Sabtu, 17 Oktober 2009

"KONSEP K E M I S K I N A N DAN PENDEKATANNYA"

"Konsep "kemiskinan" yang kedua adalah "kemiskinan" relatif yang dirumuskan dengan memperhatikan dimensi tempat dan waktu."


Masalah "
kemiskinan", sama tuanya dengan usia kemanusiaan itu sendiri dan implikasi permasalahannya dapat melibatkan keseluruhan aspek kehidupan manusia; walaupun, seringkali tidak disadari kehadirannya sebagai masalah oleh manusia yang bersangkutan.


"Kemiskinan" merupakan masalah kesejahteraan sosial. Langkah yang perlu kita lakukan dalam membicarakan masalah ini, pertama adalah mengidentifikasi apa sebenarnya pengertian miskin atau "kemiskinan" itu dan bagaimana mengukurnya. Setelah itu baru dicari faktor-faktor yang dominan penyebab "kemiskinan". Langkah berikutnya adalah mencari solusi yang relevan untuk memecahkan masalah itu (problem solving).


Menurut Dr. Sunyoto Usman, paling tidak ada tiga macam konsep kemiskinan, yaitu : "kemiskinan" absolut, "kemiskinan" relatif dan "kemiskinan" subyektif. "Kemiskinan" absolut dirumuskan dengan membuat tolok ukur tertentu yang konkrit. Ukuran itu berorientasi kepada kebutuhan hidup dasar minimum anggota masyarakat (sandang, pangan dan papan). Masing-masing negara mempunyai batasan "kemiskinan" absolut yang berlainan, karena kebutuhan hidup dasar masyarakat yang dipergunakan sebagai acuan memang berbeda. Konsep ini mengenal garis batas "kemiskinan". Ada juga gagasan yang ingin memasukkan tidak hanya kebutuhan fisik (sandang, pangan dan papan), melainkan juga basic cultural needs (seperti pendidikan, keamanan, rekreasi dan sebagainya). Konsep "kemiskinan" yang pertama ini telah banyak memperoleh banyak kritik, antara lain adalah hampir tidak mungkin membuat satu ukuran untuk semua anggota masyarakat. Kebutuhan sandang, pangan dan papan masyarakat pada masing-masing daerah berbeda-beda (pedesaan berbeda dengan perkotaan, desa pertanian berbeda dengan desa nelayan). Namun demikian konsep ini sangat populer terutama dianggap strategis bagi program-program pengentasan "kemiskinan".


Konsep "kemiskinan" yang kedua adalah "kemiskinan" relatif yang dirumuskan dengan memperhatikan dimensi tempat dan waktu. Dasar asumsinya adalah "kemiskinan" pada suatu daerah tertentu berbeda dengan daerah lainnya; dan "kemiskinan" pada waktu tertentu berbeda pula dengan waktu yang lain. Konsep ini diukur berdasarkan pertimbangan dari anggota masyarakat tertentu, dengan berorientasi pada derajat kelayakan hidup. Konsep ini juga telah banyak memperoleh kritik, terutama karena sangat sulit sekali menentukan bagaimana hidup yang layak itu. Ukuran layak ternyata juga terus berubah-ubah.


Konsep yang ketiga yaitu "kemiskinan" subyektif, dirumuskan berdasarkan perasaan kelompok miskin itu sendiri. Konsep ini tidak mengenal ukuran tertentu yang konkrit, juga tidak memperhitungkan dimensi tempat dan waktu. Kelompok yang menurut kita di bawah garis "kemiskinan" berdasarkan ukuran kita, boleh jadi tidak menganggap dirinya sendiri miskin (dan demikian pula sebaliknya). Kemudian, kelompok yang menurut kita mereka hidup dalam kondisi tidak layak, boleh jadi tidak menganggap dirinya sendiri tidak layak (dan demikian pula sebaliknya).


Untuk mendekati masalah "kemiskinan", sedikitnya ada dua macam perspektif yang lazim dipergunakan, yaitu "kemiskinan" dalam perspektif kultural dan dalam perspektif struktural atau situasional. Perspektif kultural mendekati masalah "kemiskinan" pada tiga level analisis : individual, keluarga dan masyarakat.


Pada level individual, ditandai sifat yang lazim disebut a strong feeling of marginality, seperti : sikap parohial, apatisme, fatalisme atau pasrah pada nasib, boros, tergantung dan inferior.

Pada level keluarga, ditandai oleh jumlah anggota keluarga yang besar dan free union or consensual marriages.

Pada level masyarakat, terutama ditandai oleh tidak terintegrasi secara efektif dengan institusi-institusi masyarakat. Mereka seringkali memperoleh perlakuan sebagai obyek yang perlu digarap dari pada sebagai subyek yang perlu diberi peluang berkembang.


Perspektif struktural atau perspektif situasional, masalah "kemiskinan" merupakan dampak dari sistem ekonomi yang mengutamakan akumulasi kapital dan produk-produk teknologi modern, Penetrasi kapital antara lain mengejawantah dalam program-program pembangunan yang dinilai lebih mengutamakan pertubuhan (growth) dan kurang memperhatikan pemerataan hasil pembangunan (development). Program-program itu antara lain berbentuk intensifikasi, ekstensifikasi dan komersialisasi pertanian untuk menghasilkan pangan sebesar-besarnya guna memenuhi kebutuhan nasional dan eksport. Program-program pembangunan semacam itu memang telah berhasil meningkatkan hasil produksi besar-besaran, tetapi kenyataannya hanya kelompok kaya yang dapat memanfaatkan surplus semacam itu.


Hal ini disebabkan:

Pertam
a, berkaitan dengan akumulasi modal. Kelompok kaya memperoleh kesempatan yang lebih banyak mendapatkan aset-aset tambahan yang datang bersamaan dengan teknologi modern; Sehingga mereka lebih cepat berkembang.

Kedua
, berkaitan dengan fungsi lembaga. Dalam rangka menunjang introduksi teknologi baru dibentuk lembaga-lembaga ekonomi. Lembaga-lembaga ini sangat dibutuhkan karena dengan adanya perubahan teknologi, fungsi produksi, struktur pasar serta preferensi konsumen ikut berubah. Kenyataannya lembaga-lembaga semacam ini tidak dapat secara optimal memberi fasilitas kepada semua lapisan masyarakat. Hanya kelompok kaya yang bisa menikmati. Kedua hal tersebut dituduh menciptakan "kolonialisme internal" dalam kehidupan masyarakat kita.


Sebenarnya keinginan menanggulangi "kemiskinan" bukan suatu hal yang baru. Kita bisa melihat program-program yang telah dilaksanakan oleh pemerintah selama ini. Namun upaya-upaya penanggulangan "kemiskinan" sampai saat ini masih dinilai belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Program "kemiskinan" belum berhasil menghilangkan ketimpangan yang ada, "kemiskinan" malah semakin deras mencuat di permukaan. Sejumlah pakar ada yang menyatakan bahwa apabila dibandingkan dengan keadaan beberapa negara di Asia, Indonesia sudah memasuki kategori moderate inequality artinya perbedaan tingkat kemakmuran antara berbagai golongan dalam masyarakat mulai mendekat. Namun dalam kenyataannya jumlah golongan miskin masih besar, bahkan terus membengkak. Mengapa hal ini bisa terjadi? Mengapa program-program pembangunan ekonomi yang selama ini dicanangkan pemerintah tidak efektif? Mengapa bantuan-bantuan yang dikucurkan pemerintah tidak menyentuh kelompok miskin? Tidak mudah menjawab pertanyaan-pertanyaan ini. Permasalahan ini memaksakan kita untuk lebih menelaah kembali dimensi struktural "kemiskinan" itu sendiri.


Secara sosiologis dimensi struktural "kemiskinan" dapat ditelusuri melalui institutional arrangements yang hidup dan berkembang dalam masyarakat kita. Asumsi dasarnya adalah bahwa "kemiskinan" tidak semata-mata berakar pada "kelemahan diri". Tetapi "kemiskinan" itu terutama sebagai konsekwensi dari pilihan-pilihan strategi pembangunan ekonomi yang selama ini dicanangkan, serta pengambilan posisi pemerintah dalam perencanaan dan implementasi pembangunan ekonomi itu sendiri.


PENDEKATAN PROGRAM PENGENTASAN "KEMISKINAN".

Propinsi Jawa Timur mulai tahun ini menggunakan pendekatan pemberdayaan masyarakat dengan pendekatan data riil by name by addres sesuai kondisi di lapangan. Dengan pendekatan ini, maka data "kemiskinan" masyarakat dapat benar-benar menggambarkan kondisi yang sebenarnya.


Badan Pemberdayaan Masyarakat (Bapemas) Propinsi Jawa Timur melakukan update data Biro Pusat Statistik per 30 Oktober 2009; Data masyarakat "miskin" di Jawa Timur diketahui berjumlah 3.079.822 Rumah Tangga "Miskin" (RTM), dengan rincian:

a. 1.330.696 RTM termasuk kategori mendekati "miskin".

b. 1.256.122 RTM termasuk kategori "miskin".

c. 493.004 RTM termasuk kategori sangat "miskin".


Pendataan tidak hanya sekedar mendata masyarakat "miskin" melalui RTM sebagai sasaran. Namun juga profil desanya sehingga program yang dilakukan benar-benar tepat sasaran dan tepat program.


Bapemas Jawa Timur tahun ini akan memberikan dana hibah kepada 474 desa dengan jumlah kelompok masyarakat (Pokmas) sebanyak 3.792 Pokmas. Dari jumlah itu jumlah Rumah Tangga "Miskin" (RTM) sasaran sebanyak 36.995 RTM. Dana yang akan dihibahkan totalnya mencapai Rp. 35 milyar yang langsung diberikan ke 3.792 Pokmas dan untuk pendampingan jumlahnya mencapai Rp. 7,5 milyar.


Dana hibah tersebut tidak begitu saja diberikan. Selama ini ada anggapan bahwa bantuan hibah tersebut hanya berupa bantuan dana atau modal. Padahal bantuan hibah itu ada yang berwujud sosial dan bantuan program. Semua itu memiliki pertanggungjawaban yang sama yaitu terletak pada nilai guna atau manfaat dari dana yang diberikan ke RTM.


Usaha yang dikembangkan oleh Pokmas harus memiliki orientasi :

a. Pro poor untuk meningkatkan kesejahteraan;

b. Pro job untuk membuka peluang kerja;

c. Pro group dilakukan secara berkelompok dalam bentuk usaha mikro.


Masyarakat harus diajari kerja keras, disiplin dan responsibility (tanggung jawab), supaya bantuan hibah yang diberikan benar-benar bermanfaat dan berhasil guna.


Dalam rangka memotivasi percepatan perekonomian masyarakat, Bapemas akan mendidik kader-kader pemberdayaan masyarakat. Kemampuan mereka akan terus diupdate supaya di kemudian hari mereka menjadi tokoh di daerahnya. (Sumber: Harian Bhirawa, 9 April 2010).