Jumat, 18 Desember 2009

"MIGRASI DI DAERAH PERKOTAAN"

Sejak tahun 1970-an, masalah tenaga kerja di "kota" dalam hubungannya dengan urbanisasi, "migrasi" dan struktur pekerjaan mulai menjadi topik yang ramai dibicarakan oleh para ahli."


Sejak itu bermunculan banyak penelitian yang menyoroti masalah tenaga kerja di "kota" Dunia Ketiga. Masalah itu dianggap berkaitan erat dengan kemiskinan di "pedesaan".

"Kota-kota" di Dunia Ketiga berkembang sangat pesat. Setiap tahun berjuta-juta orang pindah dari"desa" ke "kota", sekalipun banyak "kota besar" dalam kenyataannya sudah tidak mampu menyediakan pelayanan sanitasi, kesehatan, perumahan dan transportasi lebih dari yang minimal kepada penduduknya yang sangat padat itu. Produksi di sektor industri telah meningkat, tetapi pengangguran dan setengah pengangguran di "kota" makin nampak. Keadaan orang-orang miskin di daerah "pedesaan" hampir sama saja dengan 30 tahun yang lalu, bahkan di beberapa daerah tertentu keadaannya malah bertambah buruk.


Salah satu bagian dari proses industrialisasi yang tak dapat dihindarkan adalah urbanisasi. Kebanyakan negara sedang berkembang mengabaikan sektor pertanian untuk mendapat sumber daya dalam upaya meningkatkan usaha industrialisasi dan urbanisasi. Tampaknya, keseimbangan antara sektor "pedesaan" dan sektor "perkotaan" masih jauh, dan menurut pandangan beberapa ahli ekonomi dan para pemimpin pemerintahan, keseimbangan itu tidak mungkin tercapai melalui kebijakan yang mengutamakan pertumbuhan industri modern saja. Sejak awal tahun 1970-an mereka mulai sadar bahwa kenyataa-kenyataan yang ada tidak sesuai dengan teori. Dalam beberapa tahun kemudian, muncullah suatu konsensus baru tentang strategi pembangunan yang paling dibutuhkan yaitu strstegi yang mengutamakan peranan sektor pertanian dan peningkatan pendapatan orang-orang termiskin di masyarakat. Namun, sampai sekarang dukungan terhadap strategi ini tidak begitu kuat sehingga belum nampak banyak kebijakan urbanisasi dan industrialisasi.


Di "perkotaan" juga merangsang tumbuhnya sektor informal karena keberadaannya yang memang dibutuhkan. Kebijakan yang perlu diambil dalam menangani sektor informal, antara lain menyediakan kredit, pendidikan dan latihan kterampilan, pengembangan sumber daya dan teknologi, dan mengubah sikap pemerintah agar mendukung pertumbuhan sektor informal. Diakui, penelitian yang telah dilakukan lebih banyak menemukan masalah baru dari pada memecahkannya.


Di Malaysia, tingkat pengangguran wanita muda dan terdidik jauh lebih menonjol . Lebih-lebih apabila ditinjau jumlah wanita yang tidak aktif mencari pekerjaan. Meskipun tidak ada penjelasan mengenai gejala tersebut, mungkin deskriminasi terhadap wanita dalam kesempatan kerja di sektor formal merupakan hal yang penting. Tidak mustahil bahwa pola yang sama akan makin nampak di Indonesia dengan meluasnya pendidikan menengah bagi kaum wanita.

"REMAJA DAN PROBLEMATIKA "(KENAKALAN REMAJA)"

"Kenakalan remaja" yang sering terjadi di masyarakat bukanlah suatu keadaan yang berdiri sendiri. "Kenakalan remaja" timbul karena adanya beberapa sebab dan tiap-tiap sebab dapat ditanggulangi dengan cara-cara tertentu."



Di Indonesia masalah "kenakalan remaja" dirasa telah mencapai tingkat meresahkan masyarakat. Kondisi ini memberi dorongan kuat kepada pihak-pihak yang bertanggung-jawab mengenai masalah ini, baik kelompok edukatif dan di lingkungan sekolah, kelompok yuridis dan lawyer di bidang penyuluhan dan penegakan hukum, pimpinan/tokoh masyarakat di bidang pembinaan kehidupan kelompok maupun pemerintah sebagai pembentuk kebijaksanaan umum dalam pembinaan, penciptaan dan pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat. Faktor lain yang tidak dapat dikesampingkan adalah peranan masyarakat dan keluarga di dalam menunjang hal ini.


Menurut Soedjono Dirdjosiswono, di negara-negara yang telah maju, ada dua sistem untuk menanggulangi kejahatan yang dilakukan oleh para "remaja", yakni cara moralistik dan cara abolisionistik. Kalau cara moralistik dilaksanakan dengan penyebarluasan ajaran-ajaran agama dan moral, perundang-undangan yang baik dan sarana-sarana lain yang dapat menekan nafsu untuk berbuat kejahatan. Sedangkan cara abolisionistik, berusaha memberantas, menanggulangi kejahatan dengan sebab-musababnya.


Salah satu ciri pokok masyarakat Indonesia adalah percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Agama bagi manusia khususnya bangsa Indonesia merupakan unsur pokok yang menjadi kebutuhan spiritual. Peraturan-peraturan yang terdapat dalam agama pada dasarnya merupakan nilai tertinggi bagi manusia, demikian pula bagi anak "remaja", norma-norma agama tetap diakui sebagai kaedah-kaedah suci yang bersumber dari Tuhan. Bagi anak "remaja" sangat diperlukan adanya pemahaman, pendalaman serta ketaatan terhadap ajaran-ajaran yang dianut. Dalam kenyataan sehari-hari menunjukkan, bahwa anak-anak "remaja" yang melakukan kejahatan sebagian besar kurang memahami norma-norma agama bahkan mungkin lalai menunaikan perintah-perintah agama antara lain: mengikuti kebaktian, acara missa, puasa dan shalat.


"Kenakalan remaja" yang sering terjadi di masyarakat bukanlah suatu keadaan yang berdiri sendiri. "Kenakalan remaja" timbul karena adanya beberapa sebab dan tiap-tiap sebab dapat ditanggulangi dengan cara-cara tertentu. Sebab-sebab "kenakalan remaja" antara lain penyebabnya adalah lingkungan keluarga, pendidikan dan juga masyarakat dimana "remaja" itu bergaul.


Anak "remaja" sebagai anggota masyarakat selalu mendapat pengaruh dari keadaan masyarakat dan lingkungannya baik langsung maupun tidak langsung. Pengaruh yang dominan adalah akselerasi perubahan sosial yang ditandai dengan peristiwa-peristiwa yang sering menimbulkan ketegangan, seperti persaingan dalam perekonomian, pengangguran, mass media dan fasilitas rekreasi.


Di kalangan masyarakat sudah sering terjadi kejahatan seperti : pembunuhan, penganiayaan, pemerkosaan, pemerasan, gelandangan dan pencurian. Kajahatan-kejahatan tersebut dilakukan oleh penjahat dari tingkatan umur yang beraneka ragam, terdiri dari orang lanjut usia, orang dewasa dan anak "remaja". Baik anak "remaja" keinginan untuk berbuat jahat kadang-kadang timbul karena bacaan, gambar-gambar dan film.

Memang sulit untuk menemukan cara yang terbaik di dalam menanggulangi "kenakalan remaja", akan tetapi masyarakat, perseorangan bahkan pemerintah sekalipun dapat melakukan langkah-langkah yang paling memadai di dalam melakukan prevensi.


Keresahan yang ditimbulkan oleh anak-anak "remaja" sebenarnya menjadi tanggung-jawab seluruh anggota masyarakat. Ditinjau dari segi penyebabnya, masyarakat terlibat di dalamnya dan jika dilihat dari sisi lain masyarakatlah yang memikul beban kerugian. Suatu hal yang layak jika di dalam menanggulangi "kenakalan remaja", masyarakat juga bertanggung-jawab secara moril. Juvenile Delinquency tidak dipandang sebagai masalah yang timbul dan menimpa kelompok umur tertentu, akan tetapi dinilai sebagai problema sosial yang muncul dari kelompok kecil sebagai implikasi dari akselerasi perubahan masyarakat secara global.


Dalam fase perkembangan kebanyakan anak tidak mampu lagi menahan segala macam gejolak dan gelombang pengalaman hidup yang menyebabkan menderita dan kebingungan. Dalam kondisi yang sangat kompleks tersebut, norma-norma agama kerapkali dapat menjadi pengentas yang paling utama untuk mengembalikan keseimbangan dan ketenangan jiwa. Sebagai indikator utama yakni apabila ketenangan dan keseimbangan jiwa telah dimiliki maka kemungkinan besar tidak terjadi "kenakalan remaja".

"AGAMA SEBAGAI PEDOMAN HIDUP MANUSIA"

"Tidak mengherankan apabila masalah "agama" dan keberagaman merupakan masalah yang sensitif."



Bagi masyarakat kita yang majemuk, penumbuhan kesediaan untuk saling memahami dan saling menghormati anutan..... "

Menurut Kathleen Blish, krisis "agama" yang sering diperbincang-kan, disebabkan oleh berbagai perubahan yang secara kasar digambarkan dalam ungkapan 'revolusi industri', perkembangan ilmu dan teknologi, dan sebagainya. Iman terhadap sesuatu kebenaran tidak lagi menurut ""agama" melainkan dicapai melalui penalaran dan alasan-alasan rasional. "Kebenaran ini, di mata seorang modern. berlawanan dengan "agama"; kenyataannya ia kelihatannya menutup jalan untuk memahami "agama".

Di sisi lain orang berbicara tentang kebangkitan kembali "agama"-"agama". Lebih-lebih ketika ada anggapan bahwa ideologi-ideologi sekuler yang menjanjikan perbaikan nasib "manusia" belum juga kunjung berhasil memenuhi janjinya, orang menoleh kembali kepada "agama".

Di kalangan "agama"-"agama" sendiri terasa munculnya kegairahan baru. Ada usaha mengadakan redefinisi, reformulasi dan reinterpretasi tentang "agama" dan relevansinya dengan ke"hidup"an dan tantangan yang dihadapi "manusia" dan masyarakat. Hal ini tidak hanya berlangsung sendiri-sendiri di kalangan masing-masing "agama", akan tetapi juga secara bersama-sama. Berbagai dialog di kalangan berbagai tokoh dari berbagai "agama" yang berlangsung di berbagai tempat, baik pada tingkat lokal, nasional, regional maupun internasional, merupakan bukti-bukti yang jelas tentang hal itu. Kegiatan seperti ini diprakarsai oleh berbagai pihak dan tampaknya akan berlangsung terus di masa-masa mendatang. Kecenderungan dan kesediaan untuk saling belajar dalam dan dari kalangan berbagai "agama" sebagaimana diperlihatkan oleh kegiatan-kegiatan dialog dan semacamnya, haruslah dipupuk terus sehingga gejala saling curiga akan makin menyusut. Sebab kebangkitan kesadaran ber"agama" bisa saja menimbulkan ketegangan dalam hubungan antar kelompok berbagai "agama", lebih-lebih dalam suatu masyarakat di mana berbagai "agama" "hidup" dan berkembang dalam keadaan berdampingan dan sekaligus bersaingan. Masing-masing penganut "agama" merasa mengemban misi luhur untuk menyampaikan kebenaran kepada orang lain.


Tidak mengherankan apabila masalah "agama" dan keberagaman merupakan masalah yang sensitif. Bagi masyarakat kita yang majemuk, penumbuhan kesediaan untuk saling memahami dan saling menghormati anutan dan keyakinan masing-masing pihak menjadi sangat penting. Hal ini merupakan tuntutan obyektif kalau kita menginginkan agar kerukunan hidup di antara umat berbagai "agama" tidak tinggal sebagai gagasan yang mandul dan steril. Kemajemukan keterbukaan dan mobilitas masyarakat kita tidak memungkinkan lagi tegak dan kokohnya tembok-tembok eksklusifisme diantara umat berbagai "agama".

Dalam zaman teknologi modern, "manusia" semakin yakin bahwa berbagai masalah dan kemelut yang dihadapi dewasa ini, tidak mampu dijawab oleh ilmu pengetahuan dan teknologi modern semata, karena keduanya mempunyai keterbatasan-keterbatasan tersendiri. Karena itu manusia mencari kiblat dan alternatif yang lain.

Di tengah gejolak dan ketegangan antara Timur dan Barat, antara Utara dan Selatan, antara negara maju dan negara yang sedang berkembang, berbagai "agama" menggugah kita dengan nilai perdamaian dan cinta kasih yang menjadi suara dominan dari berbagai "agama". Dalam rangka itu pula toleransi, tetap mendapat porsi dalam "hidup" ber"agama".

"REMAJA VS NARKOTIKA"

"...... Para "remaja" mencari apa yang tidak didapatkan di rumah serta mencari pelarian di luar rumah. Akhirnya mereka terperosok ke lembah hitam yang tidak kita inginkan, antara lain terlibat "narcotic" abuse".


Dalam masyarakat yang serba modern, norma, value dan moral sudah mulai memudar, sehingga "remaja" hampir tidak memiliki pegangan yang dapat membedakan baik dan buruk. Yang baik dan yang buruk tampaknya telah berbaur menjadi satu dan tindakan adalah merupakan protes terhadap kenyataan masyarakat itu sendiri. Di kalangan "remaja"dewasa ini, terdapat penggunaan "narkotika" secara ilegal yang disebut penyalahgunaan "narkotika" ("narcotic" abuse). Penyalahgunaan "narkotika" di kalangan "remaja" erat hubungannya dengan kenakalan "remaja" itu sendiri, yang mengakibatkan tidak saja merugikan si pemakai, tetapi juga bagi masyarakat dan kawasan yang lebih luas.

Biasanya, "remaja" dikategorikan mereka yang berada pada kelompok umur 15 - 24 tahun. Pada masa ini mereka memiliki sifat-sifat khusus yang membedakan dirinya dengan anak-anak dan orang dewasa. Sifat-sifat khusus tersebut antara lain: idealitas menuju ke arah reaksi, mencari pendirian hidup sampai mendapatkan dan selanjutnya mempertahankan serta memperjuangkannya, terdapat kontradiksi antara sikap dan tingkah-laku serta memiliki energi yang besar. "Remaja" mempunyai trend untuk berdiri sendiri dan melepaskan ikatan dari orang tua, keluarga dan orang dewasa lain, di pihak lain timbul keinginan yang kuat untuk memasuki pergaulan dengan teman sebaya. Rasa harga diri mereka berkembang pesat, mereka ingin dihargai dalam segala hal. Secara psikologis, "remaja" gampang sekali mengalami kegoncangan jiwa dan menerima pengaruh negatig yang dapat merusak diri dan cita-cita hidupnya.

Di jaman modern ini, banyak sekali kehidupan rumah tangga yang kehilangan keharmonisan dan suasana kasih sayang; akibatnya meraka tidak betah tinggal di rumah. Orang tua menurutkan kemauan masing-masing, sedang anak-anak/"remaja" mencari jalan sendiri-sendiri. Dalam situasi seperti ini, para "remaja" mencari apa yang tidak didapatkan di rumah serta mencari pelarian di luar rumah. Akhirnya mereka terperosok ke lembah hitam yang tidak kita inginkan, antara lain terlibat "narcotic" abuse.

"Narcotic" abuse semakin merajalela, terutama di kota-kota, wabah "narkotika" seolah-olah tidak dapat dibendung lagi. "Narcotic" abuse bukan lagi sekedar mode atau gengsi, akan tetapi sudah dijadikan semacam tempat pelarian; bukan lagi sebagai lambang "kejantanan", "keberanian", "modern", tetapi motivasinya telah menjangkau pandangan yang jauh dan ketergantungan serta pelarian lebih luas. Sudah kait-berkait dengan kehidupan socio-kultural.

PERSPEKTIF "NARKOTIKA".

"Narkotika" adalah sejenis zat yang bila dipergunakan (dimasukkan dalam tubuh) akan membawa pengaruh terhadap tubuh si pemakai, yaitu dapat menenangkan, merangsang dan menimbulkan halusinasi (khayalan). Dalam pengobatan, zat tersebut dipergunakan untuk pembiusan dan menghilangkan/mengurangi rasa sakit, yang dosisnya diatur oleh ahli medis agar tidak membahayakan bagi si pemakai. Namun pada kalangan orang yang menyalahgunakan "narkotika", mereka menggunakan "narkotika" ini seenaknya sendiri tanpa resep dokter, sehingga dosisnya dapat membahayakan si pemakai tersebut.

"Narkotika" yang selama ini digunakan, ada beberapa jenis, yaitu :

a. Mariyuana (ganja).
Mariyuana dibuat dari bunga dan daun-daun dari sejenis rumput (Cannabis Sativa). Jenis ini paling banyak digunakan anak-anak muda. Survey di negara adi kuasa, menunjukkan bahwa satu dari tiga mahasiswa telah mencoba mariyuana dan satu diantara tujuh menggunakannya tiap-tiap minggu. Jenis "narkotika" ini dipakai lebih sering dari pada jenis yang lain.

b. Opium (Candu).
Opium dibuat dari getah buah tumbuhan candu yang dinamakan Papaver Somniferum. Opium termasuk jenis depressants, yang mempunyai pengaruh hypnotics dan trangalizers. Menurut hasil penelitian di Jakarta, menunjukkan prosentase yang amat kecil (hampir tidak ada) "remaja" yang mempergunakan opium. Justru orang-orang tua yang mempunyai kebiasaan menghisap jenis ini.

c. UPS.
UPS adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan "narkotika"-"narkotika" yang memberikan perasaan vitalitas. Yang sering digunakan oleh "remaja" adalah amphetamines, yakni "narkotika" stimulant khusus digunakan dalam periode pendek untuk mengurangi nafsu makan (appetite). Biasanya mabuk amphetamines, ditandai dengan perasaan terhibur dan self confidence energie. Sering perasaan-perasaan ini dibarengi dengan rasa gugup yang tertentu, seolah-olah tidak tenang atau tersumbat. Jenis yang adalah Cocaine, "narkotika" yang secara legal digunakan sebagai local ansesthetic yang juga kadang-kadang digunakan secara illegal oleh anak-anak muda.

d. Speed.
Speed adalah methamphetamine yang dapat diinjeksikan yang mempunyai daya rangsang yang lebih kuat dari pada amphetamine.

e. Downs.
Downs adalah "narkotika" yang memberikan rasa ketenangan yang mengantukkan. Yang sering dipakai oleh anak muda adalah barbiturates, ialah sedatives yaitu membantu orang untuk tidur.

f. Psychedelics.
Psychedelics (hallucinogens) adalah obat keras ("narkotika") yang menghasilkan macam-macam perubahan dramatik, berkhayal tentang segala sesuatu.

g. Heroin.
Heroin adalah drug yang dibuat dari benih tumbuhan Papaver Somniferum (tanaman ini juga menghasilkan Codeine, morphine dan opium). Penjualan maupun pemakaian heroin adalah tidak sah. Efek dari suntikan heroin adalah pertama dijumpai "flash" (kilat) yang kemudian lenyap. Kemudian rasanya suasana sekeliling suram, perasaan mengantuk yang berlangsung selama 3 (tiga) jam.

h. Codeine.
Codeine sebagai hasil bersama antara morphine dan opium.

i. Damerol.

Damerol serupa heroin dalam efek serta potensinya.

j. Methadone.
Drug ini digunakan secara resmi untuk mencegah akibat dari with drawal, walau demikian methadone menghasilkan addiksi, meskipun tidak sekuat heroin.

k. Morphine.
Drug ini nomor 2 (dua) penggunaannya setelah heroin. Efek morphine hanya sedikit lemah dari heroin.

l. Parerorig.
Parerorig adalah suatu campuran antara sedikit opium dengan drug yang lain.

Meskipun ada bahayanya, namun masih dapat dibenarkan penggunaannya untuk kepentingan pengobatan dan atau tujuan Ilmu Pengetahuan. Untuk kepentingan itu, maka dalam Undang-Undang No 9 Tahun 1976 tentang "Narkotika", dibuka kemungkinan untuk mengimport narkotika, mengeksport obat-obatan yang mengandung "narkotika", menanam, memelihara papaver, koka dan ganja.

Namun apabila manfaatnya tersebut disalah-gunakan, dapat menimbulkan akibat sampingan yang sangat merugikan bagi perorangan dan menimbulkan bahaya bagi kehidupan serta nilai-nilai kebudayaan. "Narcotic" abuse akan menyebabkan yang bersangkutan menjadi tergantung pada "narkotika", untuk kemudian berusaha senantiasa memperoleh "narkotika" dengan segala cara, tanpa mengindahkan norma-norma sosial, agama maupun hukum yang berlaku.

"Narcotic" abuse biasanya disebabkan oleh :
a. Faktor Intern :
1. Pembawaan yang negatif, cacad mental/fisik yang sukar dikendalikan dan gampang mengarah pada perbuatan negatif.

2. Lemahnya menahan emosi/sikap mental terhadap masalah-masalah sekitarnya.

3. Kurang mampu beradaptasi dengan lingkungan, sehingga pelariannya ke kelompok "remaja" nakal.

4. Merasa inferior, sehingga mudah terpengaruh hal-hal yang negatif.

5. Kurang mendalamnya ajaran agama, budi pekerti, sehingga daya mentalnya lemah dan mudah terpengaruh oleh godaan jahat.

6. Ingin mencoba barang terlarang.

7. Sekedar untuk menghilangkan frustrasi dan kegelisahan.

8. Kurang mendapat kasih sayang, bimbingan, asuhan dan teladan dari orang tua.

9. Masa transisi "remaja", yang dalam hal psikologis mudah diombang-ambingkan oleh sesuatu yang negatif.

b. Faktor Ekstern :
1. Adanya pengaruh dari teman yang bersifat negatif bagi perkembangan jiwanya.

2. Pelarian dari kondisi disharmonisasi dalam keluarga.

3. Kurangnya pembinaan dan kontrol "remaja" oleh orang tua, masyarakat dan pemerintah.

4 Kurangnya aktivitas pada waktu luang.

5. Masuknya unsur-unsur kebudayaan asing tertentu, mudah mempengaruhi hal-hal yang negatif, khususnya di kota-kota besar.

"Narcotic" abuse akan mengakibatkan terganggunya fungsi baik fisik maupun psikhis, antara lain:

a. Terganggunya daya fisik dan psikhisnya, ingin tidur dan malas-malasan, kehilangan nafsu bekerja maupun belajar (weakness).

b. Terganggunya fungsi paru-paru.

c. Kesadaran menurun, seperti setengah tidur disertai ingatan yang kacau balau, yang disebut drawsiness.

d. Menurunnya jumlah sperma dan kemampuan gerak aperma.

e. Terganggunya reaksi kekebalan.

f. Euphoria, mengalami kegembiraan yang tak sesuai dengan kenyataan serta tak sesuai dengan faktor-faktor obyektif pada individu yang bersangkutan.

Statement hipotetik di atas, hendaknya kita pahami dan kita hayati, terutama kaum "remaja", agar lebih mawas diri sehingga tidak terperosok ke dalam lembah "narcotic" abuse, yang sebenarnya kita phobi terhadapnya.

Tanda-tanda "remaja" menyalahgunakan "narkotika", adalah:
1. Sifat mudah kecewa dan cenderung agresif.
2. Perasaan rendah diri.
3. Tidak sabaran yang berlebihan.
4. Suka mencari sensasi, melakukan hal-hal yang mengandung resiko berbahaya.
5. Keterbelakangan (retardasi) mental terutama yang tergolongpada taraf perbatasan.
6. Cepat menjadi bosan dan merasa tertekan, murung dan merasa tidak sanggup dalam hidup sehari-hari.
7. Kurangnya motivasi atau dorongan untuk mencapai suatu dalam keberhasilan dalam pendidikan, pekerjaan atau kegiatan lainnya.
8. Kurang berpartisipasi dalam kegiatan ekstra kurikuler.
9. Cenderung memiliki gangguan jiwa, seperti kecemasan, obsesi, apatis, depresi, kurang mampu dalam menghadapi stres atau sebaliknya, yaitu hiperaktif.
10. Putus sekolah pada usia sangat dini, perilaku anti sosial, sering mencuri, berbohong, dan kenakalan "remaja" lainnya.
11. Suka tidak tidur pada malam hari atau tidur larut malam (begadang).
12. Berkawan dengan orang yang tergolong peminum berat atau pemakai obat yang berlebihan.

Dalam rangka menyelamatkan kaum "remaja" dari bahaya "narkotika", "remaja" mempunyai peranan yang amat penting. Kaum "remaja" harus menyadari, bahwa "remaja" sendirilah yang merupakan potensi yang menentukan dalam pelaksanaan penanggulangan dan penyelamatan dari bahaya "narkotika". Dengan partisipasi "remaja" dalam usaha penanggulangan bahaya "narkotika", berarti "remaja" telah memenuhi panggilannya sebagai calon-calon leaders for tomorrow, yang tidak merelakan kepemimpinannya rusak dan mengecewakan masyarakat yang dipimpinnya kelak.

Langkah-langkah yang lebih konkret dan perlu dipertimbangkan dalam rangka menanggulangi "narcotic" abuse ini, antara lain:

a. Menciptakan situasi rumah tangga yang harmonis. Hal ini dapt dilakukan dengan cara memberikan perhatian, kasih sayang serta memupuk suasana keagamaan di antara seluruh anggota keluarga.

b. Menciptakan situasi dan kondisi di sekolah yang menguntungkan. Situasi dan kondisi sekolah harus benar-benar menunjang pertumbuhan identitas para anak didik/"remaja". Guru harus dapat menjadi teladan bagi anak didiknya.

c. Menciptakan kawasan kehidupan yang sehat penuh kegairahan hidup dengan upaya-upaya olah raga dan sebagainya.

d. Menciptakan situasi dan kondisi pergaulan "remaja" yang tenteram dan menyenangkan. Orang tua harus pandai mengarahkan anak-anaknya untuk memilih pergaulan yang tidak membahayakan. Memberikan penyuluhan/bimbingan kepada kelompok-kelompok "remaja" di lingkungan sekitarnya, agar mereka tidak mudah terkena pengaruh yang bersifat negatif.

e. Keteladanan orang tua dalam bertingkah-laku yang konsekwen dalam aktivitas kehidupan, perlu dipertimbangkan perwujudannya.

f. Menciptakan situasi dan kondisi pemerintah yang aman dan tertib.

Keterpaduan dan kerjasama dari orang tua, guru, masyarakat dan pemerintah, memegang peranan penting dan menentukan dalam rangka membina dan memberi corak identitas para "remaja".