tanpa ombak dan batu karang melintang, tentu saja. Demikian juga perjalanan dan perkembangan "organisasi sosial pedesaan". Oleh sebab itu, adalah keliru bila ada pendapat yang mengatakan bahwa "organisasi sosial pedesaan" itu statis, tetap dan tak berkembang.


Perkembangan dan perubahan dalam "organisasi" justru merupakan salah satu ciri "organisasi" itu sendiri, termasuk "organisasi sosial pedesaan". Untuk "organisasi sosial pedesaan" di Indonesia misalnya, tidak terkecuali pula perkembangan dan perubahan-perubahan; apalagi pada dekade terakhir baru-baru ini melalui pembangunan dan modernisasi.


Perkembangan seringkali mengakibatkan perubahan, bahkan kadangkala perubahan atas apa yang ada sebelumnya. Demikian juga perkembangan desa, acapkali meminta setiap anggota masyarakat desa untuk bersedia merubaha sikap, pandangan dan kelakuannya, agar dengan demikian terjadilah modernisasi dan kemajuan masyarakat. Dalam keadaan demikian, tak jarang terjadi konflik baik kecil-kecilan maupun besar-besaran, pertentangan pendapat dan kelakuan di sana-sini. Konflik dapat terjadi antara lain karena perubahan itu sendiri, dapat pula karena datangnya gagasan baru yang dapat terjadi karena perbedaan pendapat diantara para pemimpin di "pedesaan".


Mengerti "organisasi sosial pedesaan" berarti memahami seluk beluk "organisasi"nya, mengerti secara menyeluruh ciri-ciri dan kelemahan serta kelebihannya. Menurut kenyataan selama ini, pemahaman atas "organisasi sosial pedesaan" sebenarnya merupakan kunci keberhasilan pengembangan "pedesaan". Oleh sebab itu kajian keadaan, masalah dan perkembangan "organisasi sosial pedesaan" sangat diperlukan.


Semoga, melalui tulisan ini makin nyata tentang "organisasi sosial pedesaan" dan bagaimana seharusnya memandangnya, mengembangkannya dan mendekatinya secara simpatik.


PENGERTIAN "ORGANISASI SOSIAL"

Dewasa ini banyak "organisasi sosial" yang dikembangkan oleh pemerintah sebagai sarana penunjang pembangunan, baik dalam rangka efisiensi usaha maupun untuk tujuan yang lain. Beberapa contoh "organisasi" yang dikembangkan oleh pemerintah antara lain : Koperasi Unit Desa, Himpunan Petani Pemakai Air dan lain-lain.


"Organisasi sosial" dapat dibentuk oleh masyarakat sesuai dengan kepentingannya. Misalnya Muhammadiyah, Nahdatul Ulama, Lembaga Bantuan Hukum, Yayasan-yayasan yang mengelola berbagai kegiatan sesuai dengan misi masing-masing dan lain-lain. "Organisasi" yang dibentuk secara swadaya oleh masyarakat disebut Lembaga Swadaya Masyarakat / LSM (Non Goverment "Organization" / NGO). Umumnya Lembaga Swadaya Masyarakat dibentuk untuk mensejahterakan masyarakat dalam bidang-bidang kehidupan tertentu.


"Organisasi", menurut Amitai Etzioni, adalah unit "sosial" (atau pengelompokan manusia) yang sengaja dibentuk dan dibentuk kembali dengan penuh pertimbangan dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Pada umumnya "organisasi" ditandai oleh ciri-ciri sebagai berikut:

1. Adanya pembagian kerja, kekuasaan dan tanggung-jawab komunikasi;


2. Ada satu atau beberapa pusat kekuasaan yang berfungsi mengawasi usaha-usaha "organisasi" serta mengarahkan "organisasi" dalam mencapai tujuan;


3. Ada penggantian tenaga (kaderisasi) bila ada individu yang tak mampu menjalankan tugas-tugas "organisasi".


Pengertian "organisasi" yang lebih tajam adalah suatu sistem sosial yang bersifat langgeng, formal, memiliki identitas kolektif yang tegas, daftar anggotanya terinci dan mempunyai sifat hierarkis. Batasan ini menegaskan bahwa "organisasi sosial" merupakan sistem "sosial". Oleh karena itu konsep-konsep yang berhubungan dengan sistem "sosial" (struktur "sosial", fungsi dan integrasi) dapat digunakan untuk menganalisa "organisasi".


CLOSED SYSTEM DAN OPEN SYSTEM "ORGANISASI".

Karakteristik "organisasi" yang bersistem tertutup adalah adanya kecenderungan yang kuat untuk bergerak mencapai suatu keseimbangan dan entropi (equilibrium and entropy) yang statis. Sifat ini menunjukkan adanya kebekuan atau tepatnya keseimbangan yang beku (a static equilibrium). Istilah entropi mempunyai pengertian yang cenderung dipergunakan pada sistem yang tertutup dengan tidak adanya potensi berikutnya untuk membangkitkan daya kerja atau usaha transformasi. Millar, menyebutnya : Entropi dikenal sebagai suatu sistem yang menunjukkan kekacauan, ketidak-teraturan, tidak adanya pola kerja, atau "organisasi" yang diatur secara acak (randomness).


"Organisasi" dalam keadaan tertutup, tidak menerima masukan dari lingkungan. Sehingga setiap masukan yang mencoba memasuki daerah batas "organisasi" terpental kembali, seperti misalnya nilai, sikap, teknologi dan minat-minat dari kelompok penekanan tidak berdaya menembus batas "organisasi". Dalam keadaan semacam ini "organisasi" berada dalam kekosongan dan seperti entropi "organisasi" ini akan mati, karena tidak mempunyai potensi berikut untuk mengembangkan dirinya.


Sistem terbuka mempunyai interaksi hubungan yang berkelangsungan (continual interactions) dengan lingkungannya dan mencapai suatu tingkat dinamika tertentu atau keseimbangan yang dinamis; Sementara itu sistem ini masih mempunyai kemampuan yang berlanjut untuk melangsungkan kerja dan melakukan transformasi ke pihak lain. Sistem ini mempunyai proses putaran yang terbina yang menyebabkan daya hidupnya berkelangsungan. Dan "organisasi" dipandang sebagai hal yang dinamis dan senantiasa berubah, bukannya sebagai mesin yang bergerak operasinya ejeg, rutin dan statis.


"Organisasi" dalam keadaan terbuka, menerima masukan misalnya nilai-nilai, sikap-sikap, pengaruh kelompok-kelompok lainnya dalam masyarakat, teknologi dan sebagainya. Onput ini diterima oleh "organisasi" sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan yang dimilikinya. Sehingga keterbukaan ini bukanlah keterbukaan yang mutlak (totality open), melainkan disesuaikan dengan kemampuan, dan keterbatasan "organisasi". Jadi tingkat keterbukaan itu ditentukan oleh bagaimana batas-batas "organisasi" itu mengijinkan pengaruh ke lingkungan masuk ke dalamnya. Selanjutnya masukan diproses ke dalam "organisasi", dan dirupakan sebagai hasilnya. Dan setelah hasil dirasakan oleh masyarakat, maka "organisasi" menerima umpan balik sebagai masukan baru. Demikian seterusnya "organisasi" hidup dalam ketergantungan dan interaksi yang dinamis dengan lingkungannya.


PENGGUNAAN PENGEMBANGAN "ORGANISASI" (ORGANIZATION DEVELOPMENT - OD) UNTUK MENGADAKAN PERUBAHAN.

"Organization" Development (OD), suatu istilah yang telah menjadi ungkapan umum, adalah suatu proses untuk mengadakan perubahan "organisasi". OD menerapkan banyak konsep dan teknik yang telah dikembangkan dalam bidang-bidang perilaku yang begitu beragam seperti hubungan-hubungan karyawan, sosiologi, antropologi, pendidikan manajemen, hubungan manusiawi dan psikologi klinik.


Singkatnya OD adalah suatu proses pemecahan masalah kelompok yang dimaksudkan untuk menghasilkan perubahan berencana dan tertib guna tujuan meningkatkan keefektifan seluruh kebudayaan suatu "organisasi".


Kegiatan-kegiatan yang disebut sebagai intervensi dimaksudkan untuk membantu anggota-anggota "organisasi" dalam menyesuaikan kepada teknologi yang cepat berubah dan kepada tipe-tipe anggota yang lebih menentang. Sesungguhnya setiap masalah "organisasi" dapat menjadi suatu pekerjaan bagi seorang pelaksana OD, yang berusaha mendiagnosa masalah-masalah yang spesifik, memberikan umpan balik kepada para anggota "organisasi" yang bertalian dengan pendapat-pendapatnya, dan kemudian membantu dalam mengembangkan strategi dan intervensi guna perbaikan "organisasi" keseluruhan.